
MINGGU lalu, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan pertumbuhan investasi tahunan Indonesia. Untuk semester I (Januari-Juni) 2023, realisasi investasi mencapa Rp678,7 triliun atau tumbuh 16,1% jika dibandingkan dengan di periode yang sama tahun lalu.
Dengan capaian itu, Bahlil pun optimistis target investasi yang diamanatkan Presiden Jokowi bakal tercapai, yakni Rp1.400 triliun pada 2023. Realisasi investasi itu jelas menggembirakan. Investasi adalah motor penting ekonomi, dan pertumbuhannya mencerminkan kepercayaan investor terhadap kondisi dalam negeri. Ini juga merupakan sinyal bagus bahwa kontestasi politik yang sudah terasa menghangat, sejauh ini dinilai berjalan kondusif. Teori baku bahwa peningkatan investasi akan mendongkrak ekonomi pun terbukti.
Di beberapa provinsi yang menjadi tujuan utama investasi, pertumbuhan ekonomi nyata terukur. Salah satunya di Sulawesi Tengah yang masuk lima besar provinsi tujuan utama investasi per Juni 2023, yakni mencapai Rp56,4 triliun. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat perekonomian di provinsi itu tumbuh 13,18% secara tahunan (year on year/y-on-y) pada triwulan I 2023.
Hal serupa terjadi di Banten yang menempati peringkat lima provinsi tujuan investasi per Juni 2023, dengan raihan Rp50,6 triliun. Ekonomi Banten triwulan I 2023 terhadap triwulan I 2022 tumbuh 4,68% (y-on-y). Namun, jika kita menyelisik lebih dalam ke angka lain ukuran kesejahteraan, gemerlapnya investasi itu tampak semu. Contoh paling nyata ialah persentase penduduk miskin di provinsi tersebut yang juga justru naik. BPS Sulawesi Tengah melaporkan persentase penduduk miskin pada Maret 2023 sebesar 12,41%, atau meningkat 0,11% poin ketimbang September 2022, dan meningkat 0,08% poin terhadap Maret 2022.
Masih dari laporan BPS terbaca bahwa peningkatan penduduk miskin terjadi di perdesaan. Adapun di Banten, persentase penduduk miskin di provinsi itu pada Maret 2023 sebesar 6,17%, menurun 0,07% poin ketimbang September 2022, tapi meningkat 0,01% poin jika dibandingkan dengan Maret 2022. Berbeda dengan di Sulteng, peningkatan penduduk miskin di Banten lebih terjadi di perkotaan. Memang sejumlah faktor memengaruhi meningkatnya persentase penduduk miskin.
Meski begitu, tidak bisa disangkal bahwa gemerlapnya investasi belum benar-benar tepat sasaran. Gemerlapnya investasi, berikut dengan pertumbuhan ekonomi, sangat mungkin hanya dinikmati kelas tertentu. Apalagi jika banjir investasi itu hanya bermuara pada sektor padat modal dan industri-industri yang menuntut alih fungsi lahan di perdesaan. Kalau demikian, kelompok masyarakat terbawah, baik di perkotaan maupun perdesaan, hanya akan semakin termarginalkan.
Ketimpangan ini yang sebenarnya juga telah diingatkan dari euforia naik kelasnya Indonesia ke level negara berpendapatan menengah atas (upper middle-income country/UMIC). Pendapatan naik kelas, di sisi lain jurang ketimpangan juga makin lebar. Berdasarkan laporan World Inequality Report 2022, kelompok 50% terbawah hanya memiliki 5,46% dari total kekayaan ekonomi Indonesia pada 2021.
Pendapatan kelompok 50% terbawah hanya Rp22,6 juta per tahun pada 2021. Adapun kelompok 10% teratas memiliki pendapatan sebesar Rp285,07 juta per tahun. Itu berarti 1 orang dari kelas ekonomi atas memiliki pendapatan 19 kali lipat lebih besar daripada orang dari ekonomi terbawah.
Kelompok masyarakat terbawah akan terus terjebak pada lingkaran setan kemiskinan karena minimnya akses pendidikan dan kesehatan. Jangankan belajar keterampilan baru yang sesuai dengan pasar kerja saat ini, banyak anak ekonomi bawah putus sekolah karena berbagai tekanan ekonomi.
Berdasarkan laporan Indeks Pembangunan Manusia 2022 oleh BPS, angka tidak bersekolah usia 13-15 tahun dan usia 16-18 tahun justru naik. Sejurus dengan itu, angka melanjutkan/transisi ke SMP/sederajat dan angka melanjutkan/transisi ke SMA/sederajat malah turun. Oleh sebab itulah, pemerintah baik pusat maupun daerah semestinya bukan sekadar mengejar angka investasi. Mereka juga berkewajiban memastikan dampak investasi tepat sasaran, menyerap tenaga kerja, dan menggerakkan ekonomi kelas bawah. (***)