Berita Nasional

Apindo Peringatkan Ekonomi RI Sudah Lampu Kuning

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memperingatkan Pemerintah kalau pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2025 yang hanya tumbuh 4,87 persen secara tahunan sudah lampu kuning. Hal itu karena pencapaian tersebut lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 5,11 persen, padahal ada beberapa momentum seperti Tahun Baru dan Lebaran yang seharusnya memacu konsumsi.

Ketua Umum Apindo, Shinta W Kamdani dalam acara Diplomat Success Challenge, di Jakarta, akhir pekan lalu mengatakan angka tersebut adalah lampu kuning, bukan hanya bagi Pemerintah maupun pelaku industri besar, tetapi juga untuk semua masyarakat.

Situasi tersebut jelasnya menjadi kian menantang karena kondisi ketenagakerjaan di Indonesia yang juga kurang kondusif. Data BPJS Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa lebih dari 40.000 pekerja telah mengajukan klaim Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) hanya dalam tiga bulan pertama tahun ini.

“Sektor tekstil, garmen, dan elektronik yang selama in menjadi tulang punggung industri padat karya adalah yang paling terdampak,” kata Shinta.

Selain itu, tekanan juga datang dari berbagai arah, termasuk persaingan global yang makin ketat, ketidakpastian geopolitik, perubahan pola konsumsi masyarakat, dan menurunnya daya beli.

Dalam menghadapi tantangan itu, Apindo menyerukan refleksi dan penyusunan langkah baru yang adaptif, dengan pendekatan dan mentalitas baru.

“Kewirausahaan memegang peran krusial, menempatkan UMKM sebagai pusat perubahan karena sektor ini menyerap 97 persen tenaga kerja di Indonesia dan menyumbang lebih dari 61 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB),” kata Shinta.

Apindo juga mencatat adanya 73.992 pekerja yang menjadi korban PHK dari 1 Januari hingga 10 Maret 2025. Jumkah tersebut diperoleh dari data pekerja yang tidak lagi terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan selama periode tersebut.

Sementara itu, data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan angka PHK yang lebih rendah, yakni 26.455 orang hingga 20 Mei 2025. Provinsi Jawa Tengah menjadi daerah dengan jumlah korban PHK terbanyak, yaitu 10.695 orang, diikuti Jakarta sebanyak 6.279 orang, dan Riau dengan 3.570.

Adapun Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka pengangguran di Indonesia pada Februari 2025 menjadi 3,67 juta orang, naik sekitar 83 ribu orang dari periode yang sama tahun lalu.

Impor Meningkat

Direktur Eksekutif Center of Economic and Lawa Studies (Celios) Bhima Yudisthira yang diminta pendapatnya mengakui pertumbuhan ekonomi yang melambat kian nyata jika melihat berbagai indikator seperti impor yang meningkat, permintaan melemah dan sejumlah gejala lainnya.

Dengan melihat realitas tersebut, pertumbuhan ekonomi pada triwulan II-2025 diperkirakan tidak akan mencapai angka 5 persen secara tahunan atau year on year (yoy). Apalagi, momen lebaran sudah lewat. Di sektor riil, banyak perusahaan sudah mempersiapkan berbagai langkah menghadapi lemahnya permintaan dalam beberapa bulan ke depan.

“Impor barang dari Tiongkok melonjak signifikan sebagai bentuk efek perang dagang. Jadi situasinya jelas memburuk,”tegas Bhima.

Dia pun mendorong Pemerintah agar segera memitigasi permasalahan, bukan sekedar memberi stimulus ke perekonomian karena itu tidak cukup. Celios jelasnya menyarankan agar tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) diturunkan dari 11 ke 9 persen sehingga ada ruang bagi kenaikan konsumsi masyarakat.

Selain itu Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebaiknya dinaikkan jadi 7,5 juta per bulan untuk dorong disposable income pekerja.

Bhima juga meminta Pemerintah agar mendorong daya beli kelas menengah dengan memberi stimulus yang mengincar kelompok tersebut. “Kalau hanya golongan bawah yang disasar insentif belum cukup membantu menggenjot daya beli,” kata Bhima.

Sementara itu, Wakil Ketua Apindo DIY, Tim Aprianto, menilai perlambatan pertumbuhan ekonomi menjadi sinyal serius bagi semua pemangku kepentingan, termasuk pengusaha di daerah. Ia menyebut angka 4,87 persen menunjukkan bahwa efisiensi di berbagai sektor harus segera dilakukan, terutama dalam hal perizinan yang selama ini menjadi beban biaya tinggi bagi pelaku usaha.

“Solusi bagi pengusaha saat ini adalah efisiensi. Kami mendorong moratorium perizinan di tingkat provinsi, serta pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah agar prosesnya lebih cepat dan tidak berbiaya mahal,” ujarnya.

Kebijakan itu penting untuk menekan ekonomi biaya tinggi yang masih membebani pengusaha daerah. (bsnn)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button