HAI Peringatkan Risiko Politisasi Jika Kapolri Dipilih Tanpa Keterlibatan DPR

Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI) R Haidar Alwi menilai usulan pemilihan Kapolri oleh Presiden secara langsung tanpa persetujuan DPR adalah hal yang problematik secara konstitusional dan aspek demokrasi.
Haidar menilai bahwa Polri merupakan institusi koersif yang memiliki kewenangan besar dalam penyidikan, pemeliharaan keamanan, dan penegakan hukum sehingga mekanisme persetujuan DPR menjadi elemen kunci untuk memastikan akuntabilitas dan integritas calon Kapolri.
“Menghilangkan mekanisme itu berarti membuka pintu bagi dominasi politik sepihak dan mengubah Polri menjadi alat kekuasaan, bukan lembaga profesional yang melayani kepentingan publik,” kata Haidar dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan bahwa gagasan tersebut tetap bisa diterapkan jika kerangka hukum diubah terlebih dahulu melalui amandemen UUD 1945 dan revisi UU Polri.
Amandemen UUD 1945 harus dilakukan untuk menyesuaikan relasi eksekutif–legislatif, khususnya menyangkut pengawasan terhadap institusi koersif negara. Setelah itu, barulah revisi UU Polri dapat diberlakukan untuk menghilangkan persyaratan persetujuan DPR.
Secara hukum, kombinasi amandemen dan revisi tersebut dapat membuka jalan bagi pengangkatan Kapolri secara unilateral. Akan tetapi, secara politik, menurutnya, langkah tersebut hampir mustahil dilakukan.
“Amandemen UUD memerlukan dukungan dua per tiga anggota MPR dan butuh proses panjang,” ucapnya.
“Masyarakat sipil juga pasti menolak karena perubahan tersebut akan terbaca sebagai tanda kembalinya konsentrasi kekuasaan eksekutif yang mengancam reformasi,” imbuhnya.Lebih dari itu, Haidar menilai adanya implikasi institusional yang sangat serius. Presiden akan memperoleh kontrol absolut terhadap Polri, meningkatkan risiko politisasi keamanan, dan menggerus profesionalitas kepolisian.
Maka dari itu, ia berpendapat bahwa gagasan pengangkatan Kapolri tanpa persetujuan DPR bukan hanya tidak layak secara hukum, melainkan juga berbahaya secara demokratis.
“Apa yang tampak sebagai penyederhanaan mekanisme birokrasi sesungguhnya merupakan rekonstruksi besar yang berpotensi meruntuhkan keseimbangan kekuasaan negara,” ucapnya.
Sebelumnya, Kapolri periode 2001-2005 Jenderal Pol (Purn) Da’i Bachtiar menyampaikan mekanisme pemilihan Kapolri perlu dikaji kembali, khususnya terkait keterlibatan DPR RI dalam proses persetujuan.
Ia menyebut saat ini Presiden memiliki hak prerogatif dalam mengajukan calon Kapolri, yang kemudian dibawa ke DPR. Namun menurutnya, hal tersebut perlu dipertimbangkan kembali agar tidak perlu lagi dibawa ke forum politik.
“Presiden harus mengirimkan ke DPR untuk minta persetujuan. Nah, ini juga jadi pertanyaan. Apakah masih perlu aturan itu? Tidakkah sepenuhnya kewenangan prerogatif dari seorang Presiden memilih calon Kapolri dari persyaratan yang dipenuhi dari Polri itu sendiri? Tidak perlu membawa kepada forum politik gitu, melalui DPR,” ujar Da’i Bachtiar.
Ia menjelaskan keterlibatan DPR dinilai akan menimbulkan beban bagi Kapolri terpilih, salah satunya adalah potensi berbagai balas jasa politik.
Kondisi tersebut ia khawatirkan akan mengganggu independensi kepolisian.Ia juga menekankan bahwa pandangan ini bukan satu-satunya masukan yang akan dipertimbangkan. Menurutnya, keputusan untuk evaluasi pemilihan Kapolri, tetap berada di bawah komisi terkait.




