Regulasi Pemerintah Dituding Penyebab Kelangkaan Minyak Goreng
KELANGKAAN minyak goreng yang pernah terjadi di Indonesia bukan disebabkan oleh pelaku industri. Sebaliknya, kelangkaan terjadi karena regulasi pemerintah, dalam hal ini Peraturan Menteri Perdagangan, yang tidak konsisten dan cepat berubah.
“Para pelaku industri hanya mencari solusi terhadap kelangkaan minyak goreng, bukan untuk menciptakan kelangkaan minyak goreng seperti yang dituduhkan pemerintah,” kata Pierre Togar Sitanggang dari Grup Musim Mas saat membacakan nota pembelaannya pada persidangan dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor bahan baku minyak goreng atau crude palm oil (CPO) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Rabu (28/12).
Dalam agenda sidang tersebut, agenda sidang menghadirkan pleidoi dari tiga terdakwa. Selain Togar, nota pembelaan dibacakan secara langsung oleh terdakwa Master Parulian Tumanggor dari Grup Wilmar serta Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei. Dalam pleidoi, Togar menegaskan dirinya merupakan korban dari kebijakan pemerintah yang salah. Sejak awal, Togar dan para pelaku usaha industri kelapa sawit Indonesia sudah menyampaikan keberatan terhadap rencana kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) yang dirilis pemerintah lewat Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Ia menyebutkan terdapat beberapa alasan keberatan atas kebijakan pemerintah tersebut. “Disparitas harga terlalu besar antara DMO terhadap harga keekonomian pasar. Hal ini berpotensi menimbulkan penyelundupan, baik ekspor maupun ke industri, yang diharuskan membeli dengan harga keekonomian tadi,” jelas Togar dalam keterangan tertulis, Rabu (28/12). Togar menyesalkan keputusan pemerintah yang hanya menerapkan kebijakan tanpa sanksi alias sekadar mengimbau. Lalu ia tambah menyesalkan karena DMO selalu dikaitkan dengan ekspor, padahal struktur pasar minyak goreng di Indonesia beragam.
Di dalamnya ada yang 90% bertujuan ekspor dan ada yang 90% untuk lokal. “Jadi bagaimana kedua kelompok produsen ini bisa menjalankan DMO karena ada yang tidak paham pasar domestik, sementara diharuskan menjual ke pasar domestik sebelum melakukan ekspor. Di sisi lain ada yang tidak paham pasar ekspor sementara harus menjual minyak goreng dengan harga eceran tertinggi (HET) saat harga bahan baku minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) mayoritas diperdagangkan dengan harga pasar, bukan harga DPO untuk CPO,” paparnya.
Akibat dari regulasi tersebut, ada beberapa pabrik yang memilih berhenti berproduksi daripada mengalami kerugian yang begitu besar. Sementara langkah pemerintah hanya mengimbau dengan istilah matching, mencari produsen yang perlu CPO untuk minyak goreng domestik dan dipasangkan dengan eksportir yang perlu melakukan penjualan domestik. “Hasilnya sangat minim karena dua perusahaan yang belum saling kenal dipertemukan oleh matchmaker yang juga belum dikenal kedua perusahaan tersebut. Jual beli CPO selama ini selalu berdasarkan kepercayaan dan itu dibangun tidak dalam waktu yang singkat,” katanya.
Menurutnya, penekanan program DMO/DPO hanya pada tingkat produsen minyak goreng, tidak ada DMO/DPO pada level hulu, yaitu produsen CPO. Padahal sumber bahan baku minyak goreng ialah hasil perkebunan sawit yaitu CPO. Beberapa sudah mengusulkan agar PT Perkebunan Nusantara diwajibkan mendukung program ini dengan menjual CPO kepada pabrik minyak goreng dengan harga DPO, tetapi pemerintah tidak pernah bergerak ke arah ini. Togar melanjutkan, Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tata Niaga (PKTN) Kementerian Perdagangan tidak melakukan tugas karena tidak ada pengawasan pada jalur distribusi. “Pemerintah hanya memantau ada atau tidak ada minyak goreng di pasar/ritel. Pemerintah tidak pernah melakukan penelusuran pergerakan minyak goreng dari produsen ke distributor 1 (D1), ke D2, dan seterusnya sampai ke ritel.
Dengan mudah pemerintah menjawab, ‘Itu kalianlah, kan kalian tahu siapa distributor kalian.’ Ya, kami tahu D1 atau D2 kami karena hampir semua produsen punya D1 yang terafiliasi ke perusahaan. Akan tetapi untuk D3 dan seterusnya, produsen sudah tidak kenal lagi,” katanya. “Sikap pemerintah seperti ini menimbulkan persepsi bahwa produsen tidak melakukan penjualan atau seolah enggan berpartisipasi mendukung pemerintah.
Pemerintah melimpahkan kesalahan pada produsen, padahal ada satu direktorat jenderal yang seharusnya bisa berperan mengatasi permasalahan kelangkaan ini,” kata Togar melanjutkan. Selain masalah tadi, Togar mengatakan, regulasi pemerintah, dalam hal ini Peraturan Menteri Perdagangan, berubah sangat cepat. Industri belum sempat mempersiapkan diri untuk satu Permendag, ternyata sudah muncul Permendag lain. “Dengan demikian, waktu yang terpakai untuk mempersiapkan segala sesuatu untuk menjalankan regulasi sebelumnya terbuang percuma dan industri dituduh lamban bergerak.” (k-02)