Manusia di Tiga Kota (Sebuah Refleksi Sastra Pedalaman)
Oleh :Ridwan Demmatadju.

Sejam lalu saya bertelepon dengan seorang kawan rasa saudara di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, dia yang kutelpon adalah salah satu sastrawan Indonesia yang bermukim di Barru sampai saat dia masuki masa pensiun dari rutinitas sebagai guru.
Bagi masyarakat sastra di Sulawesi Selatan namanya tentu sangat dikenal lantaran ia kerap menulis cerpen dan puisi yang terbit di dua harian pagi terbesar di Kota Makassar.
Perkawanan saya dengannya sejak 1994, masih kuliah di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) IKIP Ujungpandang sekarang Universitas Negeri Makassar. Saat kami bertemu di cafetaria kampus, dia sedang melanjutkan kuliah dari diploma ke strata satu.Sebagai guru berstatus pegawai negeri sipil menjadi syarat untuk naik pangkat atau dapat jabatan harus memiliki pendidikan strata satu.Namun dibenak kawan saya dengan usianya lebih tua umur dari saya, dia tak sekedar lagi memburu jabatan kepala sekolah, saya membaca pikiran dan hatinya untuk mengejar ilmu pengetahuan dan relasi. Setiap sabtu-minggu dengan motor Vespa eklusif dua warna birunya terlihat sudah parkir tidak jauh dari pelataran gedung kuliah.
Bertemu pertama kalinya sangat tentu sangat terkesan, karena namanya sudah sering saya baca di Harian Pedoman Rakyat dan Fajar sebagai penulis karya sastra.Sangat terkesan karena sejatinya saya sudah lama ingin mengenal sosok Badaruddin Amir, guru bahasa dan sastra Indonesia ini, bagai gayung pun bersambut rasanya lalu obrolan pun mengalir sampai jauh soal karya sastra dan soal lainnya. Senangnya dalam hati dipertemukan dengan orang baik plus dia penulis.
Sebagai mahasiswa dengan kiriman pas-pasan untuk bisa bertahan hidup jauh dari kedua orang tua di Tanah Merah Pomalaa, Sulawesi Tenggara, saya punya banyak kawan rasa saudara di kampus dan di luar kampus dengan beragam suku.Nah, Badaruddin Amir salah satunya, hubungan tak sekedar berteman biasa, saya bahkan diajak ke kampungnya di sebuah Desa Madello, di Barru berlebaran disana dan saya mengenal semua sanak keluarganya di hari lebaran yang sempurna dengan aneka rupa makanan selain buras dan ketupatnya.
Suatu waktu di Dewan Kesenian Makassar sependek ingatanku, Tahun 1995 digelar pertemuan pegiat seni budaya Se-Sulawesi Selatan, dan Badaruddin Amir datang memenuhi undangan tersebut bersama Tri Astoto Kodarie, dia juga penulis dan kepala sekolah di Kota Pare-Pare dan akhirnya juga berteman dengan Tri Astoto Kodarie hingga hari ini.
Jejak perjalanan kami bertiga di Sulawesi Selatan sebagai pegiat sastra pedalaman, cukup memberi warna khasanah perkembangan karya sastra Indonesia di Sulawesi Selatan saat itu, saya sebagai mahasiswa dan aktif menulis di dua media Pedoman Rakyat, Harian Fajar dan sesekali mengirim tulisan di surat kabar nasional dengan imbalan honor tulisan yang lumayan bisa dipakai hidup sebulan jika tulisanku terbit di media.Saya menikmatinya, menulis kemudian dapat honor tulisan menjadi sebuah pintu masuk di kalangan masyarakat seniman, budayawan dan tentunya di kalangan kampus baik di IAIN Alaudin,UVRI, UMI, Unismuh dan Universitas Hasanuddin.Di masa itu pergerakan pegiat sastra memaksa kami bertiga, saya di bergerak dari kampus di Kota Makassar, Badaruddin Amir di Barru dan Tri Astoto Kodarie.Ruang diskusi dan korespondensi surat terjalin begitu serius dan mencekam.Karena teknologi informasi dan komunikasi saat itu belum canggih maka pilihan surat sastra pun jadi pilihan untuk berdiskusi, berbagi gagasan selain mesin fotocopy untuk menduplikasi konsep revitalisasi sastra pedalaman.Saya nyaman disebut manusia di tiga kota atau tiga serangkai.Tiga kota karena saya selalu ada di Barru, dan Pare-Pare dan Makassar sebagai titik pergerakan saya.Gara-gara itulah saya harus dipaksa untuk menyelesaikan masa kuliah, karena nyaris saya di DO (drop out).
Begitulah, jalan kehidupanku sebagai mahasiswa dengan cap mahasiwa dalam ganguan jiwa.Saya juga sulit menghindari semua godaan setan untuk mencari jalan untuk bertemu semua orang-orang berilmu.Puncaknya, saya bertiga diundang hadir di Pertemuan Sastrawan Nusantara dan Asean di INS Kayu Tanam, Kota Padang, Sumatera Barat 1996.Disanalah saya bertemu WS.Rendra, A.A.Navis (Penulis Robohnya Surau Kami),Nano Rintiarno dan isterinya Mba Ratna Rintiarno (Teater Koma), Soetardji Calsoum Bahri dan banyak lagi penyair serumpun dari Malaysia, Brunai dan Singapura.Perjalanan dari tiga kota menuju Kota Padang sungguh cerita penuh romantisme kami bertiga.
Kolaka bagian Watuliandu, 29.04.2023