Opini

Sumur yang Menyala dari Tanah Rakyat

Oleh : Agus subiakto,Praktisi bidang energi

Di banyak pelosok negeri, dari Blora sampai Jambi, dari Bojonegoro sampai Langkat, ada suara mesin kecil di tengah sawah dan hutan jati. Bukan rig besar milik korporasi asing, tapi pompa buatan tangan-tangan yang kasar oleh minyak dan tanah.

Itulah sumur rakyat, yang sejak puluhan tahun menggeliat diam-diam di bawah cahaya petromaks, dioperasikan oleh warga desa yang tak mengenal istilah lifting nasional, tapi tahu arti bertahan hidup. Mereka menggali, menyuling, dan menyalakan lampu rumah dari minyak bumi yang keluar setetes demi setetes dari rahim tanah.

Mereka tidak punya izin, bukan karena niat melawan negara, tapi karena negara belum datang untuk memberi ruang bagi mereka. Mereka menjaga sumur itu seperti menjaga warisan bapak, sambil menatap jauh ke kilang besar yang tak pernah bisa mereka masuki.

Ikhtiar yang Bernama Keadilan Energi

Lalu datanglah satu ikhtiar dari seorang anak bangsa yang juga tumbuh dari tanah tanpa fasilitas: Bahlil Lahadalia.

Ia tahu rasa getir itu, bagaimana hidup bisa dijalankan dengan sedikit, tapi penuh harga diri. Ketika ia berdiri di ruang rapat DPR kemarin, suaranya membawa gema dari ribuan suara di bawah,  “Kita tidak boleh membiarkan rakyat kita menggali rezeki di tanah sendiri tanpa perlindungan hukum.”

Bahlil menjelaskan bahwa pemerintah kini menyiapkan izin resmi untuk 45.000 sumur rakyat, agar tak lagi hidup di wilayah abu-abu antara “ilegal” dan “tidak diurus”.  Ia tidak sedang berbicara tentang angka dan grafik. Ia sedang menuturkan upaya untuk menegakkan sila kelima, dalam bentuk paling nyata: keadilan sosial bagi seluruh rakyat yang menggali minyak dari tanah mereka sendiri.

Rapat di DPR: Antara Angka dan Nurani

Ruang itu, kemarin, bukan sekadar rapat tapi pertemuan antara dua dunia: dunia rakyat yang menggali minyak, dan dunia negara yang menulis aturan. Di hadapan para anggota dewan, Bahlil menyampaikan rencana konkret:

  • Legalitas: setiap sumur rakyat akan mendapat izin resmi. Tak ada lagi rasa takut, tak ada lagi kejaran aparat, tak ada lagi stigma “ilegal” bagi yang bekerja dari bumi sendiri.
  • Data dan Pemetaan: ada 45.095 sumur rakyat tersebar di enam provinsi. Semua telah diinventarisasi agar bisa masuk dalam sistem nasional.
  • Waktu Implementasi: peraturan menteri segera disahkan, dan mulai Desember 2025, produksi dari sumur rakyat akan dihitung dalam angka produksi nasional.
  • Manfaat Sosial-Ekonomi: legalisasi ini bukan hanya tentang minyak, tapi tentang lapangan kerja, ekonomi desa, dan martabat lokal.
  • Spirit Konstitusi: semua langkah ini berpijak pada Pasal 33 UUD 1945 — bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
  • Ruang rapat itu mungkin dingin oleh pendingin udara, tapi kalimatnya hangat oleh keyakinan.
    Bahwa negara akhirnya datang, bukan sebagai penguasa, tapi sebagai pelindung.

Sumur dan Doa

Di luar gedung DPR yang megah, di ujung tanah Jambi, mungkin ada seorang bapak yang malam itu menyalakan rokok dan menatap mesin kecilnya. Ia belum tahu apa itu Permen ESDM, belum paham bagaimana “izin resmi” akan turun.
Tapi ia tahu satu hal: kalau benar negara akan mengakui keringatnya, maka sumur kecil itu tak lagi sekadar lubang minyak, ia akan menjadi sumur harga diri.

Akhir yang Baru

Seperti air yang mencari jalan, begitu pula minyak rakyat yang selama ini tersembunyi. Ia akhirnya menemukan jalannya kembali ke pangkuan republik.

Dan di tengah semua perdebatan, ada satu pesan yang menjadi benang merah dari Menteri Bahlil di DPR,  “Kita tidak sedang membesarkan negara lewat korporasi besar, tapi lewat keberanian rakyat kecil untuk berdiri tegak di tanahnya sendiri.”

Sumur rakyat bukan hanya tentang energi, tapi tentang kedaulatan yang tumbuh dari tanah, dari keringat, dan dari keyakinan bahwa keadilan harus bisa dirasakan, bukan sekadar dijanjikan. (**)

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button