Sikap Prabowo soal Israel dipuji di luar negeri, namun apakah publik Indonesia sependapat?
Siap mengakui Israel jika negara Yahudi itu mengakui Palestina, menawarkan pasukan perdamaian ke Gaza, serta hadir dalam konferensi perdamaian tingkat tinggi yang dipimpin Donald Trump.
Serangkaian langkah terbaru pemerintah Indonesia ini menjadikan sikap Presiden Prabowo Subianto terhadap isu Israel-Palestina jadi sorotan. Para pengamat melihat adanya sedikit pergeseran sikap pemerintahan Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo.
Secara khusus, para pengamat menyoroti pernyataan Prabowo di Sidang Majelis Umum PBB pada 23 September yang berjanji mengakui Israel jika mereka mengakui Palestina, sebuah langkah yang belum pernah dilakukan pemimpin Indonesia sebelumnya.
Ia juga menegaskan bahwa dunia harus “mengakui dan menjamin keselamatan serta keamanan Israel,” sebuah pernyataan yang berbeda dari para pendahulunya yang selalu menekankan hak rakyat Palestina dalam menentukan nasib sendiri ketimbang soal keamanan Israel.
Para pengamat mencatat bahwa pernyataan tersebut mencerminkan nada yang lebih pragmatis terhadap konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina.
“Belum pernah ada pemimpin Indonesia yang berjanji akan mengakui Israel jika Israel mengakui Palestina,” kata Made Supriatma, peneliti tamu di lembaga kajian ISEAS–Yusof Ishak Institute di Singapura.
Indonesia tidak menjalin hubungan diplomatik resmi dengan Israel, dan setiap wacana untuk mengubah sikap itu kerap menuai penolakan keras dari berbagai kalangan. Indonesia sendiri telah mengakui Palestina sebagai sebuah negara sejak 1988.

Pendekatan yang tampak lebih lunak ini, disertai dengan tawaran Prabowo dalam pidatonya di PBB untuk mengirim 20.000 pasukan penjaga perdamaian ke Gaza, dinilai sejumlah pakar sebagai cara untuk menunjukkan kepada para pemimpin dunia bahwa Indonesia adalah kekuatan yang patut diperhitungkan.
“(Prabowo) ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia memiliki peran penting, bahwa kita adalah bangsa besar yang mampu menawarkan solusi dan hasil nyata,” ujar Yohanes Sulaiman, dosen hubungan internasional di Universitas Jenderal Achmad Yani.
Langkah-langkah Prabowo ini, bersama sejumlah kebijakan lainnya, menarik perhatian dunia.
Pada 13 Oktober, Prabowo menjadi satu-satunya pemimpin Asia Tenggara yang diundang ke Sharm el-Sheikh, Mesir, tempat para pemimpin Amerika Serikat, Turki, Qatar, dan Mesir menandatangani deklarasi untuk memperkuat gencatan senjata di Gaza. Dalam konferensi perdamaian itu, Presiden AS Donald Trump memuji Prabowo sebagai “sosok luar biasa dari Indonesia”.
Pejabat dan analis dari Israel serta AS memuji perubahan nada pemerintah Indonesia, dan berspekulasi bahwa hal ini suatu saat bisa membuka jalan menuju normalisasi hubungan diplomatik.
“Semakin aktifnya keterlibatan Indonesia dalam upaya AS mendorong perdamaian di Timur Tengah menciptakan momen yang hampir seperti mimpi, ketika diplomasi dan perasaan sesaat berpadu,” tulis dosen politik Lauren Dagan Amoss dalam The Jerusalem Post pada 14 Oktober.
“Untuk pertama kalinya, normalisasi hubungan dengan negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia tampak semakin terwujud.”
Meski mendapat sambutan hangat di luar negeri, nada Prabowo yang dianggap melunak terhadap Israel memicu kontroversi di dalam negeri, dengan kecaman dari beberapa pihak.
Para analis menilai hal ini terjadi karena sentimen anti-Israel masih sangat kuat di kalangan masyarakat Indonesia, sehingga kecil kemungkinannya status quo akan berubah dalam waktu dekat dan Prabowo kemungkinan akan berhitung dengan cermat sebelum mengambil langkah berikutnya.
“Dukungan publik terhadap Palestina tetap sangat tinggi di Indonesia, terutama di kalangan kelompok Islam. Menjalin hubungan terbuka dengan Israel berisiko politik sangat besar,” ujar Made dari ISEAS–Yusof Ishak Institute.




