MEMASUKI 2023, saatnya optimisme dibangun. Dicabutnya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) jelang akhir 2022 oleh Presiden Jokowi menjadi titik terang mulai menggeliatnya ekonomi masyarakat. Para pekerja sudah dapat kembali beraktivitas untuk lebih produktif lagi dengan tetap waspada pandemi covid-19 yang kini menuju endemi.
Demikian juga dalam mengejar mimpi terlindunginya seluruh pekerja di Indonesia, kepesertaan semesta (universal coverage) jaminan sosial perlindungan ketenagakerjaan (jamsostek) terwujud. Melihat berbagai tantangan dan peluang 2023, tidaklah berlebihan target 70 juta peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan pada 2026 tercapai. Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022 menunjukkan ada 135,61 juta orang penduduk Indonesia yang bekerja. Dari angka tersebut, 60% di antaranya di sektor informal atau bukan penerima upah (BPU). Inilah yang kemudian menjadi target perlindungan semesta dalam mewujudkan amanah UU Dasar 1945, memberikan perlidungan jamsostek, seperti yang diamanahkan melalui UU No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Bertekad di tahun sulit Ketahanan sosial ekonomi masyarakat Indonesia cukup teruji. Bangsa ini beberapa kali survive melewati berbagai krisis yang bahkan banyak negara tak mampu melewatinya. Berbagai babak krisis ekonomi ataupun kemelut sosial politik mewarnai pembangunan negeri ini, termasuk krisis akibat pandemi covid-19 dan dampak situasi politik dunia. Di tengah berbagai tantangan tersebut, masyarakat membuktikan mampu melewati seluruhnya dengan baik. Sejarah memberikan pelajaran bahwa Indonesia bisa keluar dari krisis moneter 1997-1998 yang ditandai dengan merosotnya sendi-sendi perekonomian, termasuk perbankan, akibat nilai tukar rupiah yang jatuh terhadap dolar. Kemudian krisis pada 2008-2009 yang dipicu krisis finansial global di Amerika Serikat, perekonomian kita bisa kembali pulih tahap demi tahap.
Pekerja Indonesia mampu mengatasi kesulitan dengan fleksibilitas yang baik. Selain budaya gotong royong yang masih kental, pekerja di Indonesia memiliki kecepatan adaptasi yang baik. Saat pandemi covid-19, banyak yang terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat perusahaannya gulung tikar. Mereka langsung banting stir. Yang dulu ialah penerima upah (PU) atau pekerja kantoran dapat bertahan menjadi pedagang online atau profesi apa saja yang dapat dijalankan dengan situasi pendemi untuk survive.
Fleksibilitas itulah yang membuat masyarakat kuat, selain berbagai kebijakan pemerintah digulirkan agar ekonomi masyarakat tetap bergerak. Diperlukan strategi lebih masif untuk melindungi pekerja tangguh Indonesia. Seperti gerakan satu desa 100 pekerja terlindungi, penggunaan dana corporate social responsibility (CSR) sebagai bantuan iuran jamsostek di sektor informal. Juga, ajakan program Sertakan sebagai kepedulian kaum mampu secara ekonomi untuk mendaftarkan pekerja rentan di sekitarnya agar memiliki jamsotek. Upaya-upaya ini layak didorong maksimal untuk menyejahterakan pekerja Indonesia.
Negara gagal Secara sistem, Indonesia sudah cukup komprehensif memberikan perlindungan kepada seluruh warganya atau perlindungan semesta; sejak bayi dalam kandungan, lahir, sekolah, bekerja, hingga meninggal, semua sudah disiapkan jaminan sosialnya melalui sistem jaminan sosial nasional. Praktiknya, sejauh mana pemerintah sebagai representasi negara mampu mewujudkan amanat konstitusi tentang jaminan sosial, khususnya di bidang ketenagakerjaanm sesuai dengan mandat Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28H ayat (3), bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Mandat tersebut kemudian dipertegas lagi dalam UU 40 Tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial nasional hingga lahirlah dua Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan dan Kesehatan melalui UU No 24 Tahun 2011 atau Perpres No 25 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Berbagai regulasi dan kebijakan itu dalam rangka mengantisipasi kurang berfungsinya negara hadir dalam memberikan perlindungan yang menyebabkan negara dianggap gagal, baik secara moral maupun secara politis.
Meminjam pemikiran Daron Acemoglu dan James A Robinson (2020) dalam bukunya berjudul Mengapa Negara Gagal-Awal Mula Kekuasaan, Kemakmuran, dan Kemiskinan. Kesuksesan sebuah sistem ekonomi ialah kemampuan untuk men-delivery kebijakan hingga mampu menyejahterakan penduduknya secara berkelanjutan dalam hitungan individu, bukan agregat, termasuk di dalamnya menyejahterakan pekerja melalui sistem jaminan sosial. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan dan strategi yang dapat menguatkan peran negara dalam memberikan perlindungan kepada seluruh pekerja.
Kehadiran BPJS Ketenagakerjaan juga dipandang dapat mengurangi ketimpangan bahwa ada gap antara pekerja dan penghasilan besar serta pekerja dengan pendapatan yang tidak menentu, kemudian pekerja terampil dan tidak terampil. Juga, ketimpangan antara pekerja di pedesaan dan perkotaan. Dengan adanya jaminan perlindungan, gap ini akan menjadi jaring pengaman yang baik bagi warganya. BPJS Ketenagakerjaan senantiasa memperluas jaminan perlindungan melalui tiga strategi, yaitu ekstensifikasi, fokus kepada peserta baru sesuai Inpres No 2 Tahun 2021 tentang optimalisasi program jamsostek. Strategi kedua ialah intensifikasi yang berbasis kepada digitalisasi, komunitas, dan jaminan kehilangan pekerja. Terakhir, ialah retensi, yakni melakukan payment reminder hingga fitur layanan melalui Jamsostek Mobile (JMO).
Pertanyaannya, apakah tiga strategi ini efektif. Ada dua faktor penting yaitu internal dan eksternal. Secara internal bagaimana BPJS Ketenagakerjaan mampu mengimplementasikan tata kelolanya secara good governance, comply, efektif, dan efisien, yang didukung oleh SDM yang kompeten dan capable. Secara eksternal, eksistensi dan keberlanjutan BPJS Ketenagakerjaan banyak dipengaruhi oleh dukungan dan sinergitas dari stakeholder (pentahelix), yaitu unsur akademisi, bisnis, komunitas, pemerintah, dan media. Semoga perlindungan bagi seluruh pekerja bukan sekadar mimpi. Selamat memasuki tahun 2023 dengan penuh semangat dan optimistis.