Ekonomi &BisnisOpini

Menyoal Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Tenggara

Dr. Syamsir Nur, SE., M.Si Ketua ISEI Cabang Kendari Koord. Provinsi Sulawesi Tenggara

Baru kemarin (6 November 2023) BPS Provinsi Sulawesi Tenggara merilis kondisi perekonomian dan ketenagakerjaan Sultra untuk Triwulan-III tahun ini. Di hari yang sama, BPS Indonesia juga menginformasikan capaian kinerja perekonomian dan ketenagakerjaan secara nasional. Tentu saja, capaian itu bukan hanya angka semata, tetapi merupakan “hasil” dari interaksi para pelaku ekonomi, juga “buah” dari kebijakan yang telah dilakukan pemerintah.

Sultra mencatat pertumbuhan ekonomi Triwulan III tahun ini cukup menggembirakan. Tumbuh 3,59 persen dari triwulan sebelumnya yang sebesar 3,17 persen. Nilainya mencapai 27,34 triliun rupiah dalam Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan). Jika dibandingkan pada tahun 2022, di triwulan III, juga terjadi kenaikan 4,92  persen yang hanya memperoleh PDRB-ADHK senilai 26,07 triliun rupiah.

Dari 17 lapangan usaha yang ada, Konstruksi tumbuh paling tinggi sebesar 26,87 persen diikuti industri pengolahan dan perdagangan besar & eceran sebesar 9,84 persen dan 6,36 persen. Hal ini dikarenakan massifnya penyelesaian kegiatan proyek konstruksi swasta maupun pemerintah, bergeliatnya perdagangan antar pulau serta intensitas kegiatan industri pengolahan nikel.

Meski demikian, peristiwa ekonomi Sultra fenomenal. Sektor pembentuk utama perekonomian yakni pertanian mengalami pertumbuhan yang negatif sebesar minus 3,45 persen. Tidak hanya itu, selama 2010-2022, perannya terus menurun. Tahun 2010 berkontribusi sebesar 28,39 persen dan ditahun 2022 hanya 23,13 persen. Pemicu menurunnya sektor ini beragam diantaranya penurunan produktivitas atas tanaman yang dihasilkan hingga alih fungsi lahan. Triwulan III ini, luas panen padi menurun 25,15 persen dari triwulan sebelumnya. Kemampuannya dalam menyerap tenaga kerja selama setahun terakhir juga melemah sebanyak 21,99 ribu orang.

Meski demikian, pertanian masih menjadi katup pengaman pengangguran dipedesaan. Menyerap pekerja 30,81 persen dari 1.351,64 ribu orang penduduk yang bekerja di Sultra. Begitu pula, penduduk Sultra yang bekerja di sektor pertanian (dalam arti luas) diperhadapkan pendapatan yang rendah yang nilainya juga tidak menentu. Karenanya jumlah penduduk miskin pedesaan masih lebih banyak dibandingkan penduduk miskin perkotaan di Sultra. Ada 13,94 persen di desa dan 7,40 persen di kota.

Dilain sisi, dinamika ekonomi Sultra patut juga dicermati dari sisi pengeluaran. Sebanyak 5 komponen pengeluaran yang membentuk “kue ekonomi” diantaranya pengeluaran konsumsi masyarakat, pengeluaran lembaga yang melayani rumah tangga (LNPRT), pengeluaran konsumsi pemerintah, pengeluaran investasi swasta dan kegiatan ekspor-impor.

Sumber pertumbuhan ekonomi Triwulan III ini dibentuk dari impor dan ekspor Nilainya sebesar 16,19 triliun dan 15,37 triliun. Peran yang konsisten sejak triwulan II 2023 maupun pada tahun sebelumnya. Pengeluaran impor dan ekspor yang dominan tersebut memiliki pertalian yang kuat dengan aktivitas pertambangan saat ini. Sebanyak 96,84 persen komoditas ekspor Sultra merupakan ferronickel dan stainless steel. Sedangkan komoditi impor berupa BBM dan komoditi Besi dan Baja sebanyak 80,28 persen.

