Generasi Muda Jangan Terbuai Janji Manis Politisi di Pemilu 2024

Para politisi yang terjun ke Pemilu 2024 mengobral janji untuk rakyat. Di antaranya beragam jenis program kesejahteraan rakyat yang dibiayai negara.
“Anak muda harus mempertanyakan apakah konsep kesejahteraan yang dibiayai oleh negara ini benar-benar bermanfaat,” ujar aktivis Students For Liberty Raina Salsabila pada Minggu (24/12).
Raina Salsabila mengidentifikasi ada banyak janji kampanye dari politisi, terutama para calon legislatif (caleg). Politisi menjanjikan beragam kebutuhan rakyat bakal ditanggung oleh negara. Janji-janji manis tersebut dikhawatirkan Raina Salsabila. Negara bakal berlebihan dalam mengintervensi kehidupan warga. “Itu berbahaya bagi demokrasi,” ujarnya.
Pendapat itu diungkapkan juga saat didaulat menjadi pembicara dalam diskusi publik di Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Jakarta, Jumat (22/12).
Dia menyebut, sejumlah program kesejahteraan yang dijanjikan para politisi di masa lalu dan kini diimplementasikan negara kerap membahayakan perekonomian Indonesia. Sebab program itu, mengeruk APBN dan mengandalkan utang. Akibatnya, generasi saat ini dan mendatang dibebani utang negara.
“Bayi baru lahir sudah punya utang. Saya yang baru berusia 20 tahun, tiba-tiba sudah dihadapkan dengan berbagai tanggungan dan krisis,” tambah mahasiswa UPN itu. Generasi muda diingatkan agar jangan terbuai dengan janji manis politisi di Pemilu 2024.
Senada dengan itu, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bernama Imam Syadzili. Dia mengatakan, program-program ala negara kesejahteraan merugikan generasi yang akan datang.
“Anggaran kesejahteraan ini digambarkan sebagai sebuah tragedy of the commons. Orang saling berebut manfaat, tetapi enggan mengambil tanggung jawabnya,” kata Imam.
Menurut Direktur Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (Indeks) Nanang Sunandar, Negara kesejahteraan (welfarestate) sering kali dinilai sebagai model ideal.
Ekonom pendukung negara kesejahteraan menganggap negara kesejahteraan berhasil mewujudkan kemakmuran yang lebih berkeadilan bagi masyarakatnya, terutama masyarakat miskin dan kurang beruntung. Mereka mencontohkan negara-negara Nordik seperti Finlandia, Swedia, dan Denmark.
Menurut Nanang, janji-janji manis politisi merugikan masyarakat, terutama generasi yang akan datang. Karena, uang untuk memenuhi janji-janji populis ala negara kesejahteraan bersumber dari APBN yang akan menjadi beban pajak dan meningkatkan utang negara.
Selain itu, untuk membiayai program-program kesejahteraan, pembangunan sering digenjot dengan mengabaikan dampaknya terhadap kerusakan lingkungan. Akibatnya, generasi yang akan datang tidak hanya dibebani masalah ekonomi bangsa, tapi juga diwarisi kerusakan lingkungan.
Ekonom Poltak Hotradero mengatakan, negara demokrasi seperti Indonesia memungkinkan para politisi mengumbar janji-janji populis yang mengarah pada program-program kesejahteraan demi menarik suara sebanyak-banyaknya.
Bagi Poltak, program-program ala negera kesejahteraan melibatkan uang besar. Muncul administrasi dan birokrasi yang gemuk. Ongkos yang sangat besar. “Hati-hati dengan program yang datangnya dari atas ke bawah. Saya mendukung program yang datang dari bawah ke atas,” ujarnya.
Poltak mewanti-wanti agar kita sebagai masyarakat tidak menyerahkan segala urusan personal kepada negara. “Saya adalah yang kritis terhadap istilah negara harus hadir. Banyak hal yang perlu kita selesaikan sendiri. Kita, sebagai orang yang mencintai demokrasi dan tahu kelemahannya, harus cerdas,” pungkasnya. (bsnn)