HARI-HARI ini, nyaris setiap pagi, ribuan pasang mata terpaku pada layar televisi. Bukan pada jam-jam tayang prime time yang biasa, karena kali ini bukan sinetron favorit yang disimak, melainkan jalannya sidang kasus Ferdy Sambo. Berbagai gosip berseliweran di media sosial. Mulai dari adanya kelompok-kelompok di dalam kepolisian yang mengelola bisnis-bisnis ilegal sampai pada gaya hidup petinggi kepolisian. Gaya hidup ikut tersorot karena dianggap sangat jauh berbeda dengan kehidupan kebanyakan orang-orang yang tak punya kekuasaan.
Pemandangan hukum yang diperlakukan bak sinetron itu baru terjadi pada akhir 2022. Namun, sepanjang tahun kita bisa melihat fenomena serupa dalam hukum kita: hukum serupa sandiwara yang bisa ditonton serta tak relevannya kekuasaan dengan hidup warga biasa Berwatak pembangunanisme Dalam hal pembentukan hukum, kita bisa mengoleksi cerita dari Senayan–tempat gedung wakil rakyat berada–tentang undang-undang yang dibuat minim partisipasi, dan dalam hal substansi banyak mengandung kepentingan ekonomi.
Kepentingan ekonomi yang kuat tampak setidaknya pada dua undang-undang: Ibu Kota Negara dan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Undang-Undang tentang Ibu Kota Negara diundangkan pada awal tahun ini dengan proses yang tak banyak melibatkan masyarakat, terutama masyarakat adat di wilayah yang akan dijadikan lokasi Ibu Kota Negara Nusantara. Secepat kilat, hanya dalam waktu kurang lebih tiga minggu, sebuah keputusan politik besar dibuat di Senayan. Baru-baru ini, undang-undang ini justru akan diubah karena pemerintah ingin menambah insentif agar sepinya calon investor dapat diatasi. Undang-undang lain yang dibuat dengan cepat ialah revisi Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dibuat hanya dalam waktu pembahasan di Senayan selama 6 hari. Judul undang-undang ini terdengar baik-baik saja, tetapi politik hukumnya adalah untuk memberikan landasan bagi revisi Undang-Undang Cipta Kerja. Kita masih ingat, pada penghujung 2021, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya memerintahkan DPR dan pemerintah untuk mengulang proses legislasi Undang-Undang Cipta Kerja dalam waktu dua tahun.
Dalam dua tahun ini seharusnya undang-undang itu dianggap membeku karena tidak memiliki daya ikat lantaran Mahkamah Konstitusi menyatakannya inskonstitusional. Namun, apa lacur, berbagai pelaksanaan UU Cipta Kerja terus dilaksanakan. Misalnya, dalam hal penentuan upah minimum yang merugikan buruh, pemutusan hubungan kerja massal yang terjadi belakangan ini, serta pelaksanaan proyek strategis nasional yang semakin giat dilaksanakan dengan meminggirkan hak-hak warga setempat dan merusak lingkungan. UU Cipta Kerja ini memang sangat kental dengan karakter pembangunanisme. Dengan lebih dari 1.200 pasal yang diatur, satu undang-undang ini mengubah 78 undang-undang lainnya, dengan satu tujuan: mempercepat pembangunan. Masalahnya, kata ‘pembangunan’ di sini tak bermakna kesejahteraan dan keadilan ekonomi, melainkan angka pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur.
Padahal, bila pertumbuhan ekonomi naik, pertanyaannya ialah siapa yang akan menikmati pertumbuhan ekonomi ini? Credit Suisse Global Wealth Databook 2019 mencatat, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 44,6% kekayaan nasional, dan 10% orang terkaya di Indonesia menguasai 74,1% kekayaan nasional. Begitu pula pembangunan infrastruktur, tidak boleh melanggar hak asasi manusia dan merusak lingkungan. Cara pandang pembangunanisme mengabaikan aspek-aspek kemanusiaan dan lingkungan untuk tujuan pembangunan yang hanya dinikmati oleh segelintir orang yang memiliki kekuasaan dan kekayaan. Begitu banyak kelindan kepentingan, antara penguasa dan pengusaha, dalam pembentukan hukum dengan karakter pembangunan. Ada dua mata rantai penguasa dan pengusaha dalam proses politik dan hukum.
Pertama, kepentingan langsung karena politisi dan pengambil kebijakan merangkap sebagai pemilik, atau pihak yang bisa mengambil keuntungan dari proyek pembangunan. Kedua, kepentingan pembiayaan partai politik oleh penguasa, yang dilakukan melalui pembuatan kebijakan yang dilakukan oleh partai politik di DPR dan pemerintah. Jangan lupa, kebanyakan menteri pada saat ini adalah utusan partai politik. Namun, ada cerita baik pada bulan Mei. Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) diundangkan setelah melalui proses panjang. UU TPKS mengatur soal-soal pencegahan kekerasan seksual; penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban; pelaksanaan penegakan hukum dan rehabilitasi pelaku; upaya mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual; serta upaya menjamin ketidakberulangan kekerasan seksual. Meski masih membutuhkan berbagai peraturan pelaksanaan, paling tidak sudah ada kerangka hukum yang lebih baik untuk mengatasi kondisi darurat kekerasan seksual di Indonesia.
