Berita NasionalOpini

Menggugat PPM Perusahaan Sektor Pertambangan?

Dalam beberapa tahun terakhir, Program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) menjadi instrumen wajib bagi perusahaan sektor pertambangan di Indonesia. Melalui regulasi seperti Permen ESDM No. 41 Tahun 2016 dan Permen ESDM Nomor 25 Tahun 2018, PPM ditujukan untuk mendorong kesejahteraan masyarakat di sekitar wilayah tambang secara berkelanjutan melalui peningkatan perekonomian, pendidikan, sosial budaya, kesehatan, dan lingkungan.

Namun dalam praktiknya, pelaksanaan PPM kerap menyisakan pertanyaan mendasar: sejauh mana program ini benar-benar mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat lokal?. Di banyak tempat, program PPM hadir tanpa refleksi mendalam terhadap apa yang dimaksud dengan “sejahtera”. Apakah kesejahteraan berarti infrastruktur fisik semata? Apakah pelatihan satu kali cukup untuk disebut “pemberdayaan”? Bagaimana dengan dampak lingkungan, penggusuran lahan, atau krisis identitas budaya yang dialami masyarakat adat? Pertanyaan-pertanyaan ini yang sering menjadi penyebab terjadinya kesenjangan persepsi antara perusahaan, pemerintah, dan masyarakat mengenai makna dan tujuan Program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM).

Ketika kesejahteraan direduksi menjadi proyek-proyek fisik—tanpa memperhatikan dimensi sosial, kultural, ekologis, dan psikologis masyarakat—maka yang terjadi bukanlah “pemberdayaan”, melainkan pengabaian sistematis terhadap realitas hidup warga terdampakItulah sebabnya, pertanyaan tentang kesejahteraan tidak cukup dijawab dengan banyaknya program atau besarnya anggaran. Tetapi jauh lebih penting adalah melihat kenyataan di lapangan—apakah masyarakat merasa lebih dihargai, lebih aman, dan lebih berdaya atas hidupnya sendiri, atau justru makin bergantung pada bantuan dan proyek yang datang sesaat.

Oleh karena itu, PPM perlu dipahami bukan hanya sebagai kewajiban formal perusahaan, tetapi sebagai ruang negosiasi yang melibatkan hak masyarakat, tanggung jawab sosial korporasi, dan peran negara dalam menjamin tercapainya kesejahteraan yang adil dan berkelanjutan. Sebab, PPM bukan sekadar soal program atau proyek, tetapi menyangkut masa depan masyarakat yang hidup dibawah bayang-bayang dampak industri pertambangan.

PPM Antara Proyek dan Harapan

Kabupaten Kolaka adalah etalase pertambangan nikel nasional. Di kecamatan-kecamatan seperti Pomalaa, Wolo, dan Baula, perusahaan-perusahaan tambang besar seperti PT Vale Tbk, PT Ceria Nugraha Indotama, PT Antam Tbk, dan PT Indonesia Pomalaa Industry Park.  beroperasi dengan investasi triliunan rupiah. Belum lagi perusahaan-perusahaan lokal yang  beroperasi dalam skala menengah, menjadikan wilayah ini sebagai salah satu pusat aktivitas tambang paling strategis di Indonesia Timur.

Bersamaan dengan aktivitas industri pertambangan tersebut, anggaran Program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) turut dialokasikan sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan untuk mendukung peningkatan kualitas hidup masyarakat di sekitar wilayah operasi.Namun, dalam praktiknya, pemanfaatan anggaran ini sering kali belum sepenuhnya mencerminkan prinsip keadilan dan partisipasi.

Ketika  bertanya kepada masyarakat disekitar tambang jawabannya adalah “bantuan ada, tetapi apa betul hidup kami lebih baik?” Begitupun dengan pelaku UMKM yang bercerita tentang pelatihan yang tidak dilanjuti dengan pendampingan, infrastruktur yang dibangun tanpa pemeliharaan, dan bantuan UMKM yang tidak berkelanjutan. Bahkan beberapa masyarakat mengaku hanya mengetahui program PPM setelah kegiatan berjalan.  Kondisi  ini menggambarkan persoalan mendasar dalam pelaksanaan PPM adalah  kurangnya komunikasi antar stakeholder, lemahnya pelibatan warga dalam proses perencanaan, serta tidak adanya mekanisme evaluasi yang partisipatif. Program-program yang seharusnya dirancang untuk memperkuat kapasitas dan kemandirian masyarakat justru seringkali berujung pada proyek jangka pendek yang tidak berkelanjutan dan tidak berakar pada kebutuhan nyata warga.

