Opini

Urgensi Reformasi Struktur Polri: Harus Berada di Bawah Salah Satu Kementerian

Rahman Azhar, Peneliti Prolog Initiatives

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) saat ini berada di persimpangan krusial dalam sejarah reformasinya. Gelombang kritik tajam dari masyarakat, akademisi, dan lembaga negara terhadap berbagai tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power oleh anggota maupun struktur institusional Polri memperlihatkan urgensi untuk merombak total tata kelola lembaga ini.

Beberapa kasus menonjol menjadi indikator kegagalan sistemik: Mulai dari pembunuhan Brigadir J oleh Irjen Ferdy Sambo, keterlibatan Irjen Teddy Minahasa dalam sindikat narkoba, dan intimidasi terhadap jaksa dalam kasus timah senilai Rp 271 triliun.

Selain itu, perluasan kewenangan yang diusulkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Polri yang berpotensi menggerus fungsi kelembagaan lain seperti Kejaksaan, Tentara Nasional Indonesia (TNI), Badan Intelijen Nasional (BIN), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dan lain-lain.

Semua gejala ini bukanlah anomali yang berdiri sendiri, melainkan gejala dari masalah struktural yang lebih dalam dan sistemik, yaitu kekeliruan penempatan institusional Polri yang berada langsung di bawah Presiden tanpa kontrol kementerian.

Hal ini membuat Polri menjadi lembaga yang terlalu kuat secara politik, operasional, dan administratif, tanpa pengawasan institusional yang efektif sebagaimana yang berlaku dalam desain negara demokratis modern. Potensi Abuse of Power, Lahir dari Struktur yang Tidak Terkontrol Menurut David Pion-Berlin, institusi bersenjata harus dikontrol oleh otoritas sipil (murni) dalam satu sistem checks and balances yang jelas agar tidak terjadi potensi abuse of power. Dalam konteks Indonesia, baik militer (TNI) maupun Polri memiliki hak legal untuk menggunakan kekuatan koersif (senjata dan kekerasan) atas nama negara.

Namun, berbeda dengan TNI yang tunduk secara struktural di bawah Kementerian Pertahanan sebagai lembaga sipil pembina strategis, Polri justru berada langsung di bawah Presiden. Hal ini menjadikan Polri bebas dari kendali institusi kementerian dan membuka ruang luas bagi abuse of power.

Masalahnya bukan sekadar perilaku oknum, tetapi lebih pada desain kelembagaan yang cacat secara prinsip tata kelola demokratis. Ketika sebuah institusi yang memiliki senjata, kewenangan penindakan hukum, dan kekuasaan koersif tidak dikontrol oleh institusi sipil yang membentuk kebijakan, maka hasilnya adalah lembaga dengan potensi hegemoni kekuasaan dan resistensi terhadap akuntabilitas.

Ketimpangan Fungsi dan Kekuasaan Polri Fakta bahwa sekitar 488 perwira aktif Polri menjabat di kementerian dan lembaga negara lain adalah alarm bahaya tentang terjadinya ekspansi politik dan birokratis Polri ke seluruh sektor pemerintahan. Di saat yang sama, draf RUU Polri yang sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengindikasikan keinginan institusi ini untuk memperluas mandatnya ke wilayah-wilayah strategis yang selama ini menjadi kewenangan lembaga lain.

Jika tidak dikontrol, Polri akan bertransformasi menjadi entitas superbody yang menyatukan kekuasaan intelijen, penegakan hukum, keamanan nasional, dan otoritas politik. Secara fundamental, hal ini bertentangan dengan prinsip negara hukum demokratis.

Selain itu, peran Polri juga perlu didefinisikan secara lebih terbatas sebagaimana diatur dalam Pasal 30 UUD 1945, yakni sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Tugas penegakan hukum bukan hanya domain Polri, tetapi juga Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Imigrasi, Bea Cukai, TNI, hingga Badan Keamanan Laut (Bakamla). Pembagian wewenang penegakan hukum ini penting agar tidak ada lembaga tunggal yang memiliki kekuasaan absolut yang nantinya sulit terkontrol.

Psikologi Institusi dan Keperluan Kontrol Sipil Perlu disadari, secara historis dan sosiologis pendidikan dasar Polri bersumber dari model pendidikan militer. Baik di Akademi Kepolisian maupun pendidikan lanjutan Polri, diterapkan sistem kedisiplinan tinggi, struktur komando, dan internalisasi kebanggaan korps.

Hal ini secara psikologis membentuk watak kelembagaan yang tertutup, loyal secara vertikal, dan cenderung resisten terhadap kritik dari luar. Kombinasi antara kekuatan koersif, pendidikan militeristik, dan tidak adanya kontrol sipil yang fungsional menjadikan Polri sebagai lembaga dengan potensi laten untuk berlaku otoriter. Terutama, dalam situasi politik yang tidak stabil.

Dalam konteks inilah, menempatkan Polri di bawah kementerian sipil adalah langkah struktural untuk menata ulang hubungan antara kekuasaan dan akuntabilitas. Solusi Struktural: Menempatkan Polri di Bawah Kementerian Sipil Dalam sistem negara demokrasi modern, tidak ada satu institusi pun yang boleh memiliki kekuasaan tanpa pengawasan. Karena itu, reformasi Polri harus diarahkan pada perubahan struktur kelembagaan.

Caranya, dengan menempatkan Polri di bawah salah satu kementerian sipil, baik Kementerian Dalam Negeri maupun Kementerian Hukum. Dalam model ini, kementerian bertugas menyusun kebijakan strategis, menyelaraskan fungsi antarlembaga, dan mengawasi jalannya organisasi. Sementara itu, Polri bertindak sebagai pelaksana teknis dan operasional dari kebijakan negara.

Model ini sudah berlaku di banyak negara demokrasi maju seperti Jerman, Jepang, Australia, dan Prancis. Di negara-negara tersebut institusi kepolisian menjadi bagian dari struktur kementerian dan tidak berdiri sebagai lembaga independen yang menyusun dan menjalankan kebijakannya sendiri. Pengalaman negara-negara tersebut membuktikan bahwa kontrol sipil atas institusi koersif bukanlah bentuk pelemahan, melainkan upaya untuk memperkuat akuntabilitas dan legitimasi publik.

Berikut ini rekomendasi kami untuk pemerintah: 1. Polri harus ditempatkan di bawah kementerian sipil, seperti Kemendagri atau Kemenkum, demi menjamin akuntabilitas dan pengawasan demokratis. 2. Kewenangan Polri harus difokuskan pada keamanan dan ketertiban masyarakat, bukan seluruh penegakan hukum, sebagaimana amanat Pasal 30 UUD 1945. 3.

Pembagian fungsi penegakan hukum perlu diperkuat dan ditegaskan antarlembaga, agar tidak terjadi konsentrasi kekuasaan dalam satu institusi. 4. RUU Polri perlu dikritisi secara ketat oleh publik dan DPR RI, agar tidak memberikan kewenangan berlebih yang melampaui prinsip-prinsip checks and balances dalam demokrasi. Jika reformasi struktural ini tidak segera diwujudkan, risiko institusionalisasi abuse of power akan terus membayangi bangsa ini sampai kapan pun. Membangun demokrasi yang sehat hanya mungkin terjadi bila kekuasaan, termasuk yang bersenjata, tunduk pada otoritas sipil dalam sistem yang transparan, akuntabel, dan berbasis hukum. (**)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button