FilmHiburan

Review Serial: Harry & Meghan

Sebenarnya, dokumenter Harry & Meghan ini akan jadi tayangan yang menarik andai saja memiliki tujuan yang jelas dan lebih dari sekadar keluhan dua orang yang sudah dihujani berbagai keistimewaan.
Memang dokumenter ini adalah wadah pasangan paling disorot dan drama dari keluarga Kerajaan Inggris tersebut untuk buka suara dan membantah segala rumor dan tudingan yang beredar selama ini.

Namun sepanjang enam jam saya menyusuri cerita dari Harry dan Meghan, tak banyak yang bisa saya selami sisi personal keduanya selain dari apa yang sudah banyak diberitakan di media massa.

Hanya ada beberapa hal yang saya anggap cukup spesial dari dokumenter ini, misalnya saja kisah mereka pacaran diam-diam, kencan pertama, petualangan ke Afrika bersama, hingga bagaimana mereka kabur dari kejaran media.

Sisanya, dokumenter ini hanya berupa bantahan, tudingan, kritikan ke media dan Istana, dan beberapa cocoklogi dari Harry dan Meghan soal ‘penderitaan’ mereka yang sebenarnya dirasakan oleh banyak tokoh publik lainnya.

Jangan tanya berapa banyak selebritas yang diberitakan miring atau menuai hujatan dan ancaman karena popularitas dan budaya cancel culture yang makin menggila karena media sosial. Banyak.

Namun dalam dokumenter ini, yang semestinya memberikan sudut pandang humanis dan bisa meningkatkan pencitraan akan Meghan dan Harry di mata publik, justru menampilkan banyak blunder.

Misalnya saja soal bagaimana mereka memutuskan untuk keluar dari Kerajaan Inggris dengan alasan lepas dari pembiayaan publik agar tidak bisa seenaknya dikritik, tapi tetap hidup dalam balutan kemewahan.

Sebenarnya keputusan Harry dan Meghan untuk membuat kerja sama dengan Netflix dalam membuat dokumenter ini saja bagai menjilat ludah sendiri. Bagaimana keduanya mengkritik soal media yang menelanjangi privasi mereka, tapi justru menampilkan berbagai hal personal dalam dokumenter? Apakah film dan Netflix bukan media?

Apalagi saat mereka berusaha mencocokkan ‘kemalangan’ mereka dengan masalah rasialisme dan Brexit pada 2016-2017 lalu.

Memang masalah sosial seperti rasialisme bisa saja dialami oleh Meghan dari publik Inggris, tapi rasanya omongan Harry mengkritik nenek moyang sendiri atas tindakan rasialisme kepada istrinya dalam dokumenter ini adalah hal yang berlebihan.

Ibarat kata, kasus Meghan ini bagai publik Indonesia yang mengkritik pemerintah tapi terancam dengan hukuman pidana dengan tudingan penghinaan. Siapa yang kemudian menentukan sebuah kritikan sebagai penghinaan? Sangat subjektif.

Selain itu, dokumenter ini jelas jauh dari kata seimbang. Seluruh narasumber adalah berada di lingkungan Meghan dan Harry, kalau tidak bisa disebut berpihak kepada pasangan tersebut.

Kekecewaan saya akan dokumenter garapan Liz Garbus ini bukan hanya pada tudingan Harry dan Meghan yang seolah playing victim, tetapi juga bagaimana dokumenter ini digarap.

Satu sisi, dokumenter ini memiliki visual yang cukup menarik dan sinematografi yang terbilang “wah” untuk kelas dokumenter yang selama ini saya lihat. Namun di sisi lain, terasa seperti reality show ala Kardashian dengan materi yang lebih ‘berbobot’.

Mulai dari pembabakan, plot alur cerita, bahkan visual yang saya bilang terlalu mulus untuk sebuah dokumenter, membuat serial ini tidak terasa seperti sebuah dokumenter yang humanis.

Bahkan lebih dari itu, beberapa tingkah laku Harry dan Meghan dalam dokumenter ini terasa tidak alami, misal ketika Harry mendengar klaim Meghan mendapat pesan dari Beyonce.

Entah apa sebenarnya tujuan dari Harry dan Meghan membuat dokumenter ini, apakah untuk menunjukkan sisi mereka yang selama ini dipelintir oleh media? Atau sekadar balas dendam karena sudah diberitakan miring? Atau sekadar cara lain untuk bisa mendulang uang?

Namun yang jelas, saya sama sekali tidak tergugah dengan tiga episode pertama atau volume satu dokumenter ini. Hanya bagian kedua yang saya merasa Harry dan Meghan bisa tampil dengan kisah yang lebih agak menarik.

Terlepas dari segala panggung drama yang ditampilkan oleh Harry dan Meghan dalam dokumenter ini, kisah cinta mereka membuat saya berpikir bahwasanya konsep jodoh sekufu itu mungkin benar adanya. Seperti di sini, tukang drama akan berkumpul dengan tukang drama. (rd)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button