Kelas Menengah, Mesin Ekonomi yang Terlupakan
Reporter: Addin Anugrah Siwi, Rama Sukarta, Arnoldus Kristianus, Indah Pujiastuti.

Pemerintah harus menambah stimulus yang menyasar langsung kalangan masyarakat menengah (middle class) untuk mendongkrak daya beli. Kelompok ini memegang peranan penting dalam menjaga stabilitas dan pemulihan ekonomi. Namun, mereka sering luput dari kebijakan. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi selama ini tidak begitu terasa dampaknya ke masyarakat.
Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini merilis, perekonomian Indonesia tumbuh 5,12% secara nasional pada kuartal II 2025. Perekonomian Indonesia berdasarkan besaran produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp 5.947 triliun dan atas dasar harga konstan mencapai Rp 3.396 triliun pada kuartal II 2025. Jika dibandingkan dengan kuartal I 2025, ekonomi Indonesia tumbuh 4,04%.
Pemerintah mengatakan pertumbuhan ekonomi 5,12% dampak dari stimulus ekonomi senilai Rp 24,4 triliun yang digelontorkan pada kuartal II 2025, berupa lima paket kebijakan, yakni diskon tarif tol, diskon biaya transportasi umum, penebalan bantuan sosial (bansos), bantuan subsidi upah (BSU), dan diskon iuran jaminan kecelakaan kerja (JKK).
“Stimulus pemerintah yang angkanya Rp 24,4 triliun yang kita gelontorkan untuk disposable income atau pemasukan untuk mendorong konsumsi masyarakat,” kata Tenaga Ahli Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Dedek Prayudi di Jakarta, Rabu (6/8/2025).
Menurut data BPS, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2025 sebagian besar dipengaruhi oleh kenaikan investasi sebesar 6,99% dengan sumbangsih ke pertumbuhan 2,06% serta ekspor barang dan jasa yang tumbuh 10,6% dengan kontribusi 2,43%. Ekspor dikurangi impor barang dan jasa tumbuh 11,65% dengan sumbangsih 2,21% terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun, konsumsi rumah tangga 4,97%, masih di bawah rata-rata sebelum pandemi Covid-19 yang selalu di atas 5%.
Stimulus Kelas Menengah
Pemerintah perlu memperkuat kebijakan fiskal untuk mendorong konsumsi masyarakat atau rumah tangga di atas 5% dengan menggenjot daya beli kelas menengah agar pertumbuhan ekonomi lebih terasa dampaknya di masyarakat. Misalnya, dengan memberi stimulus insentif pajak, kemudahan kredit usaha, menambah bantuan subsidi pendidikan, kesehatan, transportasi, belanja produk lokal, penguatan program pelatihan dan peningkatan keterampilan, memberi perlindungan sosial berkelanjutan, dan lainnya.
Kelas menengah merupakan tulang punggung konsumsi domestik yang harus diperhatikan. Mereka juga kontributor utama daya beli masyarakat, penopang penerimaan pajak negara, pendorong pertumbuhan UMKM, penopang stabilitas sosial, politik, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Menurut data BPS, jumlah masyarakat kelas menengah di Indonesia semakin menyusut dalam 5 tahun terakhir. Pada 2019, terdapat 57,33 juta orang kelas menengah. Namun, angkanya menurun menjadi 47,85 juta jiwa pada 2024. Penurunan kelas kelompok ini sangat memengaruhi daya beli.
Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede mengatakan pemerintah dapat mempertimbangkan pemberian insentif tambahan bagi kelas menengah yang sangat rentan terdampak kondisi ekonomi global dan domestik. Stimulus itu bisa berupa diskon pajak, subsidi energi tambahan, atau bantuan sosial bersifat temporer untuk menjaga daya beli di tengah tekanan ekonomi.
“Langkah ini menjadi penting, untuk menopang konsumsi yang menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi nasional, terlebih dengan ancaman tekanan inflasi harga pangan global akibat dinamika geopolitik dan cuaca ekstrem,” kata Josua.
Josua menilai prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia pada semester II 2025 diperkirakan moderat, sedangkan sepanjang tahun diprediksi berkisar 4,7% sampai 5,1%. Pada paruh kedua 2025, investasi diharapkan tetap kuat didorong oleh kejelasan kebijakan perdagangan dan berlanjutnya proyek-proyek infrastruktur besar, seperti MRT Jakarta, proyek perumahan, serta pembangunan kawasan industri di berbagai wilayah di Indonesia. Namun, risiko global, seperti gejolak geopolitik, terutama perang dagang AS-China dan konflik di Timur Tengah, pelemahan perdagangan dunia, hingga fluktuasi harga komoditas masih menjadi tantangan.
Ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan masyarakat kelas menengah merupakan mesin penggerak konsumsi, penyumbang pajak yang taat, dan simbol impian kemajuan bangsa. Namun, mereka rentan terjepit. Oleh karena itu, penting untuk menjaga daya beli mereka karena apabila anjlok maka bisa berdampak buruk bagi kehidupan ekonomi.
Menurutnya, faktor terbesar yang melemahkan daya tahan ekonomi kelas menengah, adalah jurang pemisah yang menganga antara laju kenaikan biaya hidup riil dengan pertumbuhan pendapatan mereka. Berdasarkan data BPS, inflasi Juli 2025 mencapai 2,37%. Namun, pos-pos pengeluaran krusial kelas menengah, seperti pendidikan dan kesehatan mencetak inflasi tinggi, masing-masing 5,8% dan kesehatan 4,9%.
Pada saat yang sama, pertumbuhan upah di sektor formal terasa seperti jalan di tempat. Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS per Februari 2025 menunjukkan rata-rata upah nominal buruh/karyawan hanya tumbuh sebesar 3,8%.
Jika disandingkan dengan inflasi umum 2,37%, maka kenaikan upah riil hanya sekitar 1,43%, bahkan menjadi negatif apabila dibandingkan dengan inflasi pendidikan dan kesehatan.
Pemerintah perlu membuat kebijakan yang tidak lagi memandang kelas menengah hanya sebagai objek pajak, melainkan aset strategis yang harus dirawat.
Pertama, reformasi kebijakan fiskal yang bukan sekadar menaikkan batas pendapatan tidak kena pajak, juga merancang insentif yang relevan, seperti potongan pajak (tax deduction) yang lebih besar untuk pengeluaran di sektor pendidikan dan kesehatan.
Kedua, investasi masif untuk meningkatkan kualitas layanan publik dasar.
Ketiga, perlu diciptakan ekosistem yang mendorong lahirnya lapangan kerja berkualitas tinggi, mengingat pekerja informasi masih banyak.
Chief Economist Sucor Sekuritas Ahmad Mikail Zaini mengatakan pemerintah harus menaikkan kembali daya beli masyarakat melalui refocusing stimulus dan mempercepat belanja APBN.
“Kalau kita lihat sampai semester I 2025, spending APBN itu mengalami kontraksi sekitar 13%-14% secara year on year. Ini yang menjelaskan kenapa juga sektor informal ini semakin banyak, yang perlu menjadi fokus pemerintah, adalah bagaimana penyerapan anggaran untuk menciptakan sektor formal. Karena kita tahu banyak sekali lay-off (PHK) di sektor formal,” katanya.
Program stimulus pemerintah selama ini diakui berpengaruh signifikan untuk memangkas jumlah kelompok masyarakat prasejahtera di Indonesia.
“Jika anggaran program stimulus dipangkas, maka akan berdampak pada kenaikan jumlah orang miskin di Indonesia. Karena mereka semakin tidak mampu untuk mendapatkan akses untuk kebutuhan dasar. Oleh karena itu pemerintah harus benar-benar memperhatikan kualitas spending (APBN),” ujarnya.
Hanya saja, stimulus yang diberikan pemerintah selama ini belum sepenuhnya menyasar kalangan menengah. Bahkan bantuan sosial, seperti bantuan pangan non-tunai (BPNT), Program Keluarga Harapan (PKH), hingga Program Indonesia Pintar (PIP) yang nilainya mencapai ratusan triliun, lebih fokus pada kalangan bawah atau miskin.
“Kebijakan stimulus yang ada hanya mendorong konsumsi rumah tangga miskin. Padahal, rumah tangga kelas menengah juga kesulitan. Mereka ini pembayar pajak terbesar, tetapi tidak mendapat insentif,” kata Direktur Eksekutif Indef Esther Sri Astuti.
Anggota Komisi XI DPR Charles Meikyansah mengatakan stimulus ekonomi harus menjangkau masyarakat kelas menengah yang saat ini tertekan dengan PHK, penurunan penghasilan sektor industri, jasa, ekonomi kreatif, hingga sempitnya lapangan kerja.
“Kita berharap masyarakat kelas menengah dapat merasakan stimulus ekonomi yang inklusif sehingga dapat memperkuat ketahanan ekonomi nasional secara menyeluruh,” ujar politisi Partai Nasdem itu.
Stimulus Kuartal III
Terkait hal itu, pemerintah sedang menyiapkan stimulus senilai Rp 10,8 triliun untuk mendorong aktivitas ekonomi pada kuartal III 2025. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan paket ini akan menjadi bagian dari strategi menjaga momentum capaian pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2025.
“Masih ada Rp 10,8 triliun untuk stimulus aktivitas ekonomi yang akan terlaksana di triwulan ketiga,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (5/8/2025).
Stimulus tersebut diharapkan memberikan dorongan tambahan bagi konsumsi dan investasi masa awal tahun ajaran baru, serta berbagai proyek infrastruktur yang mulai bergulir.
Sri Mulyani menekankan pemerintah akan terus mengoptimalkan peran APBN sebagai instrumen counter-cyclical untuk menjaga pertumbuhan di tengah gejolak global. “Kami menggunakan APBN untuk terus mendukung dan memulihkan agar optimisme dan pertumbuhan ekonomi bisa terus terjaga stabil atau makin kuat,” tegasnya.
Pemerintah juga sedang menyiapkan tambahan insentif menjelang libur Natal 2025 dan Tahun Baru 2026. (bsnn)