Ketua Jarnas Pembangunan dan Investasi Sultra : Gugatan Ganti Rugi DLHK Jadi Preseden Buruk Iklim Investasi di Sultra.

Menyusul munculnya putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atas kasus kebakaran lahan PT Sari Asri Rezeki Indonesia (SARI) dengan nilai gugatan sebesar Rp405.606.401.000,00.
Terkait gugatan ganti kerugian dan pemulihan lingkungan KLHK terhadap PT SARI berkaitan dengan kebakaran lahan di areal konsesi PT SARI seluas 1.000 hektar pada tahun 2017-2018 yang berlokasi di Desa Talodo, Kecamatan Lalolae, Kabupaten Kolaka Timur, Provinsi Sulawesi Tenggara.
Ketua Jaringan Nasional Pemantau Pembangunan dan Investasi Indonesia Wilayah Sultra, Muh.Rahim, S.Sos. M.Si menanggapi persoalan hukum yang berdampak pada pertumbuhan investasi di Sulawesi Tenggara, khususnya di Kolaka Timur ini juga akan sangat menggangu stabilitas kehidupan sosial di Kolaka Timur, terkhusus di sekitar wilayah perkebunan sawit milik PT.Sari tersebut.
“Untuk itu, saya berharap semua pihak termasuk dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak serta-merta mengambil langkah hukum sebagai sanksi atas kebakaran hutan yang terjadi di Kolaka Timur.Karena lembaga kami juga telah melakukan investigasi secara menyeluruh bahwa tuduhan kepada pihak perusahaan yang melakukan pembakaran lahan yang merembet luas itu adalah tidak benar” ungkap Muh.Rahim kepada beritasulawesi.co.id, Senin (19/5) melalui siaran persnya.
Pihak Pemerintah Kabupaten Kolaka Timur, bersama dengan DPRD Kolaka Timur seharusnya proaktif mencari solusi untuk penyelesaikan hukum yang dialami perusahaan yang telah menanamkan investasinya di Kolaka Timur.
“Saya mengamati selama ini pihak perusahaan dibiarkan jalan sendiri menyelesaikan masalahnya, padahal dibalik semua ini tentunya usaha dan investasi PT ASRI ini secara tidak langsung akan dinikmati juga oleh pemerintah bersama masyarakatnya”tegasnya.
Selain itu, ia juga menyesalkan sejumlah pemberitaan di media Sulawesi Tenggara yang tidak seimbang dalam mengulas peristiwa.”Semua hampir menyudutkan perusahaan, padahal prinsip kerja dari media itu harusnya mengedepankan cover both side dan balance.Hampir tidak pernah ada konfirmasi dan hak jawab dari pihak Perusahaan sejak muncuatnya gugatan ini hingga sekarang”pungkas Rahim.
Meski Dirjen Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rasio Ridho Sani menuturkan KLHK sangat mengapreasi putusan PK yang membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat, serta telah menerapkan ketentuan Pasal 46 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup, dan berpihak pada lingkungan hidup dalam putusannya dengan menerapkan prinsip in dubio pro natura.
Namun dari pandangan Iklim Usaha dan Investasi di Sulawesi Tenggara, apa yang digugat kemudian akan dieksekusi itu sesungguhnya bukanlah sebuah prestasi yang perlu dibanggakan.Karena akan membawa dampak buruk kepada kesejahteraan dan pendapatan asli daerah di sektor pertanian dan perkebunan di Kolaka Timur. Inilah yang perlu dikaji ulang oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia.
“Karena saya yakin jika benar akan dieksekusi 405 Milyar maka dipastikan ini akan merugikan daerah baik secara langsung maupun tidak langsung. Selain itu data dan informasi yang kami peroleh terkait luasan lahan yang diklaim akibat dari pembakaran lahan itu perlu dipertanyakan pihak penggugat. Karena mereka tidak turun melakukan pengukuran secara akurat” ungkapnya.

Terkait persoal ini wajar saja jika Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Dr. Gulat Manurung, angkat suara untuk membela petani dan perusahaan sawit di Indonesia. Menurutnya, pemerintah dan aparat penegak hukum optimal dalam menyikapi karhutla yang terjadi di Indonesia, terutama Kolaka Timur dan beberapa Provinsi lainnya.
Sebab, lanjut Gulat, selama ini jika terjadi kebakaran hutan dan lahan, hampir dipastikan kebun sawit dianggap sebagai penyebabnya.
“Ada sebenarnya yang mengganjal dan kurang adil. Pada akhirnya menjadi tanda tanya besar terkait karhutla, jika ada kebakaran lahan identik dengan kebun kelapa sawit. Dengan berbagai variasi tuduhan. Ada yang bilang, perusahaan membakar, kemudian dalam versi yang lain, yang membakar itu petani sawit saat membuka lahan. Dan versi ketiganya, itu dibakar. Dan kalau tuduhannya menggunakan versi ketiga pada lahan yang sudah ada tanaman sawit, jelas gak mungkin. Logika sajalah, siapa sih yang mau membakar kebun atau pabrik uangnya sendiri?” tanya Gulat.
Lalu kalau yang terbakar itu hutan belantara, tentu patut diduga ada oknum yang bermain sehingga menimbulkan kegaduhan.
“Ini sengaja dibakar untuk tujuan ingin membuat gaduh,” pungkas peraih penghargaan Tokoh Sawit di Indonesia.
(bsnn)