Berita NasionalReportase Nusantara

Refleksi Hari Buruh 1 Mei :Kesejahteraan Buruh di Simpang Jalan

Setiap 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh Internasional atau May Day, sebuah momentum untuk menghargai kontribusi pekerja terhadap pembangunan negara. Namun, pada tahun ini, perayaan tersebut terasa berbeda. Buruh Tanah Air sedang bergulat dengan tekanan ekonomi global yang semakin berat.

Perang dagang yang melibatkan negara-negara besar, seperti Amerika Serikat dan China, tidak hanya memengaruhi jalannya perdagangan internasional, tetapi juga merembet pada sektor manufaktur Indonesia. Akibatnya, industri-industri ini terpaksa melakukan efisiensi dengan memangkas jumlah tenaga kerja, yang berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) yang massal.

Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), sebanyak 18.160 tenaga kerja kehilangan pekerjaan hanya dalam 2 bulan pertama 2025. PHK massal ini terjadi di berbagai sektor industri, mulai dari manufaktur, tekstil, elektronik, hingga alas kaki.

Salah satu yang paling mencolok adalah pemutusan hubungan kerja di PT Sri Rezeki Isman Tbk (Sritex). Perusahaan tekstil raksasa ini mengumumkan PHK terhadap lebih dari 10.000 karyawannya setelah Pengadilan Niaga menetapkan status pailit sejak Oktober 2024. Keputusan ini menjadi pukulan telak bagi ribuan pekerja yang telah bertahun-tahun mengabdi di perusahaan yang sempat berjaya dalam industri tekstil Tanah Air.

Selain itu, PT Sanken Indonesia juga harus menghentikan lini produksinya pada Juni 2025 mendatang. Menghadapi tantangan besar untuk menyesuaikan produk dengan permintaan pasar yang semakin menurun, perusahaan ini memutuskan untuk melakukan PHK terhadap 459 karyawan. Hingga tutup secara permanen, pabrik masih beroperasi dengan utilitas 10%.

Perusahaan-perusahaan besar lainnya, seperti PT Yamaha Music hingga PT Adis Dimension Footwear,  juga ikut bergabung dalam daftar perusahaan yang terpaksa gulung tikar dan merumahkan ribuan karyawan. Yamaha yang terpaksa menutup dua pabriknya di Bekasi dan Pulo Gadung akan merumahkan sekitar 1.100 pekerja akibat menurunnya permintaan pasar.

Sementara itu, PT Adis Dimension Footwear yang sebelumnya memasok sepatu untuk merek global, seperti Nike, harus merumahkan 3.500 pekerja karena pesanan yang menyusut drastis. Baru-baru ini, pabrik alas kaki PT Yihong Novatex di Cirebon, Jawa Barat, juga ikut merumahkan 1.126 pekerja pada Maret 2025.

Kemenaker mencatat Provinsi Jawa Tengah menjadi wilayah dengan jumlah PHK terbanyak, yakni mencapai 57,37% dari jumlah tenaga kerja yang di-PHK di Indonesia. Jumlah PHK di Jawa Tengah tercatat mencapai 10.677 orang. Provinsi dengan jumlah PHK terbanyak berikutnya adalah Riau dengan 3.530 pekerja, diikuti oleh Jakarta (2.650 pekerja), Jawa Timur (978 pekerja), dan Banten (411 pekerja).

Sektor Padat Karya

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi, mengungkapkan tekanan terhadap ekonomi global dan nasional sering kali berdampak pada sektor padat karya, yang banyak menggunakan tenaga kerja. Imbasnya, ketika perekonomian terpukul, tenaga kerja juga kerap menjadi korban dengan harus kehilangan pekerjaannya.

“Produk-produk dari perusahaan domestik tidak laku di pasar karena mayoritas produk yang beredar adalah barang impor. Ini membuat perusahaan-perusahaan lokal terpaksa mengurangi jumlah pekerja mereka,” ungkapnya.

Dalam beberapa tahun terakhir, industri padat karya, terutama tekstil, sudah merasakan dampak dari persaingan dengan barang impor. Namun, lonjakan PHK baru terasa begitu perusahaan besar, seperti Sritex, memecat puluhan ribu pekerjanya.

“Lampu kuning sudah kami nyalakan sejak 10 tahun lalu. Buruh Indonesia membutuhkan jaminan perlindungan yang lebih baik, baik dari segi perlindungan pekerjaan maupun kesejahteraan,” tegas Ristadi.

Menurutnya, banyak perusahaan yang tidak melaporkan PHK yang terjadi, baik karena alasan menjaga citra perusahaan di mata bank maupun untuk kepentingan internal lainnya. Untuk itu, peningkatan transparansi dan akurasi data PHK akan menjadi langkah pertama yang krusial dalam menghadapi tantangan ini.

“Di lapangan, angka PHK yang sebenarnya lebih besar dari yang diumumkan. Oleh karena itu, sensus nasional tentang PHK perlu segera dilakukan untuk mendapatkan data yang lebih akurat. Dengan data yang tersebar dan sering tidak sinkron, kebijakan yang diambil menjadi tidak optimal,” ungkapnya.

