DPR Harus Keluar dari Jebakan Lingkaran Transaksional

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI merespon Tuntutan 17+8 yang disampaikan publik dengan mengeluarkan enam poin keputusan yang telah disepakati bersama fraksi-fraksi partai politik di DPR RI.
Tanggapan resmi itu sebagai bentuk transparansi DPR untuk melakukan evaluasi internal secara total seperti disampaikan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad dalam konferensi pers di Jakarta, akhir pekan lalu. Dari enam poin tersebut, poin terakhir yakni DPR RI akan memperkuat transparansi dan partisipasi publik yang bermakna dalam proses legislasi dan kebijakan lainnya.
Tanggapan di poin terakhir itu dinilai cukup menarik, karena DPR mengemukakan keinginan untuk lebih transparan dan terbuka, bukan seperti selama ini kesannya terbuka, tetapi sarat manuver-manuver dan berbagai permainan siluman politik uang dan transaksional. Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho yang diminta pendapatnya mengatakan DPR selama ini lebih sering bekerja untuk kepentingan internalnya sendiri ketimbang benar-benar mendengarkan suara rakyat.
“Partisipasi publik bukan hanya soal menghadirkan uji dengar pendapat yang sifatnya seremonial, tetapi harus bermakna, artinya pandangan masyarakat benar-benar memengaruhi arah kebijakan. Kalau hanya janji tanpa perubahan nyata, rakyat tidak akan percaya lagi,” tegas Hardjuno, Minggu (7/9).
Hardjuno pun menyinggung berbagai praktik jual beli ketok palu baik penentuan anggaran di Badan Anggaran (Banggar) DPR, fit and proper test pejabat publik di komisi, termasuk Penyertaan Modal Negara (PMN) di BUMN yang selama ini sudah bukan menjadi rahasia umum lagi.
Ia menyebut praktik yang dikenal dengan istilah “gentong babi” itu sebagai kebocoran keuangan negara di hulu yang merugikan hingga ratusan triliun rupiah setiap tahun. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa partai politik dan DPR bukan hanya gagal transparan, tetapi juga terjebak dalam lingkaran transaksional yang merusak kepercayaan publik.
“Kalau ketok anggaran saja harus pakai hitung-hitungan setoran, bagaimana mungkin DPR bisa bicara transparansi? Semua proses legislasi dan penganggaran akhirnya menjadi komoditas politik yang hanya menguntungkan segelintir orang. Rakyat jelas jadi korban karena uang yang seharusnya untuk kesejahteraan publik justru bocor di meja politik,” kata Hardjuno.
Parpol Wajib Buka Laporan Keuangan Indonesia kata Hardjuno, perlu belajar dari pengalaman negara lain yang berhasil mendewasakan partainya. Di Jerman, misalnya, partai diwajibkan mempublikasikan laporan keuangan setiap tahun secara rinci agar masyarakat tahu siapa saja penyandang dana dan bagaimana uang partai digunakan.
Di Korea Selatan, reformasi partai dilakukan melalui sekolah partai yang mencetak kader-kader muda dengan basis meritokrasi, sehingga proses kaderisasi tidak bergantung pada nama besar keluarga atau patron politik. Di Amerika Serikat, sistem pemilihan pendahuluan atau primaries memberi kesempatan kepada pemilih untuk menentukan siapa yang layak maju sebagai calon legislatif, bukan semata-mata ditentukan oleh ketua partai
Tekanan publik yang begitu kuat melalui Tuntutan 17+8 harus direspons bukan dengan retorika, melainkan dengan langkah konkret yang benar-benar mengembalikan DPR pada fungsinya sebagai representasi rakyat, bukan representasi elite.
Pertaruhan Legitimasi Sementara itu, Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi mengatakan, enam poin yang disampaikan menjadi pertaruhan legitimasi DPR di mata publik. “Kita perlu menilai secara kritis, apakah langkah langkah itu substantif atau masih bersifat kosmetik,” kata Badiul.
Pembentukan Pansus dan janji audit anggaran DPR menjadi pintu masuk penting, tetapi pengalaman selama ini menunjukkan bahwa badan ad hoc kerap berakhir pada kompromi politik, bukan hasil yang mengikat. Audit anggaran hanya akan bermakna bila dilakukan oleh lembaga independen, bukan sekadar laporan internal.
Soal komitmen pada keterbukaan informasi publik dan partisipasi masyarakat dalam legislasi, dia mengatakan perlu diuji secara nyata, karena praktik yang berlaku masih sangat elitis dan minim akses bagi publik luas. “Saya berharap DPR membuat dashbord khusus laporan penggunaan anggaran per anggota dewan real time. Walau hanya serupiah uang yang digunakan, itu harus dilaporkan,”tegasnya.
Dia juga mendorong DPR mempercepat RUU prioritas terutama RUU Perampasan Aset, bukan agenda jangka pendek kekuasaan. DPR juga dituntut untuk memperkuat standar etik dan integritas, karena persoalan paling mendasar bukan sekadar biaya atau fasilitas, melainkan krisis kepercayaan akibat perilaku sebagian anggotanya.
“Enam keputusan itu baru sebatas kerangka awal, substansi perubahan akan sangat bergantung pada keberanian DPR untuk benar-benar menempatkan aspirasi rakyat di atas kepentingan politik praktis,” katanya.
Masyarakat dan lembaga penegak hukum seperti KPK perlu terus memantau kinerja DPR, agar komitmen mereka tidak berubah menjadi formalitas belaka. “
Rakyat tidak boleh berhenti pada euforia tuntutan, saatnya publik memperlihatkan konsistensi pengawalan agar evaluasi total tidak hanya berhenti sebagai “janji politik”.
Di kesempatan lain, Dosen Magister Ekonomi Terapan, Unika Atma Jaya, YB. Suhartoko mengatakan komunikasi politik yang transparan serta kredibel menjadi syarat tercapainya harapan masyarakat untuk merasa terwakili.
“Jika rakyat terus tertipu dengan janji politik, maka mengembalikan kepercayaan semakin sulit,” kata Suhartoko. (bsnn)