Opini

Kecerdasan Buatan, Keamanan Data Dan Kontestasi Politik

Ridian Gustiana S.Kom, M.M, Ketua Program Studi Rekayasa Perangkat Lunak Fakultas Kominfo Universitas Garut

TAHUN 2024 mendatang, hajatan politik terbesar di negeri ini akan digelar. Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden, akan digelar secara bersamaan pada Februari 2024 dan dilanjut Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada akhir tahun 2024

Ada tantangan besar yang harus dihadapi penyelenggara, peserta dan pemilik hak suara pada Pemilu 2024 mendatang. Salah satunya adalah pesatnya perkembangan teknologi digital yang didukung internet dan munculnya media social sebagai jejaring media baru yang mampu menghubungkan individu tanpa terhalang batas dan ruang, dengan kecepatan penyebaran informasi yang begitu cepat.

Dari data yang dihimpun hootsuite (we are social) pada Februari 2022, pengguna internet di Indonesia jumlahnya mencapai 204 juta jiwa lebih dari total jumlah penduduk sebanyak 277,7 juta jiwa. Dari 204 juta jiwa pengguna internet tersebut, 191 juta lebih diantaranya aktif menggunakan media sosial.

Angka-angka ini, tiap tahunnya cenderung terus mengalami peningkatan (https://andi.link/hootsuite-we-are-social-indonesian-digital-report-2022/). Karenanya, pada Pemilu 2019 lalu, media sosial menjadi salahsatu ruang bagi peserta Pemilu untuk melakukan kampanye, termasuk praktek kampanye hitam hingga muncul istilah cyber army (tentara cyber) yang secara aktif melakukan kampanye di jejaring media sosial. Fenomena kampanye lewat jejaring media sosial, juga dilakukan oleh konsultan politik.

Praktek ini, setidaknya terungkap dalam skandal Cambridge Analytic, sebuah konsultan politik yang menggunakan data pribadi pengguna media sosial. Cambridge Analytic, dengan rekayasa perangkat lunak yang dimilikinya, mampu melakukan profiling tiap-tiap pengguna media sosial hingga terlihat kecenderungan pilihan politik dari tiap pengguna media sosial. Profiling pengguna media sosial, memudahkan Cambridge Analytic untuk mengirimkan pesan-pesan kampanye dari peserta pemilu yang menggunakan jasanya hingga pengguna media sosial bisa menetapkan pilihannya.

Apa yang dilakukan Cambridge Analytic, dalam satu sudut pandang bisa saja dibenarkan. Namun, cara menghimpun data pribadi pengguna media sosial yang dilakukannya, mengundang kecaman dari para pengguna media sosial hingga praktek tersebut menjadi sebuah skandal yang mendapat perhatian luas dari publik, terutama di Amerika Serikat dan menurunkan tingkat kepercayaan pengguna media sosial pada platform media sosial yang data penggunanya diambil oleh Cambridge Analytic (https://www.cnnindonesia.com/teknologi/fokus/facebook-ditempa-skandal-pencurian-data-3860/all). Skandal Cambridge Analytic, setidaknya bisa menjadi gambaran bagaimana praktek-praktek kampanye politik di media sosial bisa dilakukan dan efektif memberi suara pada peserta kontestasi politik.

Meski, setelah prakteknya terungkap, dikecam oleh para pengguna sosial hingga berdampak pada menurunnya tingkat kepercayaan pengguna media sosial pada platform media sosial yang datanya dibocorkan dan menjadi sebuah skandal politik besar di Amerika Serikat (https://www.cnnindonesia.com/teknologi/fokus/facebook-ditempa-skandal-pencurian-data-3860/all). Penguasaan data pribadi, ditambah kemampuan mengembangkan rekayasa perangkat lunak hingga menjadi kecerdasan buatan yang mampu mengolah data pribadi menjadi profil dari tiap-tiap pengguna media sosial, di era digitalisasi saat ini, menjadi sebuah senjata yang bisa digunakan untuk berbagai kepentingan, termasuk kepentingan politik.

Karenanya, saat ini di Indonesia, banyak terjadi praktek pencurian data pribadi yang dilakukan hacker dari pihak-pihak yang menyelenggarakan sistem pelayanan elektronik yang terkoneksi langsung dengan jaringan internet, yang kemudian datanya di jual secara bebas di pasar gelap (dark web) hingga bisa dibeli dan dikuasai oleh siapapun. Pemerintah sendiri, sebenarnya telah mengeluarkan regulasi terkait pengamanan data pribadi yang diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) Kominfo nomor 20 tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP). Permen ini, adalah salahsatu Permen yang jadi turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE). Namun, sampai saat ini upaya penegakan hukum terhadap praktek-praktek pencurian dan jual beli data pribadi, sangat sulit terungkap. Karenanya, upaya mencari tahu pihak-pihak pengguna data pribadi hasil curian dan penggunaan data pribadi tersebut pun menjadi ruang gelap.

Ruang gelap penegakan hukum dari penyalahgunaan data pribadi, menjadi ruang yang bisa dimanfaatkan oleh berbagai pihak yang memiliki berbagai kepentingan terhadap data pribadi. Data pribadi, bisa diolah hingga disesuaikan dengan kepentingan para penguasa data, termasuk untuk kepentingan politik. Karenanya, apa yang dilakukan oleh lembaga konsultan politik Cambridge Analytic, bisa saja terjadi dalam Pemilu 2024 mendatang. Karenanya, pemerintah tampaknya harus mulai lebih serius lagi menyikapi masalah pengamanan data pribadi, terutama dalam hal penegakan hukum terhadap praktek-praktek pencurian dan jual beli data pribadi. Selain pada pelaku pencuri dan jual beli data pribadi, instansi pemerintah, perusahaan dan lembaga yang menyelenggarakan system elektronik, juga harus bisa memastikan system keamanan data pada layanan system elektronik yang digunakannya.

Pemerintah pun perlu membuka ruang bagi masyarakat yang merasa dirugikan akibat praktek pencurian dan jual beli data pribadi untuk menyampaikan laporan yang kemudian bisa ditindaklanjuti secara terpadu. Tanpa itu semua, upaya pengamanan data pribadi, akhirnya kembali pada tiap-tiap individu agar lebih berhati-hati dalam penggunaan data pribadi. Namun, sayangnya saat ini belum banyak orang sadar pentingnya keamanan data pribadi.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button