OpiniPendidikan

MUSYAWARAH POHON

Oleh : Sapril Ahmady

Suasana pagi yang teduh di sebuah sudut jalan dekat taman kota di Makassar menjadi saksi perbincangan mendalam antara Pohon Trambesi, Ketapang Kencana, Asam, dan Tabebuya. Di tengah keramaian kota yang beranjak, mereka, yang telah bertahan selama puluhan tahun, mengalami sebuah fenomena mengganggu: banyak pohon di sekitar mereka yang dipaku dan dijadikan tempat untuk menggantungkan banner para calon legislatif dan presiden menjelang pemilihan umum.

Pohon Trambesi, yang paling tua dan bijaksana, mengawali diskusi dengan suara yang berat, “Saudara-saudaraku, lihatlah betapa banyak dari kita yang telah disakiti. Paku dan banner itu tidak hanya menyakitkan secara fisik, tetapi juga mencerminkan sikap yang tidak peduli dari mereka yang ingin berkuasa. Ini bukan hanya tentang kita, tetapi tentang sikap manusia terhadap lingkungan secara keseluruhan.”

Ketapang Kencana, dengan dedaunannya yang bergoyang, menimpali, “Benar sekali, Trambesi. Dan tidak hanya itu, sikap mereka ini mewakili keresahan yang dirasakan oleh banyak warga. Kita, pohon-pohon ini, menjadi simbol dari kekecewaan dan kekhawatiran mereka terhadap cara-cara politik yang sembrono dan tidak bertanggung jawab.”
Pohon Asam, yang biasanya tenang, bergabung dalam diskusi dengan suara yang reflektif,

“Saya telah mendengar banyak warga yang berjalan di bawah rindangku mengeluhkan hal yang sama. Mereka berbicara tentang bagaimana para politisi ini sering kali melupakan janji mereka setelah terpilih, sama seperti mereka melupakan sampah banner yang mereka tinggalkan di tubuh kita.”

Tabebuya, yang bunganya indah, mengungkapkan pandangannya, “Kita seperti menjadi saksi bisu dari siklus yang tidak pernah berubah. Setiap pemilu, harapan dibangun, banner dipasang, dan setelahnya, semua ditinggalkan begitu saja. Ini seperti metafora dari janji-janji politik yang sering berlalu tanpa realisasi yang nyata.”

Pohon Trambesi menambahkan, “Dan bukan hanya itu, teman-teman. Cara mereka merusak kita, menggunakan kita tanpa pertimbangan, mencerminkan kurangnya kesadaran akan pentingnya keberlanjutan dan kelestarian. Apakah ini gambaran dari bagaimana mereka akan mengelola sumber daya alam kita?”

Pohon Asam, menimpali, menambahkan dengan nada serius, “Ini ironis. Mereka berbicara tentang pembangunan dan kemajuan, namun mereka sendiri tidak peduli dengan lingkungan. Apakah ini yang disebut dengan pembangunan berkelanjutan? Mereka tidak hanya mengabaikan kesehatan kita, tapi juga gagal menunjukkan kreativitas dalam kampanye, selalu menggunakan cara lama yang merusak.”

Ketapang Kencana, dengan suara yang semakin bersemangat, berkata, “Ini menunjukkan betapa pentingnya kita, sebagai bagian dari alam, dalam kehidupan ini. Kita bukan hanya penerima pasif dari tindakan mereka, tetapi juga simbol dari apa yang salah dalam sistem mereka. Kita mewakili suara alam yang sering diabaikan. JANGAN PILIH PEMIMPIN ATAU WAKIL yang wajahnya melukai batang batang tubuh kita”

Di antara mereka, seekor burung kecil yang sering bertengger di cabang-cabang pohon ikut serta dalam diskusi. “Saya mendengar banyak manusia yang mengeluhkan hal yang sama. Mereka juga tidak suka dengan sampah spanduk dan banner kampanye yang berserakan. Tapi, sepertinya suara mereka tidak didengar oleh pemerintah atau panitia pemilu.”

Pohon Asam, yang sepanjang diskusi telah menyuarakan pemikiran-pemikiran reflektif, kini menutup percakapan dengan kata-kata yang mendalam dan menyentuh. Suaranya terdengar lembut namun penuh makna, “Saudara-saudaraku, kita berada di kota yang bermimpi menjadi kota dunia, dengan harapan memiliki ruang terbuka hijau yang memadai, yang menjadi oasis di tengah kesibukan dan hiruk-pikuk perkotaan. Namun, mimpi itu, sayangnya, masih jauh panggang dari api.”

Dia menghela napas, seolah merasakan kesedihan yang mendalam, “Lihatlah sekitar kita. Kehijauan yang seharusnya menjadi kebanggaan dan kesegaran bagi kota ini, kini tercemar oleh sampah-sampah janji, foto-foto yang memuakkan pandangan, dan banner-banner yang tidak hanya merusak keindahan visual kita, tetapi juga merusak nurani sang Ibu Alam.”

“Dapatkah kita masih berharap?” tanyanya, bukan hanya kepada pohon-pohon lain, tetapi juga kepada alam sekitar, “Dapatkah harapan akan kota hijau, sejuk, dan berkelanjutan, berdiri tegak di tengah praktek-praktek yang merusak ini? Kita, sebagai bagian dari alam, menyaksikan bagaimana keindahan dan kesucian lingkungan kita dikorbankan demi kepentingan sesaat dan keuntungan politik.”

“Dalam diam dan ketegaran kita, kita berdiri sebagai simbol perlawanan terhadap kelalaian dan ketidakpedulian. Mungkin suara kita tidak terdengar dalam diskusi dan keputusan manusia, tetapi keberadaan kita, yang kini terluka oleh tindakan mereka, menjadi bukti nyata dari konsekuensi sikap mereka. Semoga, suatu hari, mereka akan menyadari bahwa dalam merawat kita, mereka sebenarnya sedang merawat masa depan mereka sendiri.”

Dengan kata-kata penutup Pohon Asam, percakapan di taman kota itu berakhir, meninggalkan kesan mendalam tentang betapa pentingnya menjaga hubungan harmonis antara manusia dan alam. Pohon-pohon itu, dengan kebijaksanaan dan ketegaran mereka, mengingatkan kita semua tentang pentingnya bertindak secara etis dan bertanggung jawab terhadap lingkungan, untuk mewujudkan mimpi sebuah kota dunia yang hijau dan berkelanjutan.

Pohon Asam, menyimpulkan, “Dengan berdiri di sini, menyaksikan semuanya, kita menjadi lebih dari sekadar pohon. Kita menjadi saksi dan simbol dari kebutuhan mendesak untuk menghormati alam dan lingkungan, yang sejatinya adalah rumah bagi kita semua, termasuk manusia. “Pak Wali RTH kita masih jauh dari 30%!!!” Tetiba ia berteriak Lantang.  (***)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button