Ospek Kampus: Penyambutan Mahasiswa Baru Atau Penyambutan Tahanan?

Ironi memang. Agak frontal ketika memulai tulisan ini dengan demikian. Bahwasannya memang demikian—ironi—tidak perlu dimanis-maniskan, karena kita berbicara perihal OSPEK yang mana sudah menjadi lumrah dan rahasia umum jika di dalamnya seringkali diketemukan senior-senior yang mengalami post power syndrome. Tidak dipungkiri bilamana dalam sebuah Orientasi Pengenalan Kampus diisi dengan hal-hal tidak manusiawi; bentakan, cemoohan, adu nasib, pelonco, atribut norak bahkan tak ayal bisa-bisa dibarengi dengan kekerasan fisik.
Citra kampus sebagai lingkungan orang-orang ‘akademis’ dimulai dengan hal-hal yang sangat jauh dari kata itu sendiri. Mental-mental tuan yang superior ditampilkan oleh oknum senior (rasanya berdosa sekali apabila menyematkan kata ‘oknum’ di sini) dihadapkan dengan para junior yang dipaksa menjadi inferior dan memiliki mental budak, tujuannya untuk apa? Tidak lain hanyalah sebagai bahan bulan-bulanan.
Ketidakmanusiawian dilabeli sebagai adat, tradisi bahkan budaya kampus yang harus dialami oleh para mahasiswa baru; a,para harapan-harapan orang tua-orang tua mereka di rumah. Kadangkala pemikiran yang mencoba diarahkan positif melintas, namun, rasanya sangat aneh jika menjadikan suatu hal negatif dipaksa positif, memaklumkan hal yang memang benar negatif dan dipaksa masuk akal, utamanya dilingkungan akademik, jauh dari lingkungan militer.
Seyogyanya, model-modelan semacam itu dapat disetarakan dengan penyambutan tahanan baru di sebuah lapas. Apa yang dialami oleh seorang narapidana pelaku hubungan intim di luar nikah dengan anak di bawah umur? Ada sebuah kesaksian dari seorang mantan narapidana kasus demikian—identitas yang bersangkutan dirahasiakan. Beliau menceritakan bagaimana penyambutan khas lapas untuk dirinya dalam sebuah website forum diskusi Quora (kita sebut saja Anom; anonimous).
Anom dijatuhi hukuman lebih kurang 6 tahun penjara atas kesalahan yang dilakukannya yaitu berhubungan intim dengan anak di bawah umur atas dasar suka sama suka. Ketika masuk ke penjara, dia mendapat sambutan berupa tamparan dari 42 penghuni lapas, bukan hanya penghuni lapas, para sipir juga memberi sambutan berupa tamparan khusus yang mereka sebut ‘gaya kupu-kupu’—gaya tamparan dengan dua tangan bersamaan mendarat ke kedua pipi. Dia menerima itu dari setiap sipir yang bertugas.
Tidak selesai di situ, selesai penyambutan khas penjara itu, hidup pelaku semakin tidak tenang, selain menjalani hukuman berlaku, hukuman tambahan dari para penghuni penjara juga diterimanya, sebut saja push-up, para penghuni penjara akan menghitung dan menilai bagaimana push-up si anak baru ini, asas penilaiannya adalah suka-suka, walau gaya push-upnya benar dan sempurna sekalipun, kalau para penghuni setuju kalau itu tidak benar maka akan ditambahi beban lainnya.
Kita tidak berbicara soal hukuman dari para sipir, karena pada dasarnya itu sudah menjadi hak dia untuk menerima hukuman itu, kita hanya berbicara soal hukuman tambahan dari para penghuni penjara, yang seharusnya memang tidak ada aturan tertulisnya, namun hanya sebagai budaya. Dan, pada dasarnya kita berbicara soal orang yang menjalani hukuman.
