Berita Nasional

1 Tahun Prabowo-Gibran: Maju Mundur Pembentukan BPN

Pemerintah menargetkan penerimaan negara mencapai 23% dari produk domestik bruto (gross domestic product), target yang cukup fantastis mengingat tahun ini penerimaan negara ditargetkan hanya 11,9% dari PDB.

Apalagi, penerimaan negara tidak pernah mencapai target sejak 2009, meskipun penerimaan pajak pada 2018 melampaui target, tetapi secara keseluruhan penerimaan negara tak pernah mencapai target lebih dari satu dekade.

Oleh karena itu, untuk mengejar target ini, pemerintah pun berencana membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN) sebagai upaya reformasi pengelolaan penerimaan negara. Badan ini dirancang untuk menyederhanakan birokrasi, meningkatkan efisiensi, dan memperkuat kepatuhan wajib pajak serta penerimaan negara secara keseluruhan.

BPN pertama kali diusulkan pemerintah awal 2025. Dirjen Perpajakan Kemenkeu Budi Santoso menyebut badan ini mampu menyatukan pengelolaan pajak, bea cukai, dan penerimaan negara lainnya.

“Kami ingin BPN hadir untuk menyederhanakan birokrasi sekaligus memperkuat kepatuhan wajib pajak dan penerimaan negara,” ujar Budi kala itu.

Pemerintah pun mulai menyusun rancangan undang-undang pembentukan BPN pada kuartal I, termasuk struktur organisasi, kewenangan, dan target penerimaan. Fokus utama adalah integrasi seluruh penerimaan negara agar lebih transparan dan efisien.

Masuk kuartal II 2025, RUU BPN mulai dibahas oleh Komisi XI DPR. Anggota Komisi XI Siti Nurjanah pun mendukung reformasi pengelolaan penerimaan negara, tetapi perlu memastikan pengawasan, transparansi, dan koordinasi dengan instansi lain berjalan baik.

Kuartal III 2025, pemerintah membuka konsultasi publik dan melibatkan pengamat ekonomi untuk meninjau efektivitas BPN. Salah satunya adalah pengamat kebijakan fiskal, Fadli Hidayat, yang menyebut BPN bisa menjadi terobosan jika struktur dan sistem pengawasannya jelas. “Reformasi digital dan integrasi data wajib pajak menjadi kunci keberhasilan,” ujarnya.

Namun, memasuki kuartal IV, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan tidak akan membangun BPN dalam waktu dekat. Dia pun lebih mempercayakan pengelolaan penerimaan negara pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). “Saya akan mengelola, membawahi sendiri lah,” kata Purbaya.

Menurut Purbaya, yang terpenting saat ini adalah melakukan reformasi internal secara menyeluruh terhadap dua direktorat penerimaan utama tersebut. Tujuannya adalah meningkatkan efisiensi pengelolaan anggaran dan menutup berbagai potensi kebocoran penerimaan.

Menurut Purbaya, reformasi tata kelola dan penguatan integritas pegawai merupakan jalan yang lebih rasional dan cepat untuk meningkatkan efektivitas penerimaan negara dibanding pembentukan institusi baru yang memerlukan proses hukum dan birokrasi panjang. “Jadi itu bagian saya, pajak dan bea cukai. Saya harapkan ke depan akan lebih efisien dan efektif,” ujarnya.

Padahal, pembentukan BPN masuk ke dalam dokumen Peraturan Presiden (Perpres) No 79 Tahun 2025 tentang Pemutakhiran Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2025. Dalam lampiran Perpres tersebut dituliskan pemerintah melalui Program Hasil Terbaik Cepat (Quick Wins) berencana mendirikan Badan Penerimaan Negara (BPN) dengan tujuan untuk mendongkrak tax ratio hingga 23% terhadap PDB.

Purbaya pun menilai target rasio penerimaan negara (tax ratio) sebesar 23% terhadap PDB tidak mungkin tercapai dalam waktu dekat. Menurutnya, peningkatan rasio penerimaan harus berkelanjutan dan naik secara perlahan.

Oleh karena itu, pembentukan lembaga baru seperti BPN malah tidak mempercepat target. Sebaliknya, reformasi pada DJP dan DJBC yang berada di bawah Kemenkeu bisa terus dia pantau sehingga menutup kebocoran.

“Kita akan melakukan berbagai reform, termasuk menutup kebocoran-kebocoran yang ada dan lebih mendisiplinkan pegawai-pegawai bea cukai dan pajak,” tegasnya.

Senada, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai rencana pemerintah membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN) tidak akan secara signifikan meningkatkan penerimaan negara.

Menurut pakar ekonomi Indef, Tauhid Ahmad, permasalahan utama penerimaan bukan terletak pada kelembagaan, melainkan pada efektivitas kebijakan fiskal dan kinerja direktorat yang sudah ada di bawah Kementerian Keuangan. “Justru bikin lembaga baru itu bisa lebih costly,” ujar Tauhid.

Menurut Tauhid, jika tujuan pembentukan BPN adalah memperkuat pengumpulan pajak dan memperluas sumber penerimaan negara, langkah yang lebih efisien adalah memperbaiki tata kelola di internal lembaga yang sudah ada. Misalnya, dengan menambah pegawai pajak di daerah, memperluas jangkauan digitalisasi sistem, dan memperbaiki akurasi data wajib pajak.

“Rata-rata sebagian besar dikelola oleh Kementerian Keuangan. Negara-negara lain tidak banyak yang menggunakan skema BPN seperti di kita. Karena penerimaan negara itu bukan diletakkan pada lembaga yang berdiri sendiri, tapi pada seberapa efektif program yang dijalankan,” jelasnya.

Oleh karena itu, dengan tax ratio Indonesia sekitar 10% dan total penerimaan negara baru 12–13% dari PDB, menurutnya target pemerintah dengan membangun BPN untuk menaikkan rasio penerimaan hingga 23% terhadap PDB seperti yang tercantum dalam dokumen RKP 2025, masih perlu ditempuh lewat strategi reformasi kebijakan yang konsisten dan terukur.

 

(bsnn)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button