
INTONASI suaranya berubah tinggi. Terdengar tegas. Batinnya bergejolak. Saat ditanya potret wasit Indonesia yang banyak mendapat sorotan. Hujatan, makian dan kontroversi masih mewarnai perjalanan dunia sang pengadil lapangan hijau kita sampai sekarang. Bukannya mereda, malah semakin nyaring terdengar, termasuk isu mafia wasit.
“Kuncinya kualitas kepribadian. Dibutuhkan wasit yang bernyali,” ujar Ahmad Karim. Ia wasit legendaris berlisensi FIFA pertama asal Sulawesi Selatan (Sulsel) saat dihubungi melalui telepon whatsapp, minggu malam (30/7/2023). Di rumahnya, Bantaeng. Kabupaten berjarak 120 km arah selatan dari kota Makassar.
Apakah wasit sekarang tidak bernyali?
Pria yang genap berusia 88 tahun pada 24 Juni 2023 ini tak mau membanding-bandingkan wasit jaman dirinya dulu dengan sekarang. Ia berdalih, selain tak etis juga berbeda zaman yang menyertainya. Meski di usianya yang tak muda lagi, ia masih aktif mengikuti perkembangan dunia perwasitan tanah air.
Karim atau Om Karim, begitu ia akrab disapa, menganggap nyali seorang wasit adalah bentuk ketegasan dan konsisten dengan keputusan yang sudah diambil dalam memimpin suatu pertandingan.
Dengan begitu, menurutnya, maka wibawa dan martabat sang pengadil di lapangan hijau bisa terjaga. Tidak usah hiraukan protes dan hujatan, karena cepat atau lambat hal seperti itu pasti datang. Sebab tdak ada keputusan wasit yang bisa memuaskan semua pihak.
Prinsip Karim jelas. Ia tak pernah ragu apalagi takut membuat keputusan di lapangan selama konsisten memegang teguh Laws of the Game (LOTG) FIFA. Jangan mau kalah nyali dengan pemain yang protes. Kalau tak digubris, jangan sampai kalah gertak. Lama-lama mereka juga akan segan kepada wasit.
“Dan yang penting dan cukup mendasar, jangan pernah ada niat atau tebersit dalam hati untuk menguntungkan salahsatu pihak. Kalau itu terjadi, maka pasti kedepan kita akan berbuat blunder,” ungkap pria yang mengantongi lisensi wasit internasional FIFA pada 1972.
Dalam catatan PSSI, di awal kompetisi Liga 1 musim 2022/2023, Komite Wasit PSSI telah menjatuhkan sanksi tegas dengan ‘memarkir’ 12 wasit yang membuat kesalahan fatal. Nama-nama mereka pun dirilis di laman resmi website federasi.
Namun upaya itu tidak memberi efek jera. Kesalahan wasit masih terjadi. Sederet keputusan kontroversial tak kunjung berhenti. Bahkan honor tinggi yang diguyur tak lantas menjadi solusi. Pemain, pelatih, dan manajemen klub sering berkeluh kesah soal keputusan ‘gila’ dari pengadil lapangan.
Kondisi itu diperparah di era informasi digital saat ini, dimana semua orang bisa jadi “wasit dadakan”. Hanya berselang beberapa saat usai laga, jagat dunia maya sudah riuh cuplikan insiden kontroversial. Bahkan sampai viral di berbagai platform media sosial.
Mereka mengulik ala netizen seolah kebenaran baru. Dan sederet keputusan kontoversi itu murni jadi kesalahan fatal dari wasit. Padahal, masalahnya acap kali hanya berkutat pada hal elementer. Seperti offside, handball, pelanggaran tak diganjar sanksi setimpal dan lainnya.
——–
Karim bercerita pengalamannya saat memimpin pertandingan putaran final kompetisi PSSI era Perserikatan di Stadion Utama Senayan (sekarang Gelora Bung Karno/GBK). Saat itu laga panas sarat gengsi antara Persija melawan Persebaya.
Ditengah duel klasik tersebut, terjadi insiden. Karim memutuskan “play on”. Tapi Risdianto, pemain berlabel bintang Persija tidak puas dengan keputusan itu. Dia protes dan bersuara keras.
“Hey wasit pakai kacamata,” teriaknya.
Mendengar umpatan Risdianto yang bernada ejekan itu, Karim hanya tersenyum. Tak lama kemudian, babak pertama usai. Saat meninggalkan lapangan, Karim sengaja berjalan mendekati Risdianto. Sambil memegang erat tangan yang bersangkutan.
“Ris…saya orang Makassar gak takut dengan kau,” tegas Karim balik menantang dan menambahkan tak peduli dengan label pemain bintang atau bukan.
“Tidak om…saya khilaf. Maaf bukan maksud saya begitu,” jawabnya.
Pada kesempatan lain, Karim ditunjuk PSSI memimpin kembali laga panas lainnya, antara Persebaya versus PSMS Medan. Di GBK Senayan. Terjadi insiden fisik dua pemain. Rusdi Bahalwan (Persebaya) dan Tumsila (PSMS Medan). Keduanya saling dorong. Tersulut emosi.
Sebagai wasit, Karim melerai. Dan tak bergeming tuntutan agar menjatuhkan hukuman kepada salahsatunya. Karim menempuh upaya persuasif. Memanggil keduanya dan memberikan peringatan keras.
“Kalian mau main bola atau berkelahi?” tantang Karim.
“Main bola…om,” jawab keduanya.
“Jangan ulangi lagi. Ayo..salaman,” lanjut Karim seraya mengisyaratkan ancaman kartu kepada keduanya.