Meski demikian tingginya share pengeluaran yang terkait ekspor dan impor yaitu pertambangan dan industri pengolahan menyerap tenaga kerja yang masih rendah. Hanya 2,49 persen dan 9,68 persen. Ada anomali, komoditas pertanian yang merupakan usaha dominan masyarakat tidak menjadi andalan ekspor. Begitu pula, besarnya kue ekonomi dari ekspor dan impor tidak menyerap tenaga kerja yang tinggi pula.

Karenanya, pertumbuhan ekonomi yang tidak inklusif masih menjadi tantangan ekonomi Sultra tahun ini dan bahkan tahun-tahun mendatang. Dikatakan inklusif ketika pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi kemiskinan, menampung lebih banyak pekerja dan mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan. Tidak hanya itu, adanya perbedaan yang cukup besar dalam penyerapan tenaga kerja antara sektor pertanian dan non pertanian (pertambangan, industri dan jasa) mengindikasi kualitas SDM tenaga kerja yang masih rendah.

Akibatnya terjadi perbedaan tingkat upah/pendapatan yang diterima bagi mereka. Kalaupun terdidik, skill yang dimiliki tenaga kerja tidak matching dengan kebutuhan pasar kerja disektor tersebut. Terjadi pengangguran terselubung, bekerja tidak sesuai dengan ilmu/keahliannya.

Menjadi penting kiranya pemerintah daerah Sultra meninjau ulang kebijakan terkait penguatan ekonomi daerah ini. Sektor pertanian mesti tetap menjadi lokus. Masalahnya harus diurai dari hulu hingga hilir. Produksi, produktivitas bahkan hilirisasi pertanian. Nilai Tukar Petani (NTP) harus lebih tinggi, karena itulah ukuran membaiknya kondisi ekonomi pekerja di pertanian.

Betapa tidak, sektor pertanian (dalam arti luas) adalah sektor alamiah, sesuai dengan kondisi wilayah, memiliki ragam komoditas yang berpotensi memberikan nilai tambah ekonomi yang tinggi, bahkan menjadi penentu denyut nadi kegiatan ekonomi perkotaan. Tak satupun kabupaten di Sultra yang tidak luput dari peran sektor pertanian dalam menopang ekonominya.

Tidak kalah penting, pemerintah daerah mesti mengambil peran atas tumbuhnya industri pengolahan dalam beberapa tahun belakangan ini. Penguatan industri pengolahan berbasis komoditi pertanian, perkebunan dan perikanan. Bukan hanya mengandalkan industri berbasis komoditi pertambangan yang notabene pelakunya sektor swasta yang padat modal.

Jika selama ini industri selalu berhadapan dengan modal, teknologi dan daya saing, maka pemerintah daerah harus dapat mengurainya. Keseriusan dan keberpihakan menjadi kunci. Belanja sektoral yang tepat sasaran, pemanfaatan dana desa, stimulan atau insentif dari bank milik daerah serta kerjasama antar pemerintah daerah ataupun dengan pihak swasta dapat menjadi katup pengaman. Sementara itu, peningkatan kualitas SDM melalui up- skilling dan re-skiling mesti disiapkan agar industri kedepan dimainkan oleh tenaga kerja dari daerah sendiri.

Pekerja usia produktif Sultra yang rasionya tinggi saat ini mesti dibekali pula kemampuan adopsi teknologi, utamanya digitalisasi di bidang ekonomi. Bukan tidak mungkin, kelimpahan tenaga kerja yang dipadu dengan peningkatan skill akan menggeser struktur perekonomian Sultra kedepannya. Sebuah ikhtiar untuk mencapai pertumbuhan ekonomi Sultra yang sustain dan inklusif. Semoga.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button