Efek perang dagang AS-China juga memperbesar risiko meningkatnya PHK di sektor padat karya. Model simulasi dari Center of Economic and Law Studies (Celios) memperkirakan penurunan output ekonomi Indonesia akibat tarif resiprokal (tarif impor Trump) bisa mencapai Rp 164 triliun, dengan potensi kehilangan hingga 1,2 juta lapangan kerja pada 2025.

Momentum Perubahan

Peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day pada Kamis (1/5/2025) diharapkan akan menjadi momentum penting untuk memperjuangkan hak-hak buruh. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal menyebut peringatan Hari Buruh tahun ini akan menyoroti enam isu utama.

Keenam isu itu, yakni penghapusan sistem outsourcing, pembentukan Satuan Tugas Pemutusan Hubungan Kerja (Satgas PHK), pemberian upah yang layak, revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan, pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), serta pemberantasan korupsi melalui RUU Perampasan Aset. Enam isu ini dipilih sebagai bagian dari upaya memperjuangkan kesejahteraan dan perlindungan yang lebih baik bagi buruh Indonesia.

May Day 2025 adalah sebuah harapan baru untuk meningkatkan kualitas hidup buruh, yang sudah dimulai dengan keputusan kenaikan upah minimum 2025 sebesar 6,5%,” ujar Said Iqbal dalam konferensi pers di Jakarta pada Senin (28/4/2025).

Menurut Said Iqbal, potret buruh di Indonesia masih jauh dari harapan. Mayoritas buruh yang bekerja di pabrik memiliki tingkat pendidikan rendah. Sebanyak 70% buruh hanya lulus sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Selain itu, buruh Indonesia masih menghadapi masalah, seperti upah rendah, jaminan sosial yang belum memadai, serta banyaknya pekerja kontrak dan outsourcing.

“Kami berharap kebijakan pemerintah dapat memperbaiki kualitas hidup buruh dengan memberikan pendidikan yang lebih baik dan upah yang layak,” ujar Said Iqbal.

Rencananya, peringatan Hari Buruh 2025 akan dihadiri oleh sekitar 200.000 buruh dari berbagai daerah, termasuk Jakarta, Banten, dan Jawa Barat, yang akan berkumpul di Lapangan Monas, Jakarta. Acara ini akan dihadiri oleh Presiden Prabowo Subianto, Presiden Konfederasi Buruh Dunia Akiko Gono, serta sejumlah duta besar dari negara sahabat.

PR Lama

Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Elly Rosita Silaban, menilai persoalan ketenagakerjaan di Indonesia masih menumpuk. Isu outsourcing dan kontrak kerja berkepanjangan tetap menjadi momok utama yang terus diangkat dalam setiap peringatan May Day.

“Setiap tahun, buruh selalu membawa isu yang sama. Itu artinya pemerintah memiliki pekerjaan rumah (PR) yang belum pernah benar-benar diselesaikan,” tegas Elly saat diwawancarai .

Elly berharap pemerintahan Prabowo yang baru berjalan 6 bulan lebih ini bisa melihat persoalan tersebut sebagai masalah yang harus segera dituntaskan. Terkait pembahasan revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan yang sedang digodok DPR, Elly berharap suara buruh tak lagi diabaikan.

“Mudah-mudahan nanti substansi undang-undang yang baru tidak lagi mengkhianati buruh, terutama soal outsourcing dan kontrak kerja yang terus-menerus,” tambahnya.

Selain masalah umum ketenagakerjaan, Elly juga menyoroti hal khusus soal nasib buruh perempuan. Hingga kini, menurutnya, standar ganda dalam kesempatan kerja dan pengupahan masih menjadi kenyataan pahit yang harus dihadapi pekerja perempuan. Ia juga menyoroti tingginya angka PHK di sektor padat karya yang mayoritas pekerjanya adalah perempuan, terutama setelah pandemi Covid-19.

Karena itu, Elly mendesak pemerintah untuk memperluas akses modal usaha, memberikan perlindungan lebih kuat bagi pekerja perempuan, dan melibatkan mereka secara aktif dalam penyusunan kebijakan.

“Perempuan harus punya ruang untuk berbicara atas nama mereka sendiri. Mereka harus didengar. Upaya untuk memperbaikinya ada, tetapi hasilnya belum signifikan,” tegasnya.

Satgas PHK

Salah satu harapan nyata buruh pada tahun ini adalah pembentukan Satuan Tugas Pemutusan Hubungan Kerja (Satgas PHK). Rencana ini telah mendapat respons positif dari Presiden Prabowo Subianto yang meminta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, untuk segera mematangkan pembentukan Satgas PHK serta Satgas Percepatan Deregulasi Perizinan Investasi. Kedua satuan tugas tersebut diharapkan segera terbentuk sebagai langkah antisipatif terhadap ancaman gelombang PHK akibat penerapan tarif resiprokal AS.

Elly menyambut baik rencana pemerintah membentuk Satgas PHK. Namun, Elly mengingatkan bahwa langkah konkret perlu segera diambil untuk memastikan perlindungan nyata terhadap buruh.