Lantas, apakah beberapa hal tadi tidak asing di benak para pembaca sekalian? Utamanya kepada orang-orang yang pernah mengenyam pendidikan tinggi. Ya, tepat sekali, tidak perlu membohongi diri, bahwasannya hal-hal itu begitu mirip dengan yang diterima saat ‘Orientasi’ awal masuk kampus dulu. Di penjara mungkin berupa kekerasan fisik langsung atau juga kekerasan verbal, namun di kampus? Sama! Ada kekerasan verbal (berbagai sumpah serapah, kata-kata bijak dari para senior, gertakan, teriakan, adu nasib dan lain sebagainya). Ada kekerasan fisik (tamparan tangan, tamparan alas kaki, benturan benda tumpul, diinjak, push-up, lari, jalan jongkok, jalan di lumpur). Ada juga aneka kreasi yang khas dengan perpeloncoan, yang rasanya tidak perlu disebutkan di sini karena sudah jadi pengetahuan bersama.
Jika ditanya, apa alasan demikian? Banyak, ada alasan melatih mental, melatih jiwa korsa, melanjutkan tradisi, dan lain-lain. Namun, satu hal yang pasti, semua itu dilakukan atas dasar balas dendam, mungkin kita juga sudah jengah dengan kalimat barusan, ya, mau bagaimana lagi, itu adalah alasan yang paling masuk akal untuk melakukan hal demikian.
Kalau ada yang mengatakan alasannya untuk melatih mental mahasiswa baru, saya pastikan kalau itu hoax. Jangan pernah membawa melatih mental jika para seniornya sendiri tidak punya latar belakang psikiater atau psikolog, jangan bilang melatih mental jika menjadikan latihan mental itu serta-merta dan sekaligus karena tiap-tiap orang perlu spesialisasi untuk diketahui seperti apa mentalnya, untuk melatih mental satu orang dan dilakukan oleh ahli saja tidak bisa dipastikan berhasil dalam sebulan (tergantung kondisi mental pasien), apalagi di ‘Orientasi’ ini hanya berlangsung singkat. Pertanyaannya, mental apa yang dilatih?
Kalau ada yang mengatakan melatih jiwa korsa, saya tidak bilang itu salah, dan tidak bilang benar juga, karena pada dasarnya para mahasiswa ini bukan mau jadi militer (dominan), lagipula, ketika membandingkan dunia akademik intelek dengan akademi militer itu saja sudah rumpang. Kenapa demikian? Di akademi militer berisi orang-orang yang memang sudah niatnya untuk mengabdikan diri untuk negara, siap ditempa dengan khas militer sedangkan di kampus? Oh, tentu saja tidak demikian, orang-orang tidak berniat seperti itu, niat mereka adalah memasuki dunia yang katanya intelek untuk mengejar berbagai cita-cita mereka, itu niat mereka. Saya sedikit membawa satu pesan dalam kitab suci agama Islam, yang kurang lebih berbunyi:
“Kami tidak akan merubah suatu kaum, jika dia tidak mau merubahnya sendiri.” (Q.S Rad:11)
Dari sini kita bisa ambil makna, bahwa sekeras apapun kamu mau melatih metal-lah, jiwa korsa-lah, atau apalah pada mahasiswa baru itu, jika dia sudah bawaannya seperti itu, tidak ingin merubah dirinya, bukan niatnya, maka tidak akan berubah. Lantas itu semua artinya apa? Kesia-siaan melakukan kegiatan yang demikian itu, kesia-siaan melakukan kekerasan serta perpeloncoan itu, malah kalau lagi apes bisa-bisa jatuh korban.Berapa banyak korban Orientasi yang disembunyikan? Berapa lama hal tersebut terus berulang? Berapa lama demikian itu ingin dilakukan?
“Ah, saya malah senang ada orientasi, jadi bisa dikenang nanti ketika sudah bekerja dan reunian.”\Iya, untuk anda, kembali lagi, apakah anda menyamaratakan semua mental orang seperti diri anda, oh, mohon maaf saya katakan kalau itu sama sekali jauh dari ciri khas orang terpelajar yang rasional.Kembali lagi saya bertanya, OSPEK (atau berbagai macam kreasi penyebutan) itu, penyambutan mahasiswa baru atau penyambutan tahanan baru? [d,ga.]
Penulis Ois Idhar Sugandi