Sumatera Menangis, Panggilan Kemanusiaan untuk Kita Semua
Setiap hari, setiap menit, setiap detik, layar-layar di ruang redaksi kami menampilkan fragmen tragedi yang menghantam Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar). Tim Beritasatu di lapangan mengirimkan laporan yang membuat dada kami terasa sesak: desa desa lenyap, jembatan patah, warga kelaparan berhari-hari, bayi menangis kelelahan, dan aroma kematian yang menyergap begitu relawan memasuki wilayah yang terisolasi.
Ini bukan sekadar bencana. Ini adalah jeritan manusia yang tidak boleh dibiarkan menggema sendirian.
Setiap laporan baru yang masuk, setiap video tentang warga yang terseret arus, setiap gambar ibu yang kehilangan anak, membuat kami spontan berdoa. “Ya Allah, kuatkan saudara-saudara kami di Sumatera. Lindungi yang masih bertahan, dan ringankan hati yang sedang retak oleh kehilangan”.
Meski dunia seolah runtuh, tim kami menemukan orang-orang yang memancarkan cahaya di tengah kegelapan.
Relawan seperti Ferry Irwandi
Nama Ferry Irwandi, salah satu yang muncul dalam laporan tim Beritasatu. Seorang aktivis yang juga content creator.
Ia menggalang miliaran rupiah dari publik, mengangkut sendiri karung-karung bantuan, dan menembus daerah yang bahkan helikopter ragu untuk mendarat. Ia memastikan bantuan sampai, bukan sekadar terkirim.
Ia bukan pejabat. Ia bukan tokoh politik. Ia hanya manusia. Manusia yang menolak diam ketika saudara-saudaranya tertimpa bencana.
PLN Penjaga Cahaya
Kameramen kami merekam petugas PLN bekerja di tengah arus, memanjat gardu yang hampir tumbang, memperbaiki jaringan listrik dalam kondisi yang nyaris mustahil.
Ketika satu rumah kembali menyala, itu bukan sekadar listrik. Itu pulangnya harapan.
Jalan Terjal Tidak Menghentikan TNI
TNI menjadi ujung tombak penyelamatan. Mereka membawa korban di punggung, menembus tebing longsor, membersihkan jalur, menggerakkan alat berat, hingga memastikan logistik tiba di desa desa paling terisolasi.
Di tempat-tempat yang bahkan sinyal tidak bisa masuk, di situlah biasanya kami melihat prajurit TNI berdiri.
Mualem, Pemimpin yang Hadir di Tengah Lumpur
Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) tidak memberikan instruksi dari kantor. Ia berjalan ke kampung-kampung yang terendam, mendengar langsung keluh rakyatnya, dan mengakui fakta pahit tanpa bersembunyi di balik kalimat birokrasi.
Kalimatnya direkam tim kami dengan jelas. “Tidak ada alasan apa pun, kecuali mati, untuk berhenti membantu rakyat”.
Ini bukan slogan. Ini adalah sumpah seorang pemimpin yang memilih berada paling depan.
Untuk Tim Beritasatu: Kalian Tidak Sekadar Meliput, Kalian Mengabdi
Saya ingin menyampaikan penghormatan terdalam kepada seluruh tim Beritasatu yang saat ini berada di Aceh, Sumut, dan Sumbar.
Kalian tidak hanya melaporkan, kalian juga membantu. Kalian mengangkat korban ke perahu, membagikan logistik, menenangkan anak-anak, dan menembus daerah-daerah yang bahkan bantuan pemerintah belum sempat masuk.
Kalian mengambil risiko yang sama seperti warga. Kalian tidak tidur. Kalian tidak pulang. Kalian ikut menangis, tetapi memilih menangis nanti, setelah laporan selesai.
Saya mohon satu hal: jagalah keselamatan diri kalian. Indonesia membutuhkan berita kalian. Namun, kami dan keluarga kalian membutuhkan kalian kembali utuh.
Terima kasih, karena kalian sudah melampaui batas profesi dan menunjukkan kemanusiaan dalam bentuk paling murni.
Ketabahan Warga, Kekuatan yang Membuat Negeri Ini Menunduk Hormat
Kami melihat warga yang kehilangan rumah, tetapi masih ikut mengangkat puing rumah tetangga. Kami melihat mereka yang lapar, tetapi memberi sisa makanan kepada ibu yang menggendong bayi.
Sumatera mengajarkan satu hal: kekuatan sebuah bangsa tidak diukur dari ekonomi, tetapi dari ketabahan rakyatnya ketika diuji.
Negara Hadir dan Presiden Menunjukkannya dari Garis Depan
Hari ini, kami menyaksikan sebuah momen penting yang disampaikan tim Beritasatu dari lapangan. Presiden Republik Indonesia kembali hadir ke lokasi bencana. Tidak hanya sekali. Tidak hanya simbolis.
Beliau datang lagi dengan jejak lumpur yang sama didampingi menteri-menteri kabinet, panglima TNI, dan kapolri.
Kehadirannya bukan sekadar menampilkan pemerintahan. Ia menampilkan kesatuan negara.
Presiden berdiri memandang reruntuhan, mendengarkan laporan tim penyelamat, bertemu keluarga korban, dan memerintahkan percepatan segala lini bantuan.
Beliau memerintahkan percepatan setiap sektor: evakuasi, logistik, kesehatan, listrik, komunikasi, dan rekonstruksi. Namun ada satu momen yang direkam tim kami. Di ujung rakor yang dilaksanakan presiden di ruang sederhana bersama menteri kabinet, para gubernur dan bupati di tiga provinsi yang tersambung secara daring, sebelum memberi perintah kepada seluruh jajaran untuk kembali membantu rakyat, presiden terdiam.
Suasana hening. Hanya terdengar napas tertahan. Ketika beliau melanjutkan bicara, suaranya tersendat. Matanya berkaca kaca.
Sebagai mantan militer, beliau jarang menunjukkan emosi. Namun, kali ini, kesedihan rakyat terlalu besar untuk ditahan. Dalam satu momen itu, kita melihat kesedihan seorang presiden, bukan hanya sebagai pemimpin,tetapi sebagai bapak bangsa yang terluka melihat anak-anak bangsanya menderita.
Itulah momen yang menegaskan: negara hadir dan negara bekerja.
Saatnya Indonesia Tidak Tinggal Diam
Melihat semua ini, dari laporan tim Beritasatu yang tak berhenti masuk, saya hanya ingin berkata: inilah saatnya kita bergerak.
Bantuan tidak harus besar: baju, obat, mi instan, uang Rp 10.000 atau bahkan doa yang mungkin terlihat kecil, tetapi bisa mengubah takdir.
Bangsa yang besar bukan bangsa yang bebas dari bencana, tetapi bangsa yang tidak membiarkan satu warganya pun tertinggal dalam kesedihan.
Sumatera sedang menangis. Kita semua punya tanggung jawab untuk mengeringkan air matanya. Sekarang juga!