Ketegasan Ahmad Karim jadi buah bibir dikalangan pemain, pelatih dan pemilik klub. Tidak mau diatur-atur, apalagi bujukan suap. Membuat dirinya disegani dan berwibawa dimata insan persepakbolaan tanah air.
Bahkan seorang Walikota Makassar yang juga Ketua Umum PSM Makassar ketika itu, H.M.Daeng Patompo, dalam suatu kesempatan membisikinya.
“Pak Karim salahsatu wasit terbaik Indonesia dari Makassar. Kami bangga dengan itu. Jujur selama ini hanya satu kekurangan bapak.”
“Apa itu, beritahu supaya saya bisa perbaiki” tanya Karim penasaran.
“Kalau PSM yang bermain, tidak pernah di ambil-ambilkan (maksudnya dibantu,red),” aku Patompo.
Hal senada juga diungkapan anaknya. ”Saya pernah baca Tempo zaman dulu dan dengar cerita orang, bahwa A Karim (nama yang dipakai ayahnya untuk wasit) sangat tegas dan disegani dalam memimpin pertandingan,” kata Rinwar Karim.
Rinwar yang seorang Arsitek jebolan Universitas Hasanuddin (Unhas) ini menambahkan bahwa dari cerita ayahnya, legenda sepakbola Indonesia, Ronny Pattinasarani pernah bertutur: “Jangan macam-macam kalau Om Karim yang pimpin pertandingan.”
———
Ahmad Karim yang berkarir sebagai wasit sepakbola sejak 1965 mungkin tak banyak yang kenal. Namun buat penikmat sepak bola Indonesia era 1960-an hingga awal 1980-an, masih mengingat wasit legendaris Tanah Air ini. Ia dikenal sebagai satu di antara pengadil lapangan terbaik, jika bukan yang terbaik, yang pernah dimiliki Indonesia.
Karim sudah makan asam garam di dunia perwasitan. Saat masih mudanya, ia kerap memimpin sejumlah pertandingan dalam negeri skala nasional.
Awalnya sebenarnya tidak ada keinginan Karim jadi wasit. Dia maunya jadi pemain lalu jadi pelatih. Tapi ia teringat kata temannya, jadi pemain berat banyak saingan. Begitu juga jadi pelatih itu sulit kalau bukan pemain sepak bola top.
Bak gayung bersambut. Suatu waktu, di tahun 1965. Di bulan Agustus. Anak muda asal Bantaeng ini mengikuti Kongres PSSI di Jakarta. Sebagai pengurus klub “Gasbob” (Gabungan Sepakbola Bonthain).
Pada saat yang bersamaan rupanya diselenggarakan juga kursus wasit. Ia lantas melapor Ketua Komda PSSI Sulsel ketika itu, Haji Faisal Thung.
“Iya…kamu gak usah ikut rapat-rapat Kongres. Ikut saja kursus wasit mewakili Gasbob,” perintahnya seperti ditirukan Karim.
Pada jaman dulu, yang punya wasit itu sebenarnya klub. Karena dulu klub internal itu aktif menggelar kompetisi dan setiap tim wajib mengirimkan satu atau dua pemain untuk dididik menjadi wasit.
Tujuannya untuk memimpin pertandingan di kompetisi internal dan agar wasit klub tersebut bisa mensosialisasikan aturan permainan kepada rekan setim, manajer, dan pelatih. Sehingga harapannya tidak ada ribut-ribut soal aturan permainan.
Ketika ikut kursus wasit C1 nasional pada 1965, yang awalnya iseng, Karim semakin tertarik menjadi wasit. Apalagi ia mendengar kabar jadi wasit itu enak karena keliling dunia tanpa mengeluarkan uang, bahkan kita malah dibayar. Selain itu kita lari-lari, sehat, tapi dikasih uang.
“Alhamdulilah dari 30 orang peserta yang ikut kursus wasit saat itu, tujuh orang lulus, termasuk saya. Yang lebih menggembirakan, saya terpilih peserta terbaik dengan memperoleh nilai tertinggi,” kenangnya.
Saat dinyatakan lulus, Karim lalu diminta menyampaikan sambutan mewakili peserta lainnya. Ia sempat grogi karena bicara dihadapan sejumlah pejabat kabinet Presiden Soekarno, seperti Menteri Koordinator Luar Negeri Subandrio, DN Aidit, dan Jusuf Muda Dalam.
Sebagai wasit nasional, Karim memimpin berbagai pertandingan dalam negeri. Termasuk yang berkesan saat ditunjuk jadi pengadil lapangan dalam sejumlah laga “final round” Perserikatan PSSI di stadion utama Senayan (sekarang bernama Gelora Bung Karno/GBK).
Selama itu, PSSI meneropong Karim memiliki kinerja yang baik. Federasi sepakbola tertinggi tanah air itu pun mengajukan nama Karim ke FIFA pada 1972.
“Saya dites di Jakarta. Dan akhirnya lulus bersama empat orang lain dari Surabaya, Sukabumi, dan Medan,” ungkapnya. Sejak itu, Karim menyandang lencana Wasit FIFA dan memimpin sejumlah pertandingan internasional.
Laga internasional yang pertama dipimpin Karim adalah antara Timnas Indonesia vs Klub Aalborg dari Swedia. Lalu pernah juga memimpin laga Ajax Amsterdam vs Manchester United di stadion utama Senayan tahun 1970-an, Feyenoord Belanda vs PSM di stadion Mattoanging Makassar.
Sedangkan di pentas turnamen berskala internasional yang pernah dilakoni Karim sebagai wasit seperti “King’s Cup” di Bangkok (Thailand), “Merdeka Games”, di Kualalumpur (Malaysia), Piala President di Seoul (Korsel) dan Dakka (Pakistan).