Langkah Strategis Dongkrak Kinerja Industri Manufaktur RI

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II – 2023 mencapai 5,17%. Hal Ini membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di atas 5% dalam dalam 7 kuartal berturut-turut.
Secara kuartalan, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat mencapai 3,86%. Dengan capaian ini, maka PDB Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) mencapai Rp 5.226,7 triliun.
Meski demikian, pertumbuhan ekonomi 5% tidak cukup untuk mempercepat target Indonesia menjadi negara maju dengan pendapatan tinggi atau high income country.
Hal tersebut disampaikan Ekonom dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), Kiki Verico dalam diskusi yang diadakan Forum Wartawan Industri (Forwin), Senin (7/8).
Menurut perhitungannya, dengan pertumbuhan ekonomi 5%, Indonesia baru bisa menjadi negara berpendapatan tinggi 25 tahun mendatang, atau pada 2042. Sementara dengan pertumbuhan 6% butuh 21 tahun, atau di 2038.
“Given bonus demografi itu di tahun 2037 akan menurun. Kita harus mengejar percepatan itu. Jadi kalau kita mau lebih cepat, maka harus 6-7% pertumbuhan ekonominya,” terangnya.
Disisi lain, bila melihat sumber penyerapan lapangan kerja formal di Tanah Air, dari total 140 juta tenaga kerja, sekitar 40 persennya bekerja formal di sektor manufaktur.
Sehingga, Kiki memandang sumber pendapatan negara dari pajak juga dihasilkan dalam angka besar pada sektor manufaktur.
“Jadi 40 persen dari 40 persen formal activities itu ada di manufaktur. Dan itu sumber pajak, sumber penerimaan negara, sumber pembangunan. Manufaktur itu sangat penting bagi ekonomi indonesia,” terangnya.
Menurutnya, ada sejumlah langkah untuk mendorong pertumbuhan industri manufaktur, salah satunya dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM).
“Bisa dilihat mayoritas SDM manufaktur di Indonesia itu unskilled, 17 per 18. Jadi 90 persen unskilled. Hanya 0,5 persen yang skilled. Artinya apa? Skill manufaktur mesti ditingkatkan. Walaupun banyak teori yang mengatakan bahwa untuk meningkatkan skill SDM manufaktur itu, investasi harus masuk dulu,” katanya.
Oleh karena itu, Indonesia perlu melakukan transformasi dengan menjadi basis produksi, khususnya dengan pendekatan industri hijau sebagaimana tren yang tengah terjadi di dunia saat ini.
“Lalu, harus jaringan yang green (hijau). Sekarang itu kita tidak bisa menjual produk kalau produknya tidak green. Kalau produknya tidak green, nanti tidak bisa masuk (jaringan) dunia. Tidak bisa jual ke mana-mana. Sehingga dari awal, kalau kita mau mendorong manufaktur, harus pro lingkungan. Environment friendly (ramah lingkungan),” katanya.
Kiki menegaskan, orientasi Indonesia menjadi basis produksi merupakan salah satu upaya dalam melakukan transformasi. Pasalnya, manufaktur tidak dibuat oleh satu negara dari awal hingga akhir, melainkan dibutuhkan kerja sama dengan negara lain.
Karena itu, transformasi perlu dilakukan untuk bisa mendongkrak industri agar bisa tumbuh lebih pesat lagi.
Dikesempatan yang sama, Rektor Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, Prof Rina Indiastuti mengatakan sejumlah strategi yang bisa digunakan untuk mendongkrak pertumbuhan industri manufaktur di antaranya mulai dengan mengeksplorasi cabang-cabang industri manufaktur.
Menurut Rina, Indonesia harus bisa mulai mengeksplorasi sektor-sektor industri yang bisa mendorong industri manufaktur lainnya sehingga saling terkait.
“Kita masih bermain lama di industri karet, kertas. Kita juga kuat di elektronik, transportasi (otomotif), itu basisnya teknologi dan ekspor. Tetapi kita masih mengandalkan industri yang dari dulu berperan, padahal cabang industri manufaktur begitu banyak. Barangkali mari kita mulai menyiapkan cabang-cabang lain,” katanya.
Lebih lanjut, Rina menilai momentum pemulihan ekonomi pascapandemi COVID-19 menjadi waktu yang tepat untuk mendorong pertumbuhan industri manufaktur.
“Momentum pemulihan pasca-COVID-19 sekarang ini merupakan cara atau ajang untuk mendorong pertumbuhan industri manufaktur lebih tinggi dari nasional,” paparnya.
Rina mengatakan industri yang telah tumbuh baik perlu didorong untuk bisa meningkatkan ekspor dan melakukan penetrasi yang lebih intens ke pasar domestik.
Selain itu, ia juga menyinggung perlunya adopsi teknologi sesuai karakteristik industri.
Dirinya mendorong pemangku kepentingan terkait, mulai dari pemerintah hingga perguruan tinggi, untuk mulai memikirkan soal memilih dan mengadopsi teknologi yang tidak hanya memberi nilai tambah tinggi tapi juga sesuai dengan kebutuhan dan tren industri saat ini, termasuk tren industri hijau.
“Penelitian di kami menyatakan kalau ekspor industri manufaktur ingin tidak decline (menurun), ternyata yang penting bukan hanya masalah global value chain tapi juga faktor kelembagaan. Jadi bagaimana sinergi antarsektor membuahkan biaya yang rendah bagi industri,” pungkas Rina. (bsnn-k12)