Berita Nasional

Daya Saing Industri Lemah karena Terlalu Bergantung pada Negara Lain

Pemerintahan baru yang akan dilantik Oktober 2024, ke depan harus bisa menemukan cara baru untuk keluar dari middle income trap atau jebakan negara berpendapatan menengah. Pemerintah pun disarankan tidak lagi mengikuti saran Bank Dunia dan IMF yang terbukti hanya memberi angin surga, tapi pada akhirnya malah membuat negara terjebak dalam berbagai masalah, seperti kemiskinan, ketimpangan, dan kebergantungan pada pangan serta energi impor.

Pengamat ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, mengatakan atas kesalahan “resep” di masa lalu itulah yang menyebabkan Indonesia kini menghadapi krisis brain drain yang cukup serius. Banyak dari individu berbakat dan berpendidikan tinggi lebih memilih untuk meninggalkan Tanah Air dan mengejar karier di luar negeri. Fenomena itu terjadi karena minimnya ruang bagi mereka untuk memanfaatkan ilmu dan keahlian yang dimiliki di Indonesia.

“Orang-orang pintar ini tidak bisa digunakan di sini. Ilmunya tidak dapat diterapkan karena Indonesia tidak menyediakan ruang bagi mereka,” kata Aditya. Para profesional ini, menurut Aditya, lebih mudah bekerja di perusahaan-perusahaan luar negeri yang memiliki teknologi maju dan infrastruktur yang memadai. Di sana, ilmu yang mereka miliki dapat diterapkan dengan lebih baik. “Di luar negeri, mereka bisa bekerja di perusahaan teknologi tinggi atau bahkan memulai membangun perusahaan startup sendiri karena supply chain yang lengkap, sesuatu yang kita tidak punya di sini,” lanjutnya.

Tidak hanya masalah brain drain, Indonesia juga menghadapi tantangan besar dalam hal kebergantungan pada impor. Sebagai contoh sederhana, Aditya menyoroti industri sepeda. “spare parts tertentu harus diimpor dari luar negeri, karena kita belum mampu memproduksi komponen tersebut. Pada akhirnya, kita hanya menjadi importir,” tambahnya. Situasi tersebut tidak hanya menandakan lemahnya daya saing industri dalam negeri, tetapi juga memperlihatkan kebergantungan yang besar pada negara lain.

Hal itu menurut Aditya, merupakan salah satu hasil dari kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia (WB) dan IMF yang dia sebut “tidak relevan” untuk diterapkan di Indonesia. “Mereka memberi kita ‘resep’ yang tidak bisa diaplikasikan di sini. Ini seperti memberi obat yang tidak bisa menyembuhkan,” katanya.

Harus Tegas Dengan kondisi seperti itu, mulai menimbulkan spekulasi apakah Indonesia masih memiliki harapan untuk lepas dari middle income trap? Aditya optimistis dengan syarat bahwa pemerintahan baru harus tegas dalam mengambil langkah yang tepat. Ada harapan, tapi pemerintah harus tahu apa obatnya. Sistem yang berjalan saat ini tidak bisa digunakan lagi, dan jangan lagi mendengar saran dari World Bank yang selalu memberikan angin surga yang tidak bisa dicapai. (bsnn)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button