Akibatnya, PPM hanya menjadi simbol bahwa perusahaan telah menjalankan kewajiban sosialnya, tanpa benar-benar menyentuh apa yang menjadi  persoalan utama  yang dihadapi masyarakat sekitar tambang—baik dari aspek ekonomi, sosial, lingkungan, maupun budaya. Masyarakat tidak hanya merasa tidak dilibatkan, tetapi juga tidak memiliki ruang untuk menyuarakan evaluasi atau mengusulkan perbaikan. Sementara dalam regulasi  Permen ESDM Nomor 41 tahun 2016 secara tegas memuat bahwa dalam penyusunan rencana induk PPM melibatkakat masyarakat sekitar tambang. Pelibatan ini dimaksudkan agar program yang dibuat benar-benar mencerminkan kebutuhan, potensi, dan aspirasi lokal sehingga mampu memberikan dampak nyata dan berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat.

Dampak Tambang dan Ilusi Kompensasi

Aktivitas pertambangan di Kabupaten Kolaka, membawa dampak ganda bagi masyarakat: di satu sisi menjanjikan peluang ekonomi, namun di sisi lain menghadirkan beban sosial, ekologis, dan kultural. Penggusuran lahan, pencemaran air dan udara, terganggunya aktivitas pertanian dan perikanan, hingga perubahan struktur sosial di desa-desa tambang adalah sebagian dari realitas yang harus dihadapi masyarakat setiap hari.

Sayangnya, berbagai dampak ini sering kali tidak dibahas secara terbuka dalam skema kompensasi sosial yang ditawarkan perusahaan. Melalui program CSR dan PPM, perusahaan kerap menampilkan citra kepedulian sosial—membangun infrastruktur, memberi bantuan sembako, atau menyelenggarakan pelatihan singkat. Namun dalam banyak kasus, program-program ini justru berfungsi sebagai “ilusi kompensasi”: seolah-olah perusahaan telah membayar “harga sosial” dari aktivitas industrinya, padahal kerusakan yang terjadi jauh lebih kompleks dan berjangka Panjang.

“Ilusi kompensasi” ini berbahaya karena menutupi akar persoalan dan menciptakan persepsi keliru di publik bahwa tanggung jawab sosial telah selesai dipenuhi. Padahal, pemberdayaan sejati tidak bisa dibangun di atas reruntuhan ekologi dan keterasingan sosial. Masyarakat tidak butuh sekadar bantuan, mereka membutuhkan keadilan—yakni pengakuan atas hak-hak mereka yang terganggu, partisipasi dalam pengambilan keputusan, serta pemulihan atas kerugian yang nyata mereka alami.

Karena itu, “Sejahterakah kami hari ini?” seharusnya menjadi pertanyaan reflektif bagi semua pemangku kepentingan: perusahaan tambang, pemerintah daerah, dan masyarakat itu sendiri.

Karena itu, agar program PPM memberikan manfaat kepada masyarakat yang harus dilakukan adalah (1) Transparansi dan akuntabilitas PPMpublikasi rencana dan laporan program harus dapat diakses dan dibaca warga, (2) Pelibatan masyarakat sejak awal: Forum musyawarah desa harus menjadi ruang diskusi substantif, bukan sekadar formalitas, (3) Evaluasi partisipatif: Libatkan masyarakat sipil dan akademisi dalam mengevaluasi dampak jangka panjang PPM. (**)

 

Penulis adalah Dosen Program Studi Administrasi Publik, Universitas Sembilanbelas November Kolaka, Direktur Bumi Anoa Indonesia: Lembaga Kajian, Penelitian, Pelatihan. Advokasi, dan Community Development

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button