Aneka Ragam

Memahami Kritik dan Selera Konsumen Dari Dapur Kue Nastar Sultana Mimilicious

Penulis : Mimi Hilzah

Bagaimana pelaku bisnis terutama makanan/minuman menyikapi masalah selera orang banyak yang maunya bisa pas banget dengan produk yang kita kerjakan?

Ya tetap konsisten dengan yang dikerjakan. Terus-menerus membuka telinga mendengar kritik dan saran tanpa mengabaikan prinsip-prinsip sendiri yang menjadi ruh bisnis yang dikelola. Soal selera memang hal yang sangat menantang, untuk mencapai kesempurnaan 100 persen adalah hal yang tidak mungkin. Jadi coba belajar memilah, mana kritik dan saran yang memiliki dasar dan bertujuan membantu kita memperbaiki kekurangan dan mana yang asal kritik tanpa mengerti apa dan bagaimana di balik proses pembuatan produk kita. Apalagi mereka yang sebenarnya tidak memiliki pengalaman yang cukup banyak hingga bisa membuat perbandingan atas produk-produk sejenis.

Beberapa waktu lalu saya menerima kritik yang agak susah saya pahami. Kue kami dikritik tidak menggunakan susu dan butter sebagai penambah citarasa, katanya. Saya memahami kalau kue-kue kami memang cenderung klasik, tidak mengutamakan rasa adonan yang wangi butter dan susunya menjajah banget seperti halnya produk premium lainnya, tapi ya kalau dibilang tidak menggunakan susu dan butter itu sama sekali tidak benar. Kebutuhan akan produk susu bubuk dan butter itu sama banyaknya dengan kebutuhan bahan dasar adonan lainnya. Soal bagaimana kemudian saya meracik resep di mana tidak ada satu bahan menjadi dominan, itu lain hal yang mungkin tidak bisa dipahami mereka yang tidak berkecimpung di urusan kue. Di dapur kami, bahan isian seperti kismis, nanas, coklat, kayu manis dll justru harus lebih utama sebab menurut saya itulah yang membuat satu produk dengan produk lainnya bisa dibedakan dan kemudian memiliki ciri khas.

Pakailah bahan-bahan berkualitas…

Ini kritik yang lebih nyelekit lagi tanpa dasar. Karena seleranya gagal terpenuhi maka membuat kesimpulan yang sangat dangkal.

Penggunaan bahan-bahan berkualitas sudah kami terapkan sejak dapur ini berdiri. Berkualitas bukan saja dari segi harga, tapi saya juga sangat selektif memilih berdasarkan kebutuhan produk sekaligus eksperimen yang banyak tentang dunia perbakingan. Telur misalnya, telur yang kami pakai memiliki standar ukuran dan tingkat kesegaran yang maksimal. Telur yang sudah tidak utuh kuningnya tidak akan lolos digunakan sebagai bahan produksi. Tepung terigu pun ada standar tersendiri, jika sudah tidak layak kami tidak segan membuangnya. Bukan dicampur dengan terigu baru demi menghindar dari kerugian. Kismis pun kami pilih dari kualitas terbaik, tidak peduli seiring waktu harganya terus naik.

Dari awal buka sampai hari ini kami menggunakan butter Anchor dan Coklatstik keluaran Tulip meski harga produk tidak laju seperti lajunya harga bahan produksi. Takaran keju edam dan parmesan pada produk Kaastengel dan Palmcheese tidak dikurangi atau disubsitusi ke jenis keju yang lebih murah hanya karena keuntungan menipis. Untuk margarine kami jelas menggunakan kemasan dus yang jelas masa kadaluarsanya dan belum pernah mengganti merek lain meski sudah berkali-kali ditawarkan merek lain yang harganya lebih ekonomis.

Jadi, menjadi tukang kue yang konsisten dan memiliki prinsip itu memang serba sulit wkwk… Saya tidak bisa seenaknya mengganti bahan bagus ke bahan yang lebih rendah kualitasnya sebab kami sudah melayani ribuan pelanggan yang sudah hapal rasa dan tekstur produk-produk dari dapur kami. Dan terlebih itu bukan gaya saya.

Lalu bagaimana menanggapi kritik yang tidak relevan dan tidak benar kesimpulannya?

Seperti biasa, untuk mencapai kesimpulan dari berbagai suara, kita mengambil rata-rata. Semua produk yang saya pertahankan di etalase adalah semua produk yang telah melalui proses seleksi oleh pelanggan sendiri. Minimal delapan dari sepuluh orang mengatakan bagus, maka produk itu layak untuk dipertahankan dan dilanjutkan produksinya.

Soal kurang manis, terlalu manis, enak, kurang enak, standar yang pakem itu sebenarnya merujuk ke mana? Tidak ada persisnya. Pasar akan menyaring sendiri mana pelanggan yang seleranya masuk dan mana yang seleranya tidak sesuai.

Para tukang kue juga mesti memiliki rasa percaya diri atas produk yang dikerjakannya dan sikap-sikap konsisten serta persisten merawat dan membesarkan produknya. Cercaan memang tidak selalu bisa ditelan dengan sempurna manakala kita mengukur kerja-kerja dan usaha di balik pembuatan produk yang masya Allah sudah kita upayakan sebaik-baiknya. Tidak baper setelah kerja-kerja gila menguras tenaga, pikiran dan emosi ya itu juga tantangan tersendiri. Tapi ya kembali lagi kita tidak akan pernah mencapai kepuasan pelanggan secara 100 persen. Amini saja.

Coba cek saja, berapa banyak pelanggan yang kembali menggunakan produk kita secara berulang, tanpa bosan. Berapa banyak pelanggan yang sudi menabung demi membeli produk yang menurut kantong mereka cukup mahal tapi sangat layak untuk dimiliki. Berapa banyak pelanggan yang tidak sungkan memberikan pujian terbaik dan terus mendukung kerja-kerja kecil kita.

Kepada mereka yang tidak peduli jumlahnya kecil maupun besar, kita menghaturkan apresiasi tertinggi sebab telah menjadi sumber semangat luar biasa untuk tetap memperjuangkan kerja-kerja yang sulit dan tetap menjaga kualitas dan eksistensi bisnis kita.

Fokus kepada mereka yang menghargai. Dengarkan kritik dan saran yang membangun. Perbaiki, tingkatkan, bersemangat. Produkmu akan menemukan pelanggan-pelanggan hebatnya sendiri.

Angka penjualan yang hebat memang menyenangkan. Tapi yang paling tertinggal kesannya adalah bertemu pelanggan-pelanggan yang secara jujur ikut senang dan bangga menghargai hasil kerja dan karyamu.

catatan : tulisan ini disadur dariĀ  facebook Mimi Hilzah

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button