Berita Nasional

Ketua LSM Forsda Kolaka Menyesalkan Tuduhan Preman Kepada Warga Yang Menuntut Ganti Rugi Lahannya.

Persoalan ganti rugi lahan milik warga di Desa Muara Lapao-Pao, hingga kini belum berakhir bahkan makin kusut lantaran dua media nasional yang menayangkan berita dengan menyebut warga yang melakukan aksi unjuk rasa blokade jetty (pelabuhan bongkar muat ore nikel) milik PT Ceria Nugraha Indotama (CNI) sekitar pukul 11.49 Wita, Kamis (15/6)lalu sebagai aksi sekelompok preman yang dinilai merusak fasilitas perusahaan yang akan membangun smelter, bahkan aksi mereka dituding sebagai penghambat pembangunan smelter tersebut.

Darman (37) salah satu warga di Desa Muara Lapao-Lapao menyesalkan pernyataan dua media online yang terbit di Jakarta itu, menurutnya yang duluan jadi melakukan tindakan premanisme itu siapa?

“Justeru merekalah yang duluan jadi preman di Desa Muara Lapao-Pao dengan melakukan pengrusakan lahan tambak warga lalu mereka hanya menjanjikan untuk mengganti rugi, tapi sampai hari ini mereka ingkari janjinya kepada warga yang terkena dampak dari aktifitas penambangan” ungkap Darman kepada beritasulawesi.co.id melalui keterangan persnya, Kamis (22/6).

Darman menilai pernyataan dari Legal Manager sekaligus Kepala Cabang PT Ceria Nughraha Indotama Kenny Rochlim, perusakan tersebut menghambat pembangunan smelter yang menjadi bagian PSN dan ditargetkan beroperasi mulai Mei 2024. Adalah pernyataan yang tidak punya  dasar yang kuat untuk dijadikan alasan. Pernyataan ini hanya untuk menggiring opini yang sesat dan menyesatkan.

“Tidak masuk akal kalau hanya aksi warga yang menuntut haknya dijadikan dasar sebagai hambatan proses pembangunan Smelter, dan hanya karena memotong tali tongkang dianggap sebagai pengrusakan obyek vital nasional.Dimana korelasinya ? Karena pihak perusahaan menyadari maka tak ada alasan lagi untuk tidak membayar ganti rugi lahan tambah warga dan menyerahkan satu unit alat berat untuk warga.Ini hanya upaya mencari perhatian dari pihak aparat hukum untuk menyalahkan warga yang menuntut haknya,” ungkapnya

Darman juga menantang dua media ini, Tempo.Co, dan Sindonews.com untuk melakukan investigasi langsung ke lokasi agar tidak sepihak dia melihat persoalan di Desa Muara Lapao-Pao, Kolaka, Sulawesi Tenggara. Karena media ini tidak melihat fakta yang sebenarnya maka dengan mudah menulis aksi warga sebagai aksi preman,

” Mestinya media ini harus turun ke lokasi kejadian untuk memastikan dan melakukan verifikasi data yang dia terima dari pihak perusahaan, sehingga tidak asal tulis. Ini menjadi pertanyaan kenapa mereka tidak menulis secara obyektif kejadian di PT.CNI Kolaka ini. Jangan hanya menerima informasi  sepihak dari Kenny Rochliem” tegasnya.

Sementara itu Aktifis Lingkungan Kabupaten Kolaka sekaligus  Ketua LSM  Forum Swadaya Masyarakat Daerah (Forsda) Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara, menyesalkan kejadian ini merasa ikut prihatin dengan Warga Desa Muara Lapao-Pao yang dianggap preman sekaligus jadi biang penghambat pembangunan smelter PT.CNI Kolaka.

Melalui pernyataan yang dikirim ke redaksi beritasulawesi.co.id menyampaikan bahwa, soal aksi pengrusakan warga yang terjadi di PT. Ceria Nugraha yang wilayah IUP di Kecataman Wolo, Kabupaten Kolaka ini adalah salah satu dampak dari pertambangan.

Menurutnya, inilah dampak dari kegiatan pertambangan  yang tidak memiliki tanggungjawab atas aktifitas penambangan dan hal ini seringnya terjadi dimana-mana. Karena mereka hanya mencari keuntungan tanpa peduli dengan kondisi serta dampak yang mereka timbulkan.  Di Kecamatan Wolo yang jadi wilayah IUP PT CNI, yang  yang terkena dampaknya adalah masyarakat petani khususnya nelayan.

“Jadi seharusnya perusahaan bersama pemerintah dan lembaga independen turun langsung ke lapangan untuk memverifikasi kejadian sebenarnya apa penyebabnya sehingga rakyat marah melakukan pemotongan tali tongkang dan melakukan pengrusakan, bukannya serta merta menuduh mereka yg melakukan pengrusakan adalah preman apalagi ada upaya untuk melakukan pelaporan ke polisi”ungkap Jabir menyesalkan adanya tuduhan preman ke warga yang menuntut haknya.

Ia juga menjelaskan bahwa yang paling penting lagi perusahaan harus tahu adalah,meskipun sudah menerapkan Good Mining Practice (GMP) dan sudah peringkat proper biru. Jangan menjadikan hal tersebut menjadi pegangan untuk tidak memperhatikan lagi adanya dampak pertambangan seperti adanya pencemaran sedimentasi lumpur tanah merah di wilayah pesisir pantai.

“Apalagi kalau di wilayah  tersebut ada pemberdayaan rumput laut. Rumput laut ini sangat membutuhkan kualitas air yang benar-benar bersih, terhindar dari pencemaran. Pencemaran laut karena ore nikel bukan saja terjadi di Kecamatan Wolo namun sudah pernah terjadi di Pantai Kecamatan. Pomalaa khususnya di Desa Hakatutobu dan Desa Tambea dulu masyarakat nelayan di wilayah tersebut adalah sentra penghasil rumput laut dan teripang, namun sekarang ini sdh beberapa tahun tidak ada lagi budidaya rumput laut akibat adanya pertambangan di wilayah pesisir. Jadi dengan  adanya pemberian peringkat proper biru, bukan jaminanan bahwa perusahaan tersebut bisa seenaknya berbuat dalam melakukan pertambangan dengan  mengabaikan hak-hak masyarakat yang ada di dalam wilayah IUP nya” tegas Jabir (bsnn-red)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button