Ekonomi &Bisnis

Transformasi PLN Dari Penyedia Listrik Menjadi Penjaga Lingkungan

Transformasi PLN 2023

PT. PLN (Persero) selama ini dalam menjalankan bisnis kelistrikan, mengacu pada ISO 26000 untuk mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan berkelanjutan atau dikenal Sustainable Developement Goals (SDGs). Keberlanjutan adalah kunci dalam setiap aspek pengembangan lini bisnis, termasuk keberlanjutan alam dan lingkungan. Capaian ini menjadi salah satu refleksi komitmen perusahaan di dalam menjaga lingkungan termasuk untuk menurunkan emisi gas rumah kaca yang telah menjadi komitmen negara.

Sampai saat ini PLN masih konsisten dalam pemanfaatan energy ramah lingkungan. PLN berkomitmen untuk melakukan roadmap yang sudah dicanangkan pemerintah, dan PLN bukan hanya kewajiban tetapi memang suatu kesadaran bagaimana bisa memanfaatkan energy bersih untuk hari ini maupun generasi mendatang. Terbukti ini juga dengan akhir tahun lalu sebesar 32 juta ton CO2 sudah berhasil diturunkan, walaupun masih merupakan langkah awal.

“Untuk itu PLN mengajak bersama-sama untuk bisa melakukan upaya-upaya dekarbonisasi dalam rangka pemanfaatan energy bersih. Saat ini kalau ditanya tentang transisi strateginya PLN, konkritnya seperti apa, yang jelas karena kami tidak hanya menyediakan energy listrik tapi bagaimana nya pada lingkungan. Untuk bisa ke sana kita harus memahami dulu sejalan dengan program sebagaimana pemerintah sudah menyusun regulasinya, saat ini giliran PLN melakukan eksekusinya seperti apa,” ujar Cita Dewi EVP Aneka Energi Baru Terbarukan (EVP MEB) PT. PLN (Persero) dalam acara B Universe Economic Outlook 2023 di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Selasa (14/2/2023).

Saat ini ada dua sektor yang penyumbang terbesar dalam pembentukan gas rumah kaca yaitu yang kelistrikan serta transportasi. Kelistrikan bisa dilihat dari sektor energy, dimana pada tahun 2020 menyumbang 240 juta ton CO2. Dan apabila sampai tahun 2060 bisa mencapai satu milyar ton. Demikian juga dari sektor transportasi.

Untuk itu dalam rangka dekarbonisasi, PLN sudah melakukan secara all out baik dekarbonisasi dari kegiatan-kegiatan yang di disebabkan oleh proses produksi listrik sendiri.

“Nah, dua hal ini yang kita lakukan dan PLN sudah membuat roadmap di sana. Apa yang sudah dilakukan untuk shoot term di 2021 sampai 2030 dan untuk long term di 2031 sampai 2060. Di 2021 sampai 2030 ini nya PLN sudah melakukan perencanaan dan implementasi untuk pengembangan pembangkit EBT serta beberapa aksi lainnya,” tambah Sita

Namun, masih menurut Sita, program tersebut masih di awal dalam melakukan transisi, karena PLN harus melakukan secara berkelanjutan. Program-program dalam transisi tersebut dituangkan dalam delapan lighthouse atau delapan program pokok

dalam rangka transisi energy.

Salah satu dari delapan program pokok PLN adalah dilakukannya proses dekarbonisasi ke depan, yakni terkait early retirenment PLTU, dan ini terlihat di dalam perencanaan sebelumnya sekitar hampir 18 GW PLTU yang sudah dihapus dan diigantikan dengan pembangkit batubara.

“Ini juga merupakan salah satu program strategis PLN bagaimana kita bisa mengurangi gas rumah kaca melalui implementasi cofiring di PLTU. Sampai dengan tahun lalu kontribusinya sudah memproduksi energy bersih dan untuk cofiring nya hampir sekitar 900 ribu MWH. Otomatis sekitar900 ribu MWH ini juga sudah menurunkan untuk reduksi CO2 sebesar 900 ribu ton,” imbuhnya.

Salah satu upaya PLN dalam rangka penurunan karbon, tentunya tidak hanya bergerak dari sisi hulu, tapi juga dari sisi hilir, dimana PLN turut berusaha meningkatkan pembangunan ekosistem. Karena ke depan dari sisi peningkatan EV (electric vehicle) otomatis mampu berkontribusi dalam penurunan gas rumah kaca di sektor transportasi. Tentunya transisi energy tersebut perlu pendanaan yang besar. Pendanaan ini hampir sekitar 700 miliar US,” tukasnya.

Masih menurut Sita, PLN dalam melakukan transisi energi tidak bisa berdiri sendiri, namun diperlukan kerja sama dengan semua pengembang, developer, lander dan sebagainya, untuk bisa melakukan transisi secara bertahap. “Kita juga sudah mendapatkan beberapa dukungan pendanaan, termasuk dari pemerintah, dimana kita sudah bisa membangun investasi yang inklusif untuk pengembangan Enegy Baru Terbarukan (EBT). Yang kedua kita juga sudah mendapat pendanaan dari world bank untuk pembangunan pump storage satu giga watt di Jawa,” imbuhnya.

Kapan sepenuhnya listrik bisa berasal dari energy listrik baru terbarukan, Cita menegaskan bahwa mulai tahun ini, tahun lalu, dan akhir tahun 2022, hampir sekitar total 55 persen energy disupply dari fosil fuel. “Karena memang kita pahami sebelumnya kita sudah mempunyai kerja sama dengan investor developer untuk pembangunan pembangkit pembangkit berbasis fosil. Baik yang kontrak PPA nya sudah berjalan maupun yang saat ini tahap kontruksi,” tandasnya

Mengenai harga listrik yang dihasilkan pembangkit EBT ini apakah sudah bisa bersaing dengan pembangkit fosil, Cita menambahkan bahwa harga listrik tidak bisa dikomperasikan secara apple to apple antara fosil dengan EBT. “Seperti tahun lalu, dimana pemerintah sudah menerbitkan Perpres 112 tahun 2022 tentang regulasi yang mengatur pembelian listrik EBT oleh PLN seperti apa, pembangkit yang sifatnya intermiten seperti apa. Jadi tidak bisa kalau kita komper kan dengan pembangkit fosil, karena sampai sekarang kita melihat fosil masih mayoritas untuk PLTU,” lanjutnya. (k12)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button