“Satgas PHK ini penting agar ada perlindungan yang lebih maksimal terhadap buruh,” kata Elly.

Ia menekankan satgas harus melibatkan unsur tripartit (pemerintah, pengusaha, dan buruh) serta memperluas keterlibatan pihak lain, seperti BPJS Ketenagakerjaan dan kalangan akademisi, guna menciptakan perlindungan yang lebih komprehensif. Meski begitu, dia juga mengingatkan tantangan koordinasi antarlembaga tidak bisa dianggap sepele.

“Ini akan menggabungkan banyak kepentingan dalam satu tujuan. Kita perlu melihat mekanisme kerja satgas ini nantinya seperti apa,” ujarnya.

Sementara itu, pengamat ekonomi Celios, Bhima Yudhistira, menilai pembentukan Satgas PHK sangat diperlukan. Ia mencatat saat ini banyak pekerja tetap yang terkena PHK, sementara perusahaan cenderung menggantikan mereka dengan tenaga kerja magang, outsourcing, atau kontrak.

“Perusahaan beralasan untuk menekan biaya tenaga kerja, tetapi pada kenyataannya, banyak yang justru menghindar dari kewajiban terhadap hak pekerja tetap. Kondisi ini juga menandakan ada permasalahan dalam perekonomian kita, yang menyebabkan perusahaan terus mengurangi jumlah pekerja tetapnya,” jelas Bhima.

Lebih lanjut, Bhima menyoroti persoalan serius lain, yaitu banyaknya perusahaan yang tidak membayar pesangon dan sisa gaji para pekerja yang di-PHK. Lemahnya sistem pendataan tenaga kerja serta minimnya penegakan sanksi terhadap perusahaan pelanggar menjadi masalah utama.

Karena itu, Satgas PHK diharapkan mampu melakukan pendataan korban PHK, baik di sektor formal maupun informal secara akurat. Data tersebut nantinya menjadi landasan penting untuk memenuhi hak-hak pekerja yang terkena PHK.

“Satgas PHK diharapkan tidak hanya melakukan pendataan terperinci terhadap korban PHK, juga memfasilitasi mereka untuk mendapatkan peluang kerja baru. Selain itu, perlu ada pelatihan keterampilan agar para pekerja yang terdampak dapat meningkatkan kompetensi mereka dan lebih siap menghadapi dunia kerja,” ungkap Bhima.

Hapus Diskriminasi Usia

Bhima juga menyoroti diskriminasi usia terhadap pencari kerja di Indonesia yang masih marak terjadi. Pembatasan usia pelamar kerja, yang berkisar antara 25 hingga 31 tahun, membuat para korban PHK semakin sulit kembali bekerja di sektor formal. Regulasi di Indonesia saat ini dinilai masih membiarkan praktik diskriminasi tersebut.

“Batasan usia dalam rekrutmen adalah masalah serius. Banyak korban PHK kesulitan mendapatkan pekerjaan formal karena diskriminasi usia. Sudah saatnya proses rekrutmen di Indonesia menjadi lebih inklusif, terutama untuk mengantisipasi gelombang PHK akibat memburuknya perang dagang antara Amerika Serikat dan China,” ungkapnya.

Bhima menilai, Indonesia perlu mencontoh negara lain yang telah menerapkan sanksi tegas terhadap perusahaan yang melakukan diskriminasi. Beberapa negara di ASEAN, seperti Thailand dan Vietnam, telah menerapkan aturan antidiskriminasi usia.

“Di Vietnam, misalnya, perusahaan harus membayar denda ke pemerintah jika terbukti melakukan diskriminasi berdasarkan usia atau gender. Dendanya sekitar Rp 6 juta per pelamar. Bayangkan jika ada 100 pelamar, dendanya bisa mencapai Rp 600 juta. Sanksi tegas seperti ini dibutuhkan agar pekerja berpengalaman yang terkena PHK tetap memiliki kesempatan bekerja,” jelas Bhima.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), per Agustus 2024, jumlah angkatan kerja di Indonesia mencapai 152 juta orang. Dari jumlah tersebut, lebih dari 34 juta berada pada usia 30-an, sekitar 33 juta berusia 40 tahun hingga 49 tahun, dan sekitar 25 juta angkatan kerja berusia 50-an.

Bhima juga menyoroti semakin masifnya pekerja di sektor informal, seperti ojek online dan kurir, akibat keterbatasan lapangan kerja di sektor formal. Saat ini, sekitar 58% pekerjaan di Indonesia berada dalam sektor informal, yang umumnya tidak menawarkan jenjang karier maupun jam kerja yang layak, sehingga meningkatkan kerentanan tenaga kerja.

“Persaingan dalam pasar tenaga kerja pun semakin ketat. Sayangnya, belum ada solusi konkret dari pemerintah. Tingkat pengangguran usia muda (15 tahun hingga 24 tahun) di Indonesia mencapai 17,3% atau tertinggi di kawasan ASEAN. Sepanjang 2024, jumlah angkatan kerja baru bertambah 4,4 juta orang. Mereka kini harus bersaing dengan para korban PHK,” pungkasnya. (bsnn)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button