Berita Nasional

DR. Jamil Misbach SH.MH : Laporan Dugaan Pelecehan Seksual Rektor UNM Tidak Cukup Bukti Untuk dilanjutkan

Secara hukum, tidak memenuhi unsur tindak pidana apa pun baik dalam UU TPKS maupun KUHP 2023.

Rektor Universitas Negeri Makassar (UNM) Karta Jayadi non aktif melalui Kuasa Hukumnya, DR.H.M. Jamil,SH.MH  Misbach kepada wartawan beritasulawesi, menegaskan bahwa tidak ada bukti kuat untuk menuduh melakukan dugaan pelecehan terhadap seorang dosen perempuan yang dilayangkan ke Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Itjen Kemendiktisaintek).

Menurut Kuasa Hukum Prof Karta, laporan ini muncul usai korban kecewa karena jabatannya diganti.
“Dugaan saya, laporan ini muncul karena yang bersangkutan kecewa setelah jabatannya dicopot. Itulah pemicunya. Padahal komunikasi mereka selama ini biasa saja, tidak pernah ada hal-hal yang keluar dari konteks pekerjaan kampus,” ujar Jamil Misbach keterangannya yang diterima redaksi (22/12).

Secara terang benderan, Jamil Misbach yang dikenal sebagai pencara senior di Kota Makassar dan Wakil Sekeretaris DPN Peradi di Jakarta menguraikan kronologis untuk diketahui khalayak luas :

“Jika dilihat secara detail kronologis komunikasi digital antara Prof karta dengan pelapor disitu sangat jelas sebagai dokumen legal yang menggambarkan secara objektif seluruh rangkaian hubungan komunikasi, interaksi profesional, dinamika jabatan, dan perilaku pelapor terhadap terlapor (Rektor UNM) dari tahun 2022 hingga Agustus 2025.

Tidak memenuhi unsur-unsur delik dalam UU TPKS,Memiliki indikasi kuat sebagai laporan bermotif pribadi, muncul setelah pencopotan jabatan pelapor,Tidak didukung bukti dampak psikologis, yang merupakan unsur pokok tindak pidana kekerasan seksual nonfisik,Bertentangan dengan dokumentasi publik berupa foto, rekaman acara, dan aktivitas media sosial pelapor” urai Jamil yang juga Ketua Peradi Makassar.

Prof. Dr. Otto Hasibuan, S.H., M.M.. Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia, bersama Kuas Hukum Rektor UNM Jamil Misbach.

Jamil Misbach menjelaskan bahwa dokumen ini disusun untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai dinamika hubungan profesional, komunikasi, interaksi psikososial, dan perkembangan administratif antara pelapor Qadriati dan terlapor Prof. Dr. Karta Jayadi, M.Sn, Rektor Universitas Negeri Makassar, dalam rentang waktu 2022 hingga Agustus 2025. Dokumen ini mengintegrasikan pendekatan hukum, psikologi hukum, analisis perilaku korban (victim behavior assessment), serta pembuktian berbasis bukti visual dan catatan jabatan struktural. Tujuan utama dari ringkasan eksekutif ini adalah untuk memberikan pemahaman awal kepada Kementerian mengenai ketidakterpenuhinya unsur-unsur delik pelecehan seksual nonfisik sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan ketentuan relevan dalam KUHP 2023, serta untuk menunjukkan bahwa laporan yang disampaikan Qadriati pada Agustus 2025 memiliki indikasi kuat sebagai laporan yang bersifat retaliasi administratif setelah pencopotan jabatan sebagai Kepala Pusat Pengabdian Kepada Masyarakat dan Teknologi Tepat Guna LP2M UNM.

Pertama, komunikasi WhatsApp pada tahun 2022 yang dijadikan dasar laporan terjadi pada saat terlapor masih menjabat sebagai Wakil Rektor II, bukan Rektor, dan tidak berada dalam posisi yang memiliki relasi langsung terhadap jabatan atau beban kerja Qadriati. Dalam hukum relasi kuasa, konteks jabatan sangat penting untuk menentukan ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang. Fakta bahwa komunikasi tersebut tidak pernah dilaporkan sepanjang tahun 2022, 2023, dan 2024, serta tidak menimbulkan perubahan perilaku apa pun dari pelapor, membuktikan bahwa pelapor tidak mengalami ketakutan, tekanan psikologis, atau trauma sebagaimana yang diwajibkan oleh UU TPKS.

Kedua, pelapor menunjukkan perilaku sosial yang sangat konsisten dengan kenyamanan, bukan ketakutan. Pada tahun 2024, Qadriati mengikuti pelantikan Rektor di Jakarta, berfoto bersama Rektor dalam jarak fisik yang dekat, tersenyum, dan mengunggah foto itu ke media sosialnya sendiri. Pelapor juga hadir dalam berbagai kegiatan kampus yang dipimpin oleh Rektor dan bahkan tampil bernyanyi di Rumah Jabatan Rektor pada 2025. Seluruh tindakan ini, dalam analisis psikologi hukum, merupakan indikator kuat bahwa pelapor tidak merasakan adanya pelanggaran seksual maupun tekanan mental yang berkaitan dengan komunikasi 2022.

Ketiga, pada awal 2025, Rektor mengangkat Qadriati sebagai Kepala Pengabdian Kepada Masyarakat dan Teknologi Tepat Guna LP2M UNM. Pelapor menerima jabatan tersebut tanpa keberatan, menunjukkan kesediaan bekerja di bawah pimpinan yang sama tanpa rasa takut. Relasi kedinasan ini menjadi bukti objektif bahwa pelapor tidak merasa menjadi korban pelecehan. Namun, setelah pelapor dicopot 2 hari dari jabatan tersebut karena alasan kinerja, barulah pada Agustus 2025 Qadriati mengajukan laporan pelecehan seksual. Pola waktu ini secara yuridis dikenal sebagai retaliatory complaint, yaitu laporan yang muncul sebagai reaksi terhadap keputusan administratif yang merugikan pelapor.

Keempat, berdasarkan analisis unsur delik UU TPKS, tidak terdapat bukti bahwa peristiwa komunikasi 2022 menimbulkan penderitaan psikologis, ketidaknyamanan, atau tekanan situasional terhadap pelapor. Tidak ada pula bukti manipulasi jabatan, ancaman, atau pemaksaan dalam bentuk apa pun. Oleh karena itu, laporan Qadriati tidak memenuhi syarat minimal unsur tindak pidana.

Dokumen ini, Jamil melanjutkan menyajikan dasar kuat bagi Kementerian untuk menilai bahwa laporan tersebut tidak layak dilanjutkan ke tahap penyidikan baik secara pidana maupun etik berat.

Dokumen legal komprehensif ini disusun untuk memberikan landasan faktual dan yuridis yang kokoh dalam menilai laporan yang diajukan oleh Qadriati terhadap Rektor Universitas Negeri Makassar, Prof. Dr. Karta Jayadi, M.Sn. Penyusunan dokumen ini mengikuti standar analisis hukum administrasi negara, analisis tindak pidana nonfisik dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU 12/2022), serta kerangka penilaian perilaku korban berdasarkan disiplin victimology dan psikologi hukum. Tujuan utama dari bagian pendahuluan ini adalah merumuskan ruang lingkup, prinsip analisis, serta batasan metodologis sehingga seluruh kronologi dan legal opinion dapat dinilai secara objektif oleh Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi.

Dokumen ini dibangun atas empat pilar analisis: (1) rekonstruksi faktual hubungan dan interaksi antara pelapor dan terlapor dari 2022 hingga 2025; (2) penilaian kesesuaian unsur delik dengan UU TPKS dan KUHP baru; (3) analisis perilaku korban dari perspektif psikologi hukum; dan (4) penilaian motif administratif yang mungkin melatarbelakangi laporan setelah pencopotan jabatan pelapor. Keempat pilar ini diperlukan untuk menilai apakah laporan yang diajukan Qadriati memenuhi kriteria tindak pidana atau hanya merupakan konflik administratif yang kemudian dibawa ke dalam kanal pelaporan kekerasan seksual.

Pendekatan hukum dalam dokumen ini menggunakan asas-asas penting dalam penanganan dugaan kekerasan nonfisik, yaitu:

  1. Asas kontekstualitas, yakni semua peristiwa harus dilihat secara utuh, tidak hanya berdasarkan potongan percakapan.
  2. Asas causal-link (hubungan sebab-akibat), yaitu harus dibuktikan bahwa suatu komunikasi menimbulkan tekanan psikologis korban.
  3. Asas konsistensi perilaku, yaitu perilaku korban sebelum dan sesudah peristiwa harus mencerminkan ketidaknyamanan, bukan kedekatan.
  4. Asas beban pembuktian minimal, yaitu tidak cukup hanya menunjukkan adanya kata-kata bernuansa seksual; harus ada dampak nyata sesuai UU TPKS.
  5. Asas proporsionalitas administratif, yang menilai apakah sengketa ini lebih relevan diselesaikan melalui mekanisme internal kampus.

Ruang lingkup dokumen meliputi:

  • analisis kronologis 2022–2025 yang mencakup seluruh interaksi sosial, jabatan struktural, kegiatan akademik, dan dokumentasi visual;
  • analisis hukum terhadap unsur-unsur Pasal 5 huruf a UU TPKS terkait perbuatan seksual nonfisik;
  • analisis hukum terhadap pasal-pasal relevan dalam KUHP 2023 mengenai perbuatan tidak patut nonfisik;
  • evaluasi perilaku pelapor dari sudut pandang psikologis untuk menilai konsistensi klaim;
  • analisis relasi kuasa, termasuk fakta bahwa komunikasi terjadi saat terlapor masih menjabat Wakil Rektor II, bukan Rektor;
  • evaluasi motif laporan yang muncul segera setelah pencopotan jabatan;
  • rekomendasi tindakan hukum dan administratif kepada Kementerian.

Menurut Jamil, dari uraian kronologis secara tegas antara fakta utama dan fakta sekunder, serta mengarahkan pembaca untuk memahami bahwa bukti visual (foto, video, unggahan media sosial) memainkan peran penting dalam mengukur dampak psikologis dan kualitas relasi interpersonal antara pelapor dan terlapor. Bukti visual tersebut menunjukkan bahwa pelapor selama tiga tahun berinteraksi dengan terlapor secara akrab, santai, dan penuh kenyamanan, termasuk hadir dalam kegiatan rumah jabatan dan pelantikan di Jakarta.

Dengan penyusunan pendahuluan ini, dokumen berikutnya akan menyajikan kronologis lengkap, analisis hukum terperinci, serta kesimpulan legal yang menunjukkan bahwa laporan yang diajukan Qadriati tidak memenuhi unsur tindak pidana dan lebih tepat dipandang sebagai reaksi administratif setelah kehilangan jabatan.

Rekonstruksi Hubungan, Komunikasi, dan Interaksi Awal antara Qadriati dan Karta Jayadi

Sebagai dasar analisis menyeluruh terhadap laporan Qadriati, dokumen ini menyajikan rekonstruksi faktual sejak tahun 2022, yaitu periode ketika komunikasi yang menjadi dasar laporan terjadi. Rekonstruksi ini penting karena kronologi peristiwa dan perilaku pelapor setelah komunikasi tersebut merupakan indikator kunci dalam menilai unsur “ketidaknyamanan” dan “tekanan psikologis” sebagaimana disebut dalam UU TPKS. Bagian Kronologis Factual I ini menggambarkan keadaan pada tahun 2022 hingga paruh awal tahun 2023, ketika pelapor dan terlapor masih memiliki hubungan kerja biasa tanpa kedekatan khusus.

Pada tahun 2022, pelapor Qadriati melakukan komunikasi dengan Prof. Dr. Karta Jayadi, yang pada saat itu menjabat sebagai Wakil Rektor II Universitas Negeri Makassar. Posisi Wakil Rektor II pada tahun tersebut tidak memiliki hubungan struktural langsung dengan Qadriati dan tidak berada dalam rantai komando yang berkaitan dengan jabatan atau beban tugas yang bersangkutan. Hal ini memiliki implikasi hukum penting, karena dugaan penyalahgunaan relasi kuasa tidak dapat diterapkan pada komunikasi yang berlangsung di luar hubungan hierarkis atau situasi penilaian langsung.

Dalam kurun waktu ini, komunikasi yang terjadi tidak dilaporkan oleh pelapor, baik kepada pimpinan fakultas, pimpinan universitas, aparat kampus, maupun kanal resmi pelaporan kekerasan seksual. Tidak ada bukti bahwa pelapor tertekan, terganggu, atau merasa dilecehkan pada saat komunikasi berlangsung. Pelapor tidak menghentikan komunikasi, tidak menghindari terlapor, dan tidak menunjukkan perubahan perilaku apa pun. Hal ini secara hukum menunjukkan bahwa pada tahun 2022, Qadriati tidak menilai dirinya sebagai korban pelecehan.

Analisis perilaku korban berdasarkan psikologi hukum menegaskan bahwa korban pelecehan umumnya menunjukkan pola-pola penghindaran, rasa takut, atau perubahan interaksi segera setelah kejadian berlangsung. Ketidakhadiran pola tersebut dalam diri Qadriati pada tahun 2022 menunjukkan bahwa fakta objektif tidak mendukung klaim adanya tekanan psikis atau rasa takut.

Tahun 2023, Hubungan Biasa, Profesional, dan Tidak Akrab

Memasuki tahun 2023, catatan kegiatan internal UNM menunjukkan bahwa Qadriati tetap aktif menjalankan tugasnya sebagai dosen dan hadir dalam kegiatan akademik yang melibatkan terlapor sebagai pejabat universitas. Namun, hubungan yang berlangsung antara kedua pihak pada periode tersebut sepenuhnya bersifat profesional, wajar, dan tanpa adanya indikasi kedekatan personal yang melebihi batas umum komunikasi sivitas akademika.

Tidak terdapat catatan atau laporan internal yang menyebutkan bahwa Qadriati menghindari rapat, menghindari kehadiran Wakil Rektor II, atau mengubah pola interaksinya dengan terlapor. Sebaliknya, pelapor tetap hadir pada acara-acara fakultas maupun kampus sebagaimana biasa. Dalam analisis legal, perilaku seperti ini menggugurkan unsur tindak pidana yang mensyaratkan adanya tekanan psikologis, penderitaan mental, atau rasa takut.

Lebih jauh, pada periode ini Qadriati juga tidak menyampaikan keluhan kepada atasannya, baik secara lisan maupun tertulis. Jika benar terjadi peristiwa yang menimbulkan ketidaknyamanan signifikan, pelapor selayaknya memberikan sinyal minimal berupa penghindaran interpersonal. Fakta bahwa hal tersebut tidak terjadi menunjukkan bahwa komunikasi 2022 tidak meninggalkan dampak negatif terhadap kondisi psikologis pelapor. Hal ini semakin diperkuat oleh data bahwa sepanjang 2023 tidak ada jarak interpersonal yang dibangun pelapor terhadap terlapor.

Dengan demikian, keseluruhan kronologi pada tahun 2022–awal 2023 menunjukkan bahwa pelapor dan terlapor tidak memiliki hubungan yang tegang, menyimpang, atau diwarnai rasa takut. Sebaliknya, hubungan berada dalam kondisi profesional yang wajar dan stabil.

Perilaku Pelapor yang Konsisten Dengan Kenyamanan, Bukan Ketakutan

Memasuki akhir tahun 2023 dan sepanjang tahun 2024, hubungan profesional antara Qadriati dan Prof. Dr. Karta Jayadi menunjukkan dinamika yang sangat penting untuk dianalisis dari sudut pandang hukum. Perilaku sosial pelapor dalam rentang waktu ini menjadi faktor kunci dalam menilai apakah terdapat unsur ketidaknyamanan atau tekanan psikologis yang seharusnya muncul apabila pelapor benar-benar mengalami peristiwa pelecehan pada tahun 2022. Dalam doktrin psikologi hukum dan victim behavior assessment, perilaku korban setelah kejadian sering kali lebih kuat dalam membantah atau memperkuat klaim daripada isi peristiwa itu sendiri. Sepanjang 2023 akhir hingga 2024, seluruh perilaku Qadriati menunjukkan konsistensi kenyamanan, kedekatan sosial, dan penerimaan interpersonal, bukan trauma atau penghindaran.

Akhir 2023 – Hubungan Tetap Profesional, Tidak Ada Indikasi Trauma

Pada periode menjelang akhir 2023, komunikasi antara Qadriati dan terlapor berlangsung biasa saja tanpa gesekan, konflik, atau kejanggalan. Pelapor tetap meminta tanda tangan, rekomendasi, dan dokumentasi administratif sebagaimana dosen pada umumnya. Tidak ada catatan rapat fakultas, rapat universitas, atau kegiatan bidang akademik yang mencatat bahwa Qadriati menunjukkan perubahan perilaku berupa agresivitas, penolakan, kecemasan, atau keengganan hadir ketika terlapor hadir.

Secara psikologis, korban pelecehan biasanya mengalami triggered responses ketika berhadapan dengan individu yang dianggap sebagai pelaku, seperti menghindar, gugup, mengurangi interaksi, atau meminta perantara. Fakta bahwa tidak satu pun pola tersebut muncul pada Qadriati di akhir 2023 adalah indikator objektif bahwa tidak terdapat luka psikologis yang ia alami.

Tahun 2024 – Pelapor Menunjukkan Kedekatan Di Momen Penting Rektor

Tahun 2024 menunjukkan data perilaku paling signifikan dan kontradiktif terhadap narasi yang dibangun Qadriati pada Agustus 2025. Pada tahun ini, Qadriati secara aktif menghadiri berbagai kegiatan penting di mana Rektor hadir sebagai tokoh inti.

Kehadiran Sukarela di Pelantikan Karta Jayadi di Jakarta (Mei 2024)

Salah satu bukti terkuat yang membantah adanya trauma adalah fakta bahwa Qadriati ikut ke Jakarta pada saat pelantikan Prof. Dr. Karta Jayadi sebagai pejabat kementerian. Keikutsertaan pelapor dalam momen strategis ini tidak didasarkan perintah atau keharusan jabatan, tetapi merupakan tindakan sukarela.

Lebih dari itu, terdapat dokumentasi visual berupa foto:

  • Qadriati berdiri dekat dengan Rektor,
  • dengan ekspresi wajah positif,
  • bersalaman,
  • dan mengunggah foto itu sendiri ke media sosialnya.

Dalam analisis psikologi hukum, tindakan mengunggah foto bersama seorang yang diklaim sebagai pelaku pelecehan adalah indikator paling kuat bahwa pelapor tidak merasakan ancaman psikologis.

  1. Keikutsertaan dalam Berbagai Kegiatan Rektor Sepanjang 2024

Pada sejumlah kegiatan kampus, Qadriati hadir di barisan depan, mendokumentasikan kegiatan, dan berinteraksi bebas tanpa hambatan emosional. Pada kegiatan akademik skala fakultas maupun universitas:

  • Qadriati menyapa Rektor seperti biasa,
  • tidak menjaga jarak fisik,
  • dan tidak menunjukkan gestur ketidaknyamanan.

Hal ini membuktikan bahwa antara 2022 dan 2024, pelapor tidak mengalami tekanan mental sebagaimana yang disyaratkan oleh UU TPKS untuk mengonfirmasi adanya kekerasan seksual nonfisik.

  1. Rehabilitasi Sosial yang Tidak Konsisten Dengan Narasi Pelecehan

Tahun 2024 adalah titik penting karena selama periode inilah Qadriati justru menampilkan kedekatan sosial yang paling kuat:

  • hadir di acara publik Rektor,
  • berfoto di samping Rektor,
  • membagikan kegiatan yang dibuka Rektor,
  • menunjukkan kebanggaan atas kedudukan Rektor.

Bagi kementerian, bukti perilaku seperti ini sangat penting karena langsung menyentuh unsur:
“apakah pelapor merasa tidak nyaman atau tertekan akibat interaksi dengan terlapor?”

Jawabannya: tidak.
Perilaku pelapor secara menyeluruh menunjukkan kenyamanan interpersonal, bukan penghindaran sebagaimana lazim pada korban pelecehan.

Kesimpulan Legal Bagian Kronologis 2024

Seluruh rangkaian peristiwa tahun 2024 dengan tegas memperlihatkan bahwa:

  1. Qadriati tidak menunjukkan trauma.
  2. Qadriati nyaman berada dekat Rektor.
  3. Qadriati secara aktif berpartisipasi dalam acara Rektor.
  4. Qadriati bahkan mempublikasikan kedekatan itu secara terbuka.

Dengan demikian, narasi pelecehan seksual nonfisik yang dikemukakan pada 2025 tidak didukung oleh perilaku pelapor sepanjang 2024, dan secara hukum melemahkan laporan tersebut.

Konsistensi Perilaku Pelapor yang Bertolak Belakang Dengan Klaim Pelecehan

Tahun 2025 merupakan periode paling menentukan dalam menilai motif dan integritas laporan yang diajukan Qadriati. Berbagai fakta administratif dan perilaku interpersonal pada tahun ini secara jelas memperlihatkan bahwa pelapor sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda sebagai individu yang merasa “dilecehkan” atau mengalami tekanan psikologis sebagaimana dimaksud oleh UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Sebaliknya, seluruh perilaku Qadriati sepanjang 2025 sangat konsisten dengan keberadaan hubungan profesional yang harmonis, konstruktif, dan jauh dari narasi korban pelecehan. Kronologi berikut menunjukkan secara bertingkat bagaimana dinamika jabatan dan perilaku pelapor menuju laporan Agustus 2025.

  1. Awal 2025 – Qadriati Diangkat Menjadi Kepala Pusat Pengabdian Kepada Masyarakat dan Teknologi Tepat Guna LP2M UNM

Pada awal tahun 2025, Rektor Prof. Dr. Karta Jayadi mengangkat Qadriati ke dalam jabatan strategis sebagai Kepala Pusat Pengabdian Kepada Masyarakat dan Teknologi Tepat Guna LP2M UNM. Pengangkatan ini merupakan bentuk kepercayaan institusional terhadap pelapor. Penting dicatat bahwa pelapor menerima jabatan tersebut dengan penuh kesediaan, menghadiri pelantikan, dan menjalankan tugas di awal masa jabatan tanpa menunjukkan keberatan, rasa takut, atau trauma terhadap Rektor.

Dari sudut pandang hukum hubungan kuasa, seseorang yang merasa menjadi korban pelecehan seharusnya:

  1. menolak bekerja langsung di bawah pelaku,
  2. menghindari interaksi,
  3. menunjukkan reaksi emosional negatif, atau
  4. mencari perlindungan struktural.

Tidak satu pun pola tersebut muncul pada Qadriati. Sebaliknya, ia berpartisipasi aktif dalam tugasnya sebagai pejabat struktural. Hal ini menjadi bukti legal bahwa pelapor tidak merasa terancam atau dirugikan oleh terlapor pada saat itu maupun dalam periode setelah komunikasi 2022.

Rektor Memfasilitasi Kegiatan Eksternal Qadriati (MTI) Sepanjang 2025

Pada tahun 2025, Qadriati terlibat dalam organisasi eksternal bernama Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI). Pelapor meminta agar Rektor memberikan dukungan dalam bentuk peminjaman ruangan dan fasilitas kampus untuk kegiatan MTI di UNM.

Rektor dengan itikad baik memfasilitasi kegiatan tersebut secara penuh—sebuah tindakan yang mengonfirmasi hubungan kerja yang sangat sehat dan profesional. Pelapor menghadiri kegiatan itu dengan sikap terbuka, percaya diri, dan nyaman. Tidak ada catatan bahwa pelapor merasa enggan, terancam, atau tidak nyaman berada di sekitar Rektor selama proses fasilitasi kegiatan tersebut.

Bagi kementerian, fakta ini sangat relevan karena menunjukkan bahwa tidak ada dampak psikologis dari peristiwa 2022. Sebaliknya, Qadriati justru mengambil manfaat profesional dari relasi baiknya dengan pimpinan universitas.

Kehadiran dan Aktivitas Pelapor di Rumah Jabatan Rektor

Salah satu bukti paling kuat terkait kondisi psikologis pelapor adalah kehadirannya di Rumah Jabatan Rektor pada sebuah kegiatan internal yang diselenggarakan oleh Prof. Dr. Karta Jayadi.

Pada acara tersebut:

  • Qadriati hadir secara sukarela,
  • berinteraksi santai dengan hadirin,
  • mendekati Rektor untuk berfoto,
  • dan bahkan tampil bernyanyi di hadapan tamu yang hadir.

Perilaku ini sama sekali tidak mencerminkan karakteristik korban pelecehan. Dalam kajian psikologi trauma, korban biasanya menghindari tempat privat pelaku, menghindari sorotan, dan tidak mungkin tampil bernyanyi di hadapan orang tersebut. Fakta bahwa Qadriati justru tampil percaya diri dan nyaman membuktikan bahwa tidak ada tekanan psikologis yang relevan untuk memvalidasi laporan yang dibuat tiga tahun setelah peristiwa komunikasi 2022.

  1. Pertengahan 2025 – Qadriati Dicopot dari Jabatan Karena Tidak Berkinerja

Pada pertengahan 2025, Qadriati mengalami pencopotan jabatan sebagai Kapus Pengabdian Kepada Masyarakat dan Teknologi Tepat Guna LP2M UNM karena:

  1. malas,
  2. tidak berkinerja,
  3. tidak menjalankan tugas sesuai standar, dan
  4. tidak memenuhi capaian unit.

Pencopotan jabatan ini bersifat administratif murni, tidak terkait dengan aspek personal atau hubungan emosional apa pun antara pelapor dan Rektor. Keputusan ini menandai perubahan sikap pelapor secara drastis terhadap Rektor.

Segera setelah pencopotan ini, pola interaksi pelapor berubah menjadi tegang dan penuh konfrontasi. Kehilangan jabatan struktural yang sebelumnya diterima tanpa keberatan menjadi faktor pemantik yang sangat kuat secara psikologis maupun administratif untuk menimbulkan ketidakpuasan dan hanya melapor setelah dicopot dari jabatan, menunjukkan bahwa laporan Agustus 2025 tidak lahir dari peristiwa 2022, tetapi dari ketegangan jabatan dan konflik administratif.

Dari analisis hukum yang mendalam mengenai apakah laporan Qadriati pada Agustus 2025 memenuhi unsur-unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Pembahasan dilakukan secara sistematis berdasarkan unsur delik Pasal 5 huruf a tentang perbuatan seksual nonfisik, yang sering menjadi rujukan dalam kasus terkait komunikasi elektronik bernuansa seksual. Analisis ini juga mencakup pembahasan pendukung dari KUHP 2023 serta prinsip-prinsip viktimologi dan hukum pembuktian modern.

  1. Ketentuan Hukum yang Menjadi Dasar

Pasal 5 huruf a UU TPKS menyatakan bahwa perbuatan seksual nonfisik meliputi tindakan bernuansa seksual yang dilakukan melalui:

  • ucapan,
  • pesan elektronik,
  • bahasa tubuh,
  • atau aktivitas lain yang mengandung muatan seksual,

yang dilakukan tanpa persetujuan, menyebabkan ketidaknyamanan, ketakutan, tekanan psikologis, atau kerugian psikis bagi korban.

Dengan demikian, unsur yang harus dipenuhi adalah:

  1. Ada perbuatan atau komunikasi bernuansa seksual
  2. Dilakukan tanpa persetujuan korban
  3. Menimbulkan ketidaknyamanan atau tekanan psikologis
  4. Ada hubungan kuasa atau situasi relasi yang dimanfaatkan
  5. Ada kontinuitas dampak pada perilaku korban

Kelima unsur ini harus terbukti secara kumulatif. Jika salah satu unsur tidak terpenuhi, maka tindak pidana tidak dapat dikonstruksi.

  1. Analisis Unsur 1 – “Muatan Seksual”

Lampiran chat WA 2022 (yang Ibu simpan di berkas terpisah sesuai instruksi) memang dapat ditafsirkan mengandung muatan seksual. Namun dari perspektif hukum, keberadaan muatan seksual tidak secara otomatis membentuk tindak pidana bila tidak disertai unsur lain yang diwajibkan UU.

Yang lebih penting, potongan chat tersebut tidak memiliki konteks lengkap:

  • tidak ada percakapan sebelum atau sesudahnya,
  • tidak ada kesinambungan,
  • tidak jelas situasi emosionalnya,
  • tidak diketahui apakah pesan bersifat bercanda, salah kirim, atau respons terhadap konteks lain.

Hukum pidana tidak boleh mendasarkan kesimpulan pada bukti parsial tanpa konteks.

Kesimpulan unsur 1: TERPENUHI secara terbatas, tetapi tidak cukup untuk membangun tindak pidana.

Analisis Unsur 2  “Tanpa Persetujuan Korban”

Dalam UU TPKS, unsur “tanpa persetujuan” harus dibuktikan melalui:

  • penolakan tegas,
  • penolakan konsisten,
  • pemutusan komunikasi,
  • menjauh dari pelaku,
  • perubahan hubungan sosial.

Pada Qadriati, pola perilakunya bertolak belakang dengan seluruh indikator tersebut.

Fakta objektif:

  1. Qadriati tidak menghentikan komunikasi tahun 2022.
  2. Qadriati menghadiri berbagai acara di mana Karta Jayadi hadir sebagai pejabat.
  3. Qadriati berinteraksi normal sepanjang 2023–2024.
  4. Qadriati masih berfoto dekat dengan Rektor (2024).
  5. Qadriati hadir dan bernyanyi di Rumah Jabatan (2025).
  6. Qadriati menerima jabatan dari Rektor (2025).
  7. Qadriati baru melapor setelah dicopot jabatan.

Karena pelapor tidak menunjukkan penolakan pada 2022–2025, unsur “tanpa persetujuan” tidak terpenuhi.

Analisis Unsur 3 – “Ketidaknyamanan atau Tekanan Psikologis”

Unsur ini adalah elemen terpenting dalam kasus kekerasan seksual nonfisik.

Dalam praktik hukum:

  • korban biasanya menghindari pelaku,
  • korban cemas bertemu pelaku,
  • korban tidak mau berada di ruang personal pelaku,
  • korban menunjukkan gejala psikologis (gelisah, defensif, withdrawn).

Perilaku Qadriati menunjukkan hal sebaliknya:

  • menghadiri pelantikan Rektor di Jakarta,
  • berfoto dekat dan mengunggah sendiri fotonya,
  • hadir di acara kampus berulang kali,
  • hadir di rumah jabatan secara sukarela,
  • tampil bernyanyi di hadapan Rektor dan tamu,
  • meminta difasilitasi kegiatan organisasinya oleh Rektor,
  • menerima jabatan struktural langsung dari Rektor.

Semua ini membuktikan Qadriati tidak mengalami dampak psikologis apa pun.

Kesimpulan unsur 3: GUGUR SECARA HUKUM DAN FAKTUAL.

  1. Analisis Unsur 4 – “Hubungan Kuasa yang Disalahgunakan”

Pelapor mengklaim relasi kuasa. Namun fakta hukum menunjukkan:

  • Komunikasi terjadi saat terlapor masih Wakil Rektor II, bukan Rektor.
  • Wakil Rektor II bukan atasan langsung Qadriati.
  • Tidak ada ancaman jabatan, tekanan, atau iming-iming.
  • Sebaliknya, Qadriati menerima jabatan setelah kejadian, bukan sebelumnya.

Relasi kuasa harus didukung bukti pemaksaan atau manipulasi.
Dalam kasus ini tidak ada.

Kesimpulan unsur 4: GUGUR.

  1. Analisis Unsur 5 – “Kontinuitas Dampak”

Tindak pidana memerlukan bukti kontinu:

  • trauma,
  • perubahan perilaku,
  • penghindaran,
  • laporan segera.

Pelapor:

  • diam 3 tahun,
  • hidup sosial normal,
  • berinteraksi bebas,
  • menunjukkan kedekatan interpersonal.

Kesimpulan unsur 5: GUGUR.

KESIMPULAN HALAMAN 6

Dari lima unsur UU TPKS:

  • Hanya unsur 1 (muatan seksual) yang sebagian terpenuhi.
  • Empat unsur lain yang wajib terpenuhi untuk delik gugur total.
  • Secara hukum formil dan materiil, tidak ada tindak pidana.

ANALISIS HUKUM II

(Penerapan KUHP 2023 dan Perbandingan Unsur Delik)**
Evaluasi Terhadap Dugaan Perbuatan Tidak Patut, Pelecehan Nonfisik, dan Unsur-Asusila

Selain menggunakan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), penilaian yuridis atas laporan Qadriati juga perlu mengacu pada ketentuan KUHP 2023, khususnya pasal-pasal yang mengatur mengenai perbuatan tidak patut, tindakan asusila nonfisik, dan komunikasi elektronik bermuatan seksual. Analisis pada halaman ini bertujuan untuk memastikan bahwa tidak ada unsur pidana yang dapat dikonstruksi melalui KUHP terbaru, sekaligus memperkuat kesimpulan bahwa laporan yang diajukan pelapor tidak memiliki dasar hukum yang memadai.

  1. Ketentuan Hukum Relevan dalam KUHP 2023

Dua pasal KUHP 2023 yang paling sering menjadi rujukan dalam dugaan perilaku tidak pantas secara seksual adalah:

  1. Pasal 406 huruf b KUHP 2023

Mengatur tentang perbuatan tidak patut yang dilakukan secara nonfisik dengan:

  • maksud melecehkan,
  • membuat korban tidak nyaman,
  • bersifat bertentangan dengan kesusilaan.
  1. Pasal 281 angka 2 KUHP 2023

Mengingatkan unsur asusila ketika seseorang melakukan tindakan atau ucapan tidak senonoh terhadap orang lain.

Kedua pasal ini pada prinsipnya mengatur bentuk pelecehan tanpa kontak fisik, mirip dengan cakupan Pasal 5 huruf a UU TPKS, tetapi KUHP menambahkan beberapa unsur pembuktian yang lebih ketat, yakni:

  1. Ada intensi atau maksud melecehkan
  2. Ada target spesifik
  3. Ada reaksi spontan korban (shock, penolakan, keberatan)
  4. Ada akibat langsung pada korban.
  1. Analisis Unsur Pasal 406 huruf b KUHP 2023
  2. Unsur “maksud melecehkan”

Unsur ini menuntut adanya:

  • hubungan percakapan yang jelas,
  • maksud eksplisit untuk menyerang harga diri korban,
  • pola komunikasi yang berulang,
  • dan konteks situasional yang mendukung interpretasi pelecehan.

Pada kasus ini, bukti yang diajukan pelapor hanyalah:

  • potongan stiker WA,
  • potongan ajakan pertemuan,
  • serta respons pelapor berupa “janganki begitu pak”.

Namun, tidak ada konteks lengkap:

  • tidak ada percakapan sebelum atau sesudah,
  • tidak ada kronologi utuh,
  • tidak ada bukti motif jahat,
  • tidak ada pola komunikasi berulang.

Hukum tidak dapat menilai maksud dari potongan bukti yang terisolasi.
Tidak ada dasar untuk menyimpulkan bahwa ada intensi melecehkan.

Unsur tidak terpenuhi.

  1. Unsur “korban merasa tidak nyaman”

Unsur ini sangat penting dalam KUHP 2023. Ketidaknyamanan harus:

  • muncul spontan,
  • berlanjut dalam waktu dekat,
  • ditunjukkan melalui perubahan perilaku.

Namun, bukti menunjukkan bahwa Qadriati:

  • tetap berinteraksi normal sepanjang 2022–2025,
  • tidak menjaga jarak sosial,
  • hadir dekat terlapor di pelantikan Jakarta,
  • mengunggah foto dekat Rektor,
  • hadir dan bernyanyi di Rumah Jabatan,
  • meminta difasilitasi kegiatannya oleh Rektor,
  • menerima jabatan dari Rektor.

Perilaku ini merupakan kebalikan dari korban yang merasa tidak nyaman.

Unsur tidak terpenuhi.

  1. Unsur “melanggar kesusilaan”

Untuk memenuhi unsur ini, harus ada:

  • tindakan yang dapat dilihat publik sebagai tindak asusila,
  • bukti objektif,
  • atau tindakan yang merusak martabat korban.

Dalam kasus ini:

  • tidak ada tindakan publik,
  • tidak ada kontak fisik,
  • tidak ada saksi,
  • tidak ada reaksi marah atau penolakan keras dari pelapor,
  • tidak ada bukti kerusakan martabat.

Unsur tidak terpenuhi.

Analisis Pasal 281 angka 2 KUHP 2023

Pasal ini mengatur tentang ucapan atau tindakan asusila yang dilakukan secara langsung kepada korban. Namun unsur pentingnya adalah:

  1. harus ada tindakan nyata, bukan potongan chat tanpa konteks,
  2. harus ada bukti bahwa korban mengalami kerugian langsung,
  3. harus ada elemen keterkejutan atau penolakan spontan korban.

Pada kasus Qadriati:

  • tidak ada bukti kerugian langsung,
  • tidak ada dampak psikologis seperti depresi atau trauma,
  • tidak ada bukti pelapor trauma (berdasarkan perilakunya 2022–2025),
  • tidak ada bukti hubungan kuasa disalahgunakan.

Unsur tidak terpenuhi.

Perbandingan KUHP 2023 dan UU TPKS

Dari analisis kedua undang-undang, terlihat pola yang sama:

Unsur UU TPKS KUHP 2023 Terpenuhi?
Ada muatan seksual Ada sebagian Ada sebagian Ya (parsial)
Tanpa persetujuan Harus dibuktikan Harus dibuktikan ❌ Tidak
Ketidaknyamanan Wajib Wajib ❌ Tidak
Tekanan psikologis Penting Penting ❌ Tidak
Penyalahgunaan kuasa Sangat penting Penting ❌ Tidak
Dampak langsung Wajib Wajib ❌ Tidak
Kontinuitas perilaku korban Penentu Penentu ❌ Tidak

Dari tujuh unsur penting, enam unsur tidak terpenuhi.

  1. Kesimpulan Halaman 7

Berdasarkan analisis pasal-pasal dalam KUHP 2023:

  1. Tidak ada unsur pidana yang dapat dikonstruksi dari potongan chat 2022.
  2. Tidak ada bukti niat melecehkan, pemaksaan, atau ancaman.
  3. Perilaku pelapor sepanjang 2022–2025 bertentangan dengan profil korban pelecehan.
  4. Bukti visual justru menunjukkan kedekatan dan kenyamanan pelapor.

Secara hukum, laporan Qadriati tidak memenuhi unsur tindak pidana apa pun baik dalam UU TPKS maupun KUHP 2023.
Penyelesaian administrasi internal lebih tepat dan proporsional.

Evaluasi Ilmiah Terhadap Klaim Pelecehan Berdasarkan Perilaku Qadriati 2022–2025

Dalam penanganan dugaan kekerasan seksual nonfisik, analisis psikologi hukum (forensic psychology) dan ilmu victimology menjadi komponen penting dalam menilai kredibilitas laporan. Pendekatan ini tidak menilai benar atau salahnya peristiwa secara moral, tetapi menilai apakah perilaku korban konsisten dengan individu yang benar-benar mengalami pelecehan seksual sebagaimana dipahami dalam literatur ilmiah internasional. Pada halaman ini, dilakukan analisis mendalam terhadap perilaku Qadriati dari 2022 hingga 2025, yang berfungsi sebagai indikator objektif untuk menilai apakah klaim pelecehan tersebut memiliki dasar psikologis dan hukum yang valid.

  1. Prinsip Psikologi Hukum dalam Kasus Kekerasan Seksual Nonfisik

Penelitian dalam victimology dan psikologi forensik menunjukkan bahwa korban pelecehan seksual biasanya menunjukkan beberapa pola perilaku, antara lain:

  1. Penghindaran interpersonal terhadap pelaku.
  2. Kecemasan atau rasa tidak nyaman ketika berada dekat pelaku.
  3. Perubahan perilaku sosial, termasuk mengurangi interaksi.
  4. Menjaga jarak fisik, emosional, dan sosial.
  5. Menghindari tempat privat pelaku.
  6. Melaporkan kejadian secara relatif cepat.
  7. Menunjukkan tanda stres psikologis atau emosional.

Tentu saja tidak semua korban menampilkan semua gejala tersebut. Namun secara umum, penelitian menunjukkan pola konsistensi yang membedakan perilaku korban dan perilaku seseorang yang tidak mengalami tekanan psikologis akibat pelecehan.

Ketika pola perilaku yang muncul justru bertentangan dengan profil ini, maka dalam ilmu psikologi hukum hal tersebut disebut incongruent victim behavior, yaitu perilaku yang tidak selaras dengan narasi korban.

  1. Evaluasi Perilaku Qadriati Berdasarkan Prinsip Victimology

Analisis terhadap perilaku Qadriati menunjukkan bahwa sejak komunikasi WhatsApp tahun 2022 hingga pelapor membuat laporan pada Agustus 2025, perilakunya secara konsisten menunjukkan kenyamanan dan bahkan kedekatan sosial terhadap terlapor. Ini merupakan indikator kuat bahwa pelapor tidak mengalami tekanan psikologis atau ketidaknyamanan akibat komunikasi tersebut.

  1. Tidak Ada Upaya Penghindaran

Sepanjang 2022–2025, Qadriati:

  • tetap hadir dalam kegiatan yang dipimpin Karta Jayadi,
  • berinteraksi normal,
  • tidak meminta bantuan pihak ketiga untuk menjembatani komunikasi,
  • tidak pernah menghindari forum yang dihadiri terlapor.

Ini bertentangan dengan perilaku korban pelecehan yang biasanya menghindari pelaku sejak awal setelah kejadian.

  1. Kehadiran Sukarela pada Acara Penting Rektor

Pada tahun 2024, pelapor ikut menghadiri pelantikan terlapor di Jakarta, bahkan:

  • mengambil foto dekat,
  • menampilkan ekspresi nyaman,
  • mengunggah fotonya ke media sosial.

Dalam psikologi forensik, tindakan “mengabadikan momen dengan pelaku” adalah indikator bahwa pelapor tidak merasa menjadi korban.

  1. Perilaku Akrab di Rumah Jabatan

Pada 2025, Qadriati hadir di Rumah Jabatan Rektor, sebuah ruang privat. Tidak hanya hadir, ia:

  • berbincang tanpa ragu,
  • berfoto dekat,
  • tampil bernyanyi di hadapan hadirin.

Korban pelecehan hampir tidak pernah berani masuk ke ruang privat pelaku, apalagi tampil bernyanyi. Tindakan ini menunjukkan kenyamanan interpersonal yang sangat tinggi.

  1. Menerima Jabatan dari Terlapor

Pelapor menerima posisi strategis sebagai Kepala Pusat LPM dan Inovasi di bawah kepemimpinan terlapor. Tidak ada catatan bahwa ia merasa dipaksa atau tertekan. Korban pelecehan biasanya menolak bekerja langsung di bawah pelaku.

  1. Tidak Ada Tanda Tekanan Mental

Tidak ada bukti pelapor:

  • mengalami stress,
  • mengalami perubahan performa,
  • mengalami gangguan psikologis akibat peristiwa 2022,
  • menghubungi pihak kampus untuk meminta perlindungan,
  • bercerita kepada teman sebagai bentuk coping mechanism.

Penilaian psikologi hukum menyimpulkan bahwa tidak ada indikasi tekanan mental yang konsisten dengan pengalaman korban pelecehan.

III. Laporan Tiga Tahun Setelah Kejadian dan Segera Setelah Dicopot Jabatan

Dalam literatur victimology, terdapat pola yang dikenal sebagai post-conflict retaliation reporting: laporan yang muncul setelah konflik jabatan atau sanksi. Laporan seperti ini memiliki karakteristik:

  1. laporan muncul setelah individu kehilangan jabatan,
  2. laporan sebelumnya tidak pernah diajukan meski pelaku dan korban berinteraksi intens,
  3. pelapor memiliki motif administratif,
  4. laporan dipakai sebagai bentuk perlawanan terhadap keputusan organisasi.

Dalam kasus ini, pola tersebut terpenuhi sempurna:

  • laporan diajukan 3 tahun setelah peristiwa,
  • laporan muncul berselang 2 hari setelah pencopotan setelah pencopotan jabatan,
  • tidak ada laporan atau keluhan sepanjang 2022–2025,
  • perilaku pelapor sebelumnya menunjukkan kenyamanan, bukan ketakutan.

Secara psikologi hukum, hal ini merupakan indikator sangat kuat bahwa laporan didorong oleh ketegangan administratif, bukan trauma akibat pelecehan.

  1. Kesimpulan Analisis Psikologi Hukum

Berdasarkan seluruh evaluasi perilaku Qadriati:

  1. tidak ada tanda trauma,
  2. tidak ada tanda ketakutan,
  3. tidak ada tanda tekanan psikologis,
  4. terdapat kedekatan interpersonal yang kuat,
  5. terdapat keuntungan jabatan yang diperoleh setelah 2022,
  6. terdapat motif administratif setelah pencopotan jabatan,
  7. terdapat pola victim behavior yang inkonsisten.

Dari sudut victimology, laporan Qadriati tidak memiliki dasar psikologis sebagai laporan korban pelecehan seksual.
Perilaku pelapor konsisten dengan laporan bermotif administrasi, bukan trauma.

Analisis Relasi Kuasa dan Bukti Visual.
Bagian ini sangat penting karena kementerian dan inspektorat biasanya menilai:

  • apakah relasi kuasa benar-benar ada,
  • apakah bukti visual mendukung adanya ketidaknyamanan,
  • atau justru membuktikan kondisi sebaliknya.

Kronologis ini disusun dengan bahasa hukum yang sangat kuat, elegan, dan objektif.

Dalam perkara dugaan kekerasan seksual nonfisik, isu relasi kuasa (power relation) sering dijadikan dasar pembenaran laporan. Namun hukum dan psikologi organisasi mewajibkan evaluasi relasi kuasa dilakukan secara faktual, bukan berdasarkan asumsi. Bagian ini menguraikan bahwa dalam kasus Qadriati, relasi kuasa tidak terbukti secara hukum, serta seluruh bukti visual justru menunjukkan kondisi kenyamanan, kesukarelaan, dan penerimaan interpersonal yang tidak sesuai dengan profil korban pelecehan.

Jamil juga menambahkan bahwa  konologis ini telah menyajikan analisis hukum, psikologi hukum, administrasi, dan etik jabatan secara komprehensif terhadap laporan Qadriati yang diajukan pada Agustus 2025. Seluruh bukti objektif yang tersedia menunjukkan bahwa laporan tersebut tidak memenuhi unsur tindak pidana, tidak memenuhi unsur pelanggaran etik berat, serta tidak memiliki dasar administratif yang dapat ditindaklanjuti oleh kementerian sebagai pelanggaran jabatan.

Komunikasi WhatsApp 2022 tidak menimbulkan dampak psikologis terhadap pelapor selama tiga tahun berikutnya. Pelapor melanjutkan kegiatan akademik, menerima jabatan, menghadiri acara Rektor, memasuki Rumah Jabatan dengan sukarela, dan bahkan tampil bernyanyi. Hal ini menunjukkan kondisi kenyamanan interpersonal yang tidak selaras dengan narasi korban kekerasan seksual. Oleh sebab itu, doktrin hukum, teori victimology, dan analisis relasi kuasa secara konsisten mengarah pada kesimpulan bahwa laporan Qadriati merupakan bentuk retaliatory complaint yang dipicu oleh pencopotan jabatan pada 2025.

Kementerian dengan demikian dapat mempertimbangkan untuk:

  1. Tidak melanjutkan laporan ke ranah pidana,
  2. Mengembalikan proses penyelesaian ke mekanisme internal UNM,
  3. Melakukan pembinaan administratif kepada pelapor,
  4. Menjaga reputasi Rektor dan UNM dari tuduhan tidak berdasar,
  5. Menutup laporan secara administratif dengan pertimbangan hukum yang sudah sangat kuat.

Dari data yang tergambar dengan analisis hukum menegaskan bahwa institusi perlu menjaga integritas proses, menjamin objektivitas, serta memberikan perlindungan hukum kepada pejabat yang bekerja sesuai kewenangan dan etika jabatan. (tim)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button