Memerdekakan Murid dengan Kurikulum Merdeka
Kita sudah lama mengenal kata Merdeka yang sering diserukan saat perayaan Hari Ulang Tahun Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebelum Indonesia bebas dari penjajah dan merayakan Hari Ulang Tahun Negara Kesatuan Republik Indonesis, kata “merdeka” diserukan bangsa Indonesia sambil mengepalkan tangan ke atas dengan penuh semangat. Lalu, dari mana asal kata “merdeka” dan artinya? Banyak pendapat yang menyebut kata “merdeka” berasal dari bahasa Sansekerta “Mahardhika, Maharddika, atau mahardika” yang memiliki banyak arti antara lain terhormat, bijaksana dan berbudi luhur. Berdasarkan KBBI, kata “merdeka” memiliki tiga arti, yakni: bebas dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya. tidak terkena atau lepas dari tuntutan. tidak terikat, tidak tergantung kepada orang.
Demikian pula Kurikulum pendidikan di Indonesia yang diterapkan saat ini, Kurikulum Merdeka menawarkan struktur kurikulum yang lebih fleksibel dan berfokus pada materi esensial sehingga memberikan keleluasaan bagi guru untuk mengajar sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik siswa. Hal ini memungkinkan pendidikan pada masa sekarang adalah Pendidikan yang Memerdekakan.
Pendidikan yang memerdekakan adalah proses yang menuntun murid dalam mengembangkan potensi-potensi dirinya. Hal ini dilandasi dari kebebasan dalam mengeksplorasi potensi-potensi tersebut, bebas dari tekanan. Namun demikian, pendidikan yang memerdekakan harus dilandasi dari prinsip among, Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Pendidikan yang memerdekakan menurut Ki Hajar Dewantara adalah suatu proses pendidikan yang meletakkan unsur kebebasan anak didik untuk mengatur dirinya sendiri, bertumbuh dan berkembang menurut kodratnya secara lahiriah dan batiniah.
Penulis memberikan pendapat bahwa pendidikan yang memerdekakan adalah proses dimana anak mencapai keselamatan dan kebahagiaan, bebas dari tekanan baik secara intenal maupun eksternal. Setiap anak lahir dengan kodrat yang unik, yakni tidak ada satupun pribadi yang sama antara satu dengan yang lainnya. Masing-masing anak memiliki tendensi sendiri dan kemampuan yang berbeda terhadap suatu pelajaran.
Metafora keunikan setiap anak adalah seperti ikan yang tidak dapat dipaksakan untuk pandai terbang, atau juga sebaliknya jangan menuntut burung untuk dapat berenang dengan lincah. Masing-masing anak ahli dalam bidangnya masing-masing. Tugas kita sebagai guru adalah melejitkan keahlian mereka. Bagaimana ikan dapat berenang dengan lebih cepat dan gesit? Bagaimana pula burung agar mampu terbang lebih tinggi dan jauh?
Sebagaimana anak-anak berbeda masing-masing guru juga berbeda. Oleh sebab itu, sebagai guru, kita juga harus mampu menggali potensi diri kita, dan bergerak bersinergi sesuai kemampuan untuk mewujudkan sekolah ramah anak yang merdeka, yaitu sekolah memiliki kriteria aman, bersih, peduli, dan berbudaya lingkungan hidup, demi menjamin, memenuhi, serta melindungi hak anak serta perlindungan anak sekolah dari segala bentuk diskriminasi dan kekerasan di lingkungan pendidikan.
Guru juga memberikan kesempatan murid-murid untuk terlibat dalam proses pembelajaran. Murid-murid harus dimotivasi mengembangkan kompetensi mereka dan bukan malah sebaliknya dikekang dengan segala aturan. Kondisi ini akan membuat murid merasa nyaman dan aman, murid merdeka batinnya, merdeka pikirannya, dan merdeka tenaganya. Dalam hal ini peran orang tua juga sangat dibutuhkan, karena pendidikan pertama, terutama dan paling lama anak tetaplah orang tua. Peran orang tua tidak tergantikan oleh sekolah meski orang tua mungkin dapat mendelegasikan pengajaran pada kaum ahli.
Artikel ini ditulis oleh Erni Setiyowati,M.Pd., Guru Penggerak Angkatan 3, Guru di SMP Frater Don Bosco Manado.