ICW Minta Kejagung Periksa Nadiem Makarim dalam Dugaan Kasus Korupsi Laptop

Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Kejaksaan Agung agar turut memeriksa mantan Menteri Nadiem Makarim terkait dugaan korupsi pengadaan laptop senilai hampir Rp9,9 triliun oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sepanjang 2020-2022. “Kejaksaan Agung melakukan pemeriksaan dalam rangka menelusuri dugaan keterlibatan berbagai pihak yang berwenang dalam pengadaan, seperti PPK, kuasa pengguna anggaran, dan pengguna anggaran atau Menteri Nadiem Makarim,” kata ICW dalam siaran pers yang diterima, Minggu (8/6).
Peneliti ICW Almas Sjafrina mengungkapkan ICW dan Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Indonesia sejak 2021 telah mengendus kejanggalan dalam pengadaan itu. “Kami saat itu mendesak agar Kementerian Pendidikan menghentikan dan mengkaji ulang rencana belanja laptop di tengah pandemi Covid-19 tersebut,” katanya.
Sedikitnya ada lima poin keganjilan pengadaan tersebut menurut kajian ICW pada 2021. Pertama, pengadaan laptop dan sejumlah perangkat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) lainnya bukan kebutuhan prioritas pelayanan pendidikan di tengah pandemi Covid-19.
Kedua, dalam kajian berjudul “Menyoal Pengadaan Perangkat TIK untuk Digitalisasi Pendidikan” itu, ICW menilai ada banyak ketidaksiapan sekolah terutama jika terkait digitalisasi pendidikan yang dikejar Nadiem. Sebaliknya, ICW menyoroti persoalan mendasar yang bisa digarap pemerintah. Misalnya permasalahan infrastruktur dan fasilitas di banyak sekolah di Indonesia.
Selain itu, penggunaan anggaran yang salah satunya bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik menyalahi Peraturan Presiden Nomor 123 tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis DAK Fisik. Penggunaan DAK, menurut ICW, seharusnya diusulkan dari bawah (bottom-up), “Bukan tiba-tiba diusulkan dan menjadi program kementerian. Pencairan DAK juga harus melampirkan daftar sekolah penerima bantuan, sedangkan saat itu tak jelas bagaimana dan kepada sekolah mana laptop akan didistribusikan,” Almas menjelaskan.
Ketiga, rencana pengadaan laptop itu tidak tersedia dalam aplikasi Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SiRUP). Alhasil, informasi pengadaan yang direncanakan dilakukan dengan metode pemilihan penyedia e-purchasing tidak banyak diketahui publik. Keempat, dasar penentuan spesifikasi laptop harus memiliki OS chromebook tidak sesuai dengan kondisi Indonesia, khususnya daerah 3 T (tertinggal, terdepan, terluar) yang menjadi salah satu target distribusi laptop.
Apalagi laptop chromebook akan berfungsi optimal jika tersambung dengan internet. Sedangkan infrastruktur jaringan internet di Indonesia belum merata. “Terlebih sudah ada uji coba penggunaan laptop chromebook pada 2019 yang menghasilkan kesimpulan bahwa laptop itu tidak efisien.
Sehingga menjadi pertanyaan, mengapa Menteri Nadiem Makarim memutuskan spesifikasi chromebook dalam lampiran Permendikbud No. 5 Tahun 2021,” tulis ICW. Terakhir, ICW menyoroti spesifikasi chromebook dan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) yang mempersempit persaingan usaha karena hanya segelintir perusahaan yang dapat menjadi penyedia.
“Kondisi penyedia yang terbatas bertentangan dengan semangat UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,” kata Almas. “Pengadaan yang tidak sesuai kebutuhan dan terkesan dipaksakan kerap berangkat dari adanya permufakatan jahat dan berujung pada korupsi berbagai modus, seperti mark-up harga, penerimaan kickback dari penyedia, hingga pungutan liar dalam proses distribusi barang.” (bsnn)