Opini

Politik Identitas dan Bayangan Kemunduran Islam Indonesia di Masa Depan

Oleh : Zulfikar, S.Pd

Dinamika Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 adalah momentum awal munculnya gerakan kolektif umat Islam dalam mewarnai percaturan politik nasional pasca-reformasi. Gerakan ini kemudian melembaga dalam satu wadah yang bernama GNPF MUI (Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia) yang belakangan berganti nama menjadi GNPF-Ulama. Gerakan umat yang terkonsolidasi dengan masif ini secara mengejutkan berhasil ‘menggulingkan’ Basuki Tjahaja Purnama ‘Ahok’ dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta sekaligus mengantarkan Ahok ke penjara atas dalih penistaan agama. GNPF ini mudah berterima di kalangan umat Islam karena tak lepas dari faktor kondisi politik nasional saat itu. Selain Ahok dianggap sebagai anak emas rezim Jokowi yang didukung oleh oligarki, Ahok pun dianggap sebagai simbol perlawanan teologis umat Islam, mengingat Ahok adalah Non-Muslim.

Tahun berganti, GNPF masih eksis hingga hari ini dan terus terlibat dalam dinamika politik nasional. Walaupun banyak usaha untuk menyudutkan tokoh GNPF untuk mereduksi gerakan mereka, yang kemudian usaha-usaha itu diyakini publik sebagai ulah rezim Jokowi yang anti Islam. Namun, terlepas dari itu semua, muncul sebuah pertanyaan mendasar, apakah gerakan politik umat Islam ini adalah titik awal kebangkitan Islam yang diyakini secara teologis akan terjadi, atau bahkan sebaliknya, gerakan ini akan membawa umat Islam bergerak kearah kemunduran?

Transformasi Gerakan Umat Islam

Marilah kita menengok sejarah gerakan umat Islam untuk dijadikan sebagai bahan analisis dalam menjawab pertanyaan di atas. Umat Islam pada mulanya memang pernah mengalami proses transformasi gerakan, yang diawali dari kesadaran sosial untuk terlibat dalam usaha-usaha politik demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sesuai konsep Islam. Difase awal, khususnya periode pasca runtuhnya Kesultanan Demak pada pertengahan abad ke-15, umat Islam berada pada kelas terbawah dalam hierarki sosial yang dalam konteks politik disebut kawula atau abdi. Tugas seorang kawula adalah melayani kelas atas atau orang-orang besar (priyagung). Walaupun Islam turun untuk menghapuskan sistem kelas dalam tatanan masyarakat serta mengukur manusia hanya dari tingkat ketakwaannya kepada Tuhan, namun secara sosio-kultural, pengkastaan masih lumrah terjadi pada periode itu. Selain disebabkan oleh kentalnya warisan budaya Hindu, pendakwah Islam juga gagal menjadikan istana kerajan sebagai episentrum penyebaran agama Islam. Sebaliknya, Islam tumbuh subur pada kalangan masyarakat agraris di pedesaan.

Proses panjang perjuangan umat Islam melawan kolonialisasi negara-negara Eropa kemudian memicu transfomasi sosial selanjutnya. Pada periode 1900-an lahirlah kelas baru dengan bentuk perjuangan yang baru pula. Umat Islam merasa dirinya sebagai wong cilik (rakyat kecil), kelas sosial yang barangkali bisa disebut sebagai kelas menengah dalam hierarki. Kelas ini terdiri dari kelas petani, kelas buruh dan kelas pedagang. Kesadaran kelas baru ini memicu umat Islam untuk merumuskan Ideologi yang berbasis nilai-nilai agama, khususnya Ideologi untuk memajukan kepentingan ekonomi para pedagang Islam di Indonesia. Pada tahun 1911 lahirlah Serikat Dagang Islam (SDI) oleh H. Samanhudi di Solo. SDI kemudian berganti nama menjadi Sarekat Islam (SI) dan dalam perjalanannya sejarahnya melahirkan tokoh-tokoh gerakan sepeti H.O.S Tjokroaminoto, H. Agus Salim, Abdul Muis dan sebagainya. Tokoh-tokoh inilah yang kemudian merintis jalan umat Islam menuju transformasi periode ketiga.

Pada periode ketiga kesadaran sosial umat Islam, definisi umat sebagai kesadaran sosial dan politis mulai digagas. Asosiasi-asisiasi banyak didirikan untuk mengamplifikasi gerakan dengan memperbanyak simpatisan atau orang yang mau terlibat dalam gerakan dibawah bendera Islam. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah kemudian didirikan setelahnya. Walaupun umat Islam terfragmentasi dan cenderung fraksional, namun semangat berjuang dalam struktur kerja yang terorganisir mulai membudaya.

Proses Sejarah

Konon sejarah akan berulang pada dimensi yang lain. Sehingga Bung Karno pernah mengatakan “Jangan sekali-kali melupahkan sejarah” agar masyarakat Indonesia mampu mengambil hikmah dari proses yang terjadi. Proses transformasi umat terjadi begitu cepat dan bergerak kearah kemajuan disebabkan karena mampunya tokoh-tokoh Islam untuk menciptakan pola gerakan yang integrasionis dan sistemik. Meminjam istilah Kuntowijoyo, gerakan Profetik umat Islam mampu mengintegrasikan kepentingan umat dengan kepentingan bangsa dan negara secara bersamaan serta mampu bergerak sistemik dengan menyelesaikan persoalan-persoalan masyarakat di akar rumput seperti kebodohan dan kemiskinan. Namun saat SI tidak lagi menjalankan misi profetik dan hanya fokus pada urusan politik praktis untuk merebut kekuasaan, saat itulah kehancuran SI dan umat Islam dimulai. Umat Islam mengalami stagnansi karena tidak adanya cendekiawan-cendekiawan SI yang mampu memproduksi gagasan pembangunan masyarakat Islam yang ideal.