Penegakan hukum dan celah transaksi hukum Kisah kasus Sambo yang serupa tontonan tak hanya terjadi di kepolisian. Publik juga terkejut saat ada hakim agung dan staf Mahkamah Agung yang menjadi tersangka. Kasusnya terus membesar dan membuka kembali diskusi tentang mafia peradilan. Hakim juga masuk dalam perbincangan saat hakim Mahkamah Konstitusi sekonyong-konyong diberhentikan oleh DPR dan digantikan oleh hakim pilihan DPR, yang dilakukan dengan melanggar undang-undang. Yang dapat dibaca dari proses ini ialah ancaman sistematis pada kemandirian kekuasaan kehakiman. Hakim tidak lagi bebas dalam membuat putusan karena dibayangi ancaman pemecatan. Gawatnya, mekanisme ilegal ini akan dilegalkan melalui revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang sudah diusulkan oleh DPR. Penegakan hukum juga akan diguncang dengan disetujuinya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang kontroversial pada 6 Desember yang lalu. Di satu sisi, KUHP membawa semangat pembaruan dalam hukum pidana karena ada penggantian KUHP peninggalan Belanda. Namun, di sisi lainnya KUHP 2022 masih mengandung karakter kolonialisme melalui adanya pengaturan ketertiban yang hanya menguntungkan sebagian orang, serta pembungkaman kebebasan berpendapat. Tentu saja, pada akhirnya ada tujuan ketertiban dalam hukum.
Namun, ketertiban yang seperti apa dan untuk apa? Kita mafhum, akses pada keadilan tidaklah sama. Ada pihak-pihak yang mempunya privilese sebagai kelompok mayoritas, pemilik modal, dan pemilik kekuasaan. Ketertiban adalah soal berlaku sebagaimana yang diharapkan dengan tujuan kenyamanan hidup. Di titik ini muncul pertanyaan, kenyamanan hidup siapa? Agar hidup nyaman sebagai kelompok mayoritas, perilaku dengan ukuran moralitas kelompok mayoritas selalu didorong untuk diangkat menjadi hukum negara. Begitu pula dengan kenyamanan hidup sebagai pengusaha.
Dalam situasi di mana penegakan hukum bisa dikendalikan dengan alat tukar uang dan politik, hidup orang-orang biasa akan dibuat sulit untuk kenyamanan orang yang bisa membeli penegakan hukum. Sementara itu, pembungkaman kebebasan berekspresi dalam KUHP bisa kita kaitkan dengan erat pada tekanan terhadap masyarakat sipil yang sudah terjadi belakangan ini dengan tiga cara: tekanan hukum, ancaman fisik, dan tekanan digital melalui peretasan dan doxing. Fokus pada Pemilu 2024 Rasanya tak banyak yang bisa diharapkan tahun depan. Watak pembangunanisme akan semakin terlihat, apalagi masih cukup banyak janji pembangunan Presiden Joko Widodo yang belum dipenuhi dan membutuhkan instrumen hukum. Misalnya saja, Ibu Kota Negara Nusantara yang rupanya masih kurang terlihat menarik bagi investor sehingga pemerintah memerlukan berbagai beleid baru, yang lagi-lagi hanya akan menguatkan karakter pembangunanisme. Demikian pula dorongan besar untuk melakukan reformasi kepolisian tak akan mudah diloloskan.
Pasalnya, dengan ketidakpastian konfigurasi politik menjelang 2024, politisi dan petinggi polisi enggan. Mestinya, Presiden Jokowi segera tegas memimpin reformasi penegak hukum karena ia sudah menjalani dua kali masa jabatan dan tak bisa lagi berkompetisi sebagai presiden. Namun, kita paham, politik nyatanya tak sesederhana dalam teori. Ancaman-ancaman hukum dan politik, juga besarnya wewenang hukum kepolisian, membuat banyak politisi mesti berhati-hati dengan isu reformasi kepolisian. Harapan barangkali masih bisa ditumpukan kepada publik yang berdaya dan mampu menjadikan momentum Pemilu 2024 sebagai cara untuk membongkar konfigurasi politik serta meminimalkan kelindan penguasa dan pengusaha. Selagi politisi nantinya sibuk mengurus dirinya sendiri, publik mesti tetap berupaya berpegang pada negara hukum melalui kontrol yang lebih kuat bagi politisi yang hanya berjualan janji, dan menguatkan narasi perlawanan untuk hukum yang tidak adil.