Opini

Hilirisasi Mineral, Siapa Yang Untung dan Siapa Yang Buntung?

Bisman Bhaktiar, S.H., M.H., M.M.• Direktur Eksekutif: Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan

Hilirisasi mineral merupakan industri/investasi padat modal, yang membutuhkan dana investasi yang cukup atau sangat besar.Hanya perusahaan besar yang mampu membuat smelter dengan kapasitas besar. Umumnya perusahaan (modal) asing yang mampu mendirikan smelter. Hanya sebagian kecil perusahaan lokal yang mampu, itupun banyak yang join dengan perusahaan asing, demikian dikatakan Ismet Djafar, Ketua Bidang Energi dan Pertambangan Majelis Nasional KAHMI, dan Tenaga Ahli Komisi Energi DPR RI 2017-2019.

Lebih lanjut Ismet menjelaskan perbankan/lembaga keuangan nasional masih belum sepenuhnya berani investasi dalam industri smelter karena risiko yang besar, margin yang “kecil” dan payback periode yang cukup lama serta tanpa jaminan pemerintah. Berbeda dengan skema IPP Pembangkit Listrik yang “dijamin” Pemerintah karena ada UU yang memastikan PLN harus membeli semua produk listrik IPP dengan harga B2B (take or pay rule).

Perusahaan lokal skala menengah membangun smelter kapasitas kecil dan hanya bergantung pada kuota ekspor (keuntungan ekspor) untuk membiayai pembangunan smelter. Umumnya tidak memiliki equty yang cukup, khususnya untuk pembangunan smelter. “Keuntungan ekspor ore lebih banyak digunakan/dialokasikan untuk modal kerja”, ujar Ismet.

Dalam presentasinya Ismet menjelaskan dasar hukum hilirasasi atau peningkatan nilai tambah (PNT) mineral, yaitu:

  1. UU No.4 Tahun2009 Pasal 103 dan 170
  2. PP No.23/2010 Pasal 93, 95, 112
  3. PP No.1/2014
  4. Permen ESDM No.1/2014
  5. PP No.1/2017
  6. Kepmen ESDM No.1826K/2018
  7. Permen ESDM No. 25/2018

Berikut ini adalah poin-poin diskusi yang disampaikan oleh Ismet Djafar:

Penghentian ekspor ore mulai 1 Januari 2020 untuk nikel dan 1 Januari 2022 untuk semua mineral, berpotensi akan mematikan smelter kapasitas kecil karena kehabisan modal kerja.

Sementara ini, izin pembangunan smelter dikeluarkan oleh Kemenperin dalam bentuk Izin Usaha Industri (IUI) dan Kementerian ESDM dalam bentuk IUP OPK PNT. Karena itu jumlah smelter bisa bertambah terus, terutama yang IUI, karena tidak ada syarat pemilikan IUP OP (tambang mineralnya). Rezimnya adalah manufucturing, sehingga bahan baku bisa berasal dari mana saja.

Khusus untuk nikel, kapasitas cadangan terbukti hanya cukup untuk menyuplai semua smelter yang ada maksimal 8 tahun kedepan. Sedangkan cadangan terduga, belum dilakukan penelitian intensif untuk berubah/menambah cadangan terbukti. Sementara masa BEP industri smelter rata-rata di atas 10 tahun. Bagaimana dengan investor smelter yang baru mau bangun?

Praktik di lapangan, smelter menyerap ore dari berbagai IUP Mineral, termasuk IUP lokal skala menengah. Harga jual ore ditentukan b2b antara pemilik ore dengan pemilik smelter, tidak mengikuti aturan Harga Patokan Mineral (HPM) yang dikeluarkan oleh Ditjen Minerba. Kenyataan ini membuat IUP Mineral dirugikan, karena harga lebih dikontrol oleh pemilik smelter.

Banyak smelter yang perkembangan pembangunannya tidak sesuai dengan rencana yang telah disampaikan kepada Ditjen Minerba. Lambat dan akal-akalan. Apalagi saat ini (khusus untuk nikel) tidak ada dampak kepada sanksi pemotongan kuota ekspor karena ekspor nikel telah dihentikan.

Smelter nikel yang telah berdiri umumnya menggunakan teknologi lama (misalnya blast furnice). Sehingga hanya dijadikan dasar untuk mendapatkan kuota ekspor ore, dan tidak dioperasikan. Teknologi ini juga memperngaruhi ongkos produksi. Teknologi RKEF memerlukan daya listrik yang tinggi. Biaya produksi juga jadi tinggi.

Pemegang IUPOP dan IUP OPK PNT lebih mengejar ekspor ore daripada mempercepat pembangunan smelter. Karena itu, kuota ekspor ore dimaksimalkan (dihabiskan) sementara pembangunan smelter diperlambat.

Harga jual ekspor banyak dipengaruhi oleh indeks LME (London Metal Exchange). Padahal faktor dalam negeri juga punya pengaruh dalam (mengontrol) biaya produksi.

Khusus untuk nikel, hasil pengolahan nikel oleh kebanyakan smelter masih dalam bentuk NPI yang memiliki kadar 10% Ni, selebih FE dll. Dengan kadar Ni yang relatif kecil, maka perusahaan pengolahan/pemurnian di LN yang lebih menikmati hasil hilirisasi/PNT. Sementara industri/smelter besar di IMIP Morowali tidak semuanya bisa menampung ore dan NPI yang dihasilkan oleh smelter kapasitas kecil. Sehingga berpotensi mematikan smelter kapasitas kecil. Pilihan teknologi juga jadi alasan smelter/industri di Morowali (IMIP) untuk “menolak” NPI dari smelter yang lain.

Smelter Freeport di JIIPE Gresik tidak kunjung dibangun, alasannya masih terus pematangan lahan dll. Ada indikasi ini untuk mengulur-ngulur waktu, dan pada akhirnya minta relaksasi. Karena kemajuannya masik kurang dari 15%, maka kemungkinan besar tidak selesai pada tahun 2022, sementara 1 Januari 2022 tidak bisa lagi ekspor konsentrat.Pengalaman sebelumnya, apapun kebijakan yang diminta oleh Freeport “selalu dipenuhi” oleh Pemerintah

Konflik kepentingan antara Kementerian ESDM dan Kementerian Perindustrian dalam wilayah perizinan smelter akan berpengaruh terhadap masa depan smelter. Kemenperin ngotot, semua proses pengolahan dan pemurnian masuk ke rezim industri, bukan rezim pertambangan. Sementara ESDM bertahan bahwa rezim pertambangan adalah satu kesatuan dari hulu hingga ke hilir.  Konflik ini nyata dalam penyusunan DIM RUU Perubahan UU Minerba.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button