Beruntung, Tuhan seperti memberikan kesempatan kedua bagi umat Islam untuk mewujudkan cita-cita pembangunan dan keadilan sosial. Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) berdiri pada 24 Oktober 1943. Pada priode awal berdirinya, Masyumi mampu mengagregasi kepingan-kepingan kekuatan umat Islam dengan cara yang pernah dipraktekkan SI, bergerak secara integrasionis dan sistemik. Akhirnya pasca 1945, umat Islam betul-betul menjadi netizen yang berpartisipasi penuh secara politik dalam mewujudkan cita-cita Islam melalui pemerintahan. Puncaknya pada era keemasan Masyumi yang begitu tampak pada Pemilu 1995 yang tak terlepas dari ketokohan M Natsir sebagai sosok yang mengusung nilai Islam yang disitesiskan dengan nilai demokrasi.

Seperti tak belajar pada sejarah, Masyumi kemudian melakukan kesalahan yang sama yang telah dilakukan oleh gerakan kelompok umat di masa lalu. Masyumi meninggalkan isu-isu mendasar yang sejatinya dibutuhkan oleh masyarakat di kelas bawah dan terlalu sibuk dengan dinamika politik nasional atau yang dikenal sebagai sindrom “war time mentality”.

Fenomena Politik Identitas Menjelang Pemilu 2024

Menjelang Pemilu 2024, suhu politik nasional kembali meningkat. Pembelahan ideologi politik hingga ke level paling bawah masih terus terjadi, bahkan menunjukkan gejala yang semakin menguat. Pada pengumuman dan penetapan partai politik kentestan Pemilu 2024 oleh KPU RI, beberapa partai politik baru tampil dengan corak politik yang sangat kuat. Partai Ummat besutan Amien Rais bahkan dengan tegas mengatakan bahwa strategi politik Partai Ummat adalah politik identitas. Partai Ummat seperti ingin menampung hasrat politik simpatisan GNPF MUI atau kelompok-kelompok Islam yang selama ini menunjukkan preferensi ideologi politiknya sebagai politik Islam.

Apakah politik identitas atau politik dengan simbol-simbol Islam akan mampu memperoleh suara umat secara sigifikan? sebagai bahan analisa, perlu kita membuka data perolehan suara partai poltik dengan simbol Islam sejak Pemilu 1955 dimana saat itu Masyumi hanya memperoleh 20,92 %. Pada pemilu tahun 1999, partai Islam yang diwakili oleh PPP, PKB, PAN, PBB, dan PK hanya 37,54 %. Pada pemilu 2004 suara partai islam hanya meningkat kurang dari 1%. Dari catatan sejarah pemilu ini, dapat disimpulkan bahwa secara sosiologis, pemilih umat Islam secara umum tidak menjadikan simbol-simbol agama sebagai faktor utama dalam menentukan pilihan partai politik mereka. Walaupun jumlah umat Islam Indonesia hari ini masih sangat dominan, sekitar 80%, sistem politk multi-partai ini membuat peta kekuatan politik umat islam menjadi terkotak-kotak. Dan hingga hari ini nampaknya sangat sulit dilakukan fusi partai politik Islam maupun pendukungnya.

Dalam Al-Quran surah Al-Imran ayat 40 yang artinya “Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan agar sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada”. Umat Islam meyakini bahwa pergantian kekuasaan dan sirkulasi elit pasti akan terjadi, sebagaimana yang telah terjadi dalam sejarah panjang umat Islam sejak dari masa Khulafah Khurasyidin di Mekkah dan Madinah hingga masa Kekhalifaan Turki Utsmani. Mungkin ayat ini pulalah yang mendasari ikhtiar panjang partai-partai Islam untuk merebut kekuasaan. Namun, catatan sejarah bangsa pun tidak boleh diabaikan. Keadaan ini membuat partai-partai Islam berdiri diantara dua kemungkinan. Pertama, jika partai Islam dalam kekuasaannya mampu menjawab masalah-masalah keumatan dengan “peace time mentality, mampu melakukan integrasi antara gerakan Islam dengan masalah nasional, mampu menciptakan pendekatan sistemik yang menekankan masalah sosial ekonomi dengan spirit perjuangan Islam serta mampu menciptakan gerakan Islam yang integral baik secara horizontal maupun vertical maka cita-cita Islam “das sollen” akan menjadi kenyatan “das sein”.

Namun sebaliknya, jika partai-partai Islam dalam kekuasaanya mengabaikan catatan sejarah dengan mengulang kembali kesalahan Sarekat Islam (SI) dan Masyumi, maka partai Islam dan umat Islam akan kembali terpuruk dengan periode kebangkitan kembali yang mungkin akan lebih lama. Umat Islam akan berpotensi tergerus dari arus utama kehidupan bangsa bangsa bahkan global. Inilah yang saya sebut sebagai bayangan kemunduran Islam. (**)

Penulis adalah Fungsionaris Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI)  Bidang Perguruan Tinggi, Kemahasiswaan dan Pemuda.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button