Tambang Nikel Mengancam Ekowisata di Raja Ampat

Tambang nikel mengancam keberlanjutan ekowisata Raja Ampat. Padahal pariwisata menyumbang Rp 150 miliar per tahun ke daerah. Keberlanjutan ekowisata Raja Ampat,Papua Barat Daya, terancam oleh masifnya aktivitas penambangan nikel, khususnya di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran. Indonesia Dive-tourism Company Association (IDCA) mengingatkan bahwa kegiatan tambang berisiko merusak terumbu karang dan habitat-habitat krusial di kawasan tersebut.
Tambang nikel di daerah yang dijuluki Surga Terakhir di Bumi itu memicu sedimentasi akibat tumpukan lumpur yang terbawa arus laut. Kondisi tersebut menutup sinar matahari yang masuk ke bawah permukaan laut. Akibatnya, terumbu karang dan habitat di kawasan tersebut bisa mati.
Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil dilarang. “Fakta-fakta ini sangat mengerikan. Reputasi Indonesia sebagai destinasi diving kelas dunia bisa hancur,” ujar Ketua Umum IDCA Ebram Harimurti dalam surat terbuka yang dikirim kepada Presiden Prabowo Subianto pada Ahad, 8 Juni 2025.
Ekowisata berbasis alam memiliki peran vital dalam mendukung perekonomian setempat. Pada 2024, sekitar 30 ribu wisatawan berkunjung ke Raja Ampat, dengan 70 persen di antaranya berasal dari mancanegara. Jumlahnya naik hampir dua kali lipat dibanding pada tahun sebelumnya yang sebesar 19.839 turis.
Kunjungan wisatawan tersebut memberikan kontribusi sekitar Rp 150 miliar per tahun terhadap pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Raja Ampat. Nilai ekonomi ini belum termasuk dampak tidak langsung dari sektor lain yang turut tumbuh karena pariwisata.
Meskipun lokasi tambang saat ini tidak berada di zona inti perlindungan, menurut Ebram, kawasan penambangan masuk zona penyangga yang membentang dari Pulau Kawe dan Wayag hingga jalur migrasi satwa laut.
Lumpur tambang yang terbawa arus hingga Wayag dapat menghalangi penetrasi sinar matahari di bawah permukaan laut, merusak terumbu karang, serta mengancam habitat penting, seperti jalur migrasi pari manta di Eagle Rock.
Saat ini setidaknya lima perusahaan mengelola cadangan nikel di Kepulauan Raja Ampat. Di antaranya PT GAG Nikel. Penambangan dilakukan dengan skala besar, mencakup wilayah luas, serta memiliki izin usaha dengan masa berlaku yang panjang.
GAG Nikel memiliki konsesi seluas 13.136 hektare di Raja Ampat. Mereka mendapat izin kontrak karya mulai 30 November 2017 hingga 30 November 2047.
Kepala Global Greenpeace untuk Kampanye Hutan Indonesia Kiki Taufik menjelaskan bahwa penghiliran nikel di Raja Ampat tidak hanya mengancam kehidupan biota laut, tapi juga satwa khas Papua yang hidup di kawasan tersebut. Aktivitas penambangan berisiko merusak kekayaan alam yang mencakup 75 persen spesies terumbu karang dunia, 1.400 jenis ikan karang, serta 700 jenis invertebrata moluska.
Salah satu satwa endemik yang terancam adalah cenderawasih botak (Cicinnurus respublica), atau Wilson’s bird-of-paradise, yang hanya ditemukan di wilayah Raja Ampat. “Padahal burung eksotis ini menjadi daya tarik utama bagi para pengamat burung dari mancanegara,” ujar Kiki di Jakarta Central Park, Selasa, 3 Juni 2025.
Kiki menuturkan cenderawasih botak bahkan dapat dijumpai di sekitar permukiman di Kepulauan Raja Ampat. Karena itu, keberadaannya menjadi bagian penting dari ekowisata yang memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal.
Contohnya di Distrik Waisai, tempat penduduk menyediakan banyak homestay untuk wisatawan, terutama bird watcher yang datang khusus untuk menyaksikan burung tersebut di habitat alaminya.
Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Arie Rompas mengimbuhkan, pariwisata terbukti menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat setempat. Pasalnya, banyak warga yang membuka homestay berbasis komunitas, dan aktivitas wisata turut menjaga ekosistem laut karena wilayahnya tidak dieksploitasi secara berlebihan.
Aktivitas penambangan berdampak langsung pada mata pencarian masyarakat, terutama nelayan. “Di beberapa desa seperti Salio, nelayan lobster mendapat penghasilan tinggi dari penjualan hasil tangkapan mereka. Belum lagi ikan-ikan lain yang juga dikonsumsi atau dijