Catatan Pendidikan 2022, Dari Digitalisasi Hingga Otonomi Guru
CENTER for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyoroti kinerja pemerintah di sektor pendidikan sepanjang tahun 2022. CIPS mencatat ada sejumlah hal yang perlu dievaluasi seperti efektivitas pelaksanaan digitalisasi pendidikan, mekanisme legislasi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), hingga otonomi guru.
“Pandemi covid-19 semakin menunjukkan mendesaknya kebutuhan akan digitalisasi pendidikan. Digitalisasi diperlukan untuk mewujudkan sistem pendidikan resilien di mana semua anak dapat tetap mengakses haknya untuk belajar dalam situasi apa pun,” ujar peneliti CIPS Nadia Fairuza Azzahra dalam keterangannya, Kamis (22/12).
Nadia menekankan digitalisasi pendidikan perlu dilakukan secara efektif. Sehingga bisa meningkatkan kualitas pendidikan dengan memperhatikan kemampuan guru dan siswa, ketersediaan jaringan, dan perangkat. Menurutnya, pelaksanaan pembelajaran jarak jauh (PJJ) tidak efektif selama pandemi. Tetapi, dengan adanya PJJ yang tidak efektif itu menunjukkan berbagai permasalahan yang perlu diselesaikan untuk memastikan akses semua anak kepada pendidikan.
PJJ menunjukkan secara riil kesenjangan digital atau digital divide antardaerah. Selanjutnya, dia menyebut bahwa sejauh ini masih kurang pelatihan yang dapat membantu guru membangun kompetensi dan kepercayaan diri dalam mengintegrasikan perangkat keras dan perangkat lunak ke dalam kegiatan mengajar. Serta masih rendahnya tingkat literasi digital di kalangan siswa dan guru. Nadia mendorong Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) perlu memperkuat kerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) terkait pembangunan infrastruktur digital yang memungkinkan pelaksanaan PJJ di masa mendatang. Pelibatan swasta juga dapat dijadikan pilihan mengingat pembangunan infrastruktur digital membutuhkan anggaran tidak sedikit.
Nadia mengatakan melibatkan swasta berarti keduanya dapat berbagi sumber daya yang memungkinkan cakupan program menjadi lebih luas. “Selain itu, permasalahan literasi digital yang masih rendah juga perlu segera ditangani dengan mengintegrasikan kompetensi ini ke dalam kurikulum,” tutur Nadia. Dia menyebut literasi sangat dibutuhkan sebagai bagian dari soft skill yang mendukung cara berpikir kritis dan memecahkan masalah. Lebih lanjut, Nadia mengatakan bahwa hal lain yang juga perlu dievaluasi ialah mekanisme legislasi RUU Sisdiknas.
Proses legislasi yang transparan dan mempertimbangkan aspirasi berbagai pihak, terutama di antaranya guru, orang tua, dan siswa harus menjadi prioritas. Sehingga bisa menciptakan undang-undang yang mewakili kepentingan bersama dan fokus pada peningkatan kualitas pendidikan. “Mekanisme legislasi RUU Sisdiknas perlu melibatkan banyak pihak dan dijalankan dengan lebih transparan. Proses ini perlu menyediakan ruang bagi berbagai stakeholders untuk mengungkapkan pendapat,” tutur dia.
Selanjutnya, pelaksanaan Kurikulum Merdeka. Nadia mengatakan ide besar Kurikulum Merdeka sangat baik karena memberikan keleluasaan kepada guru dan siswa mempersonalisasi pembelajaran dan merupakan langkah menuju kebebasan memilih lebih luas dalam pendidikan.
“Namun, lebih banyak dukungan teknis diperlukan untuk memberdayakan otonomi ini dan untuk secara efektif memanfaatkan alat dan sumber daya yang disediakan,” papar dia. Nadia menyebut kompetensi guru yang kurang memadai ini juga yang memengaruhi implementasi Merdeka Belajar selama pandemi. Perubahan mendadak dari penggunaan teknologi selama PJJ menjadi mengajar tatap muka, menyebabkan guru-guru kesulitan melakukan pembelajaran efektif akibat masih belum optimalnya penguasaan kompetensi dalam menggunakan teknologi. Selain itu, minimnya akses internet dan gawai pintar terutama bagi guru-guru di daerah rural Indonesia juga menjadi penghalang. Beban kerja guru-guru juga semakin berat selama masa pandemi karena tugas-tugas tambahan mulai dari menyiapkan konten pembelajaran daring hingga melayani pertanyaan dari siswa dan orang tua.