Dua kuda ini bertarung. Persoalannya tidak sepele. Betinanya hendak direbut lawannya. Tentu dia tidak rela. Itu sudah hukum alam. Masyarakat Muna menjadikannya simbol. Tentang harga diri yang harus ditegakkan. Jangan pernah cederai ruang bernama harga diri pada orang Muna. Itu pesan filosofisnya.
Andai kuda itu tidak dilerai, keduanya akan bertarung hingga lari atau mati. Dan itu tidak akan pernah terjadi. Perkelahian kuda ini hiburan belaka. Budaya turun temurun di masyarakat Kecamatan Lawa, Kabupaten Muna Barat. Dalam bahasa Muna, disebut pogiraha adhara.
Di masa lalu, pertarungan kuda merupakan tontonan raja atau tamu-tamu kerajaan. Seiring pergerakan zaman, pogiraha adhara ditampilkan di hari-hari besar seperti lebaran dan perayaan hari ulang tahun kemerdekaan atau daerah.
Kabar berhembus, atraksi budaya ini semakin senja kala. Tidak banyak orang-orang yang mau menggeluti dunia kuda. Jalan hidup yang tidak lagi menghidupi. Kuda tidak sama dengan hewan lain yang bisa melahirkan setahun sekali. Populasinya menurun drastis.
Pawang, yang memiliki kemampuan menjinakkan kuda yang sedang dilanda kesumat kian susut. Sudah tua-tua. Tidak banyak generasi muda di sana mau melanjutkan profesi itu. Padahal, pogiraha adhara adalah atraksi budaya yang unik. Kita tidak menemukannya di tempat lain.
Potensi wisata yang menjanjikan. Jika kita bergandengan tangan meliriknya. Membenahinya. Bukan hanya instansi yang mengurusi kepariwisataan semata. Tapi lintas sektoral. Lintas ilmu pengetahuan. Perlu ada intervensi teknologi di sana.
Jangan sampai generasi masa depan kita kelak, hanya tinggal mengagumi patung-patung perkelahian kuda. Bahwa dulu di tanah Muna ini ada simbol jati diri orang Muna.*
Penulis adalah Kepala Bidang Informasi dan Komunikasi Publik, Dinas Kominfo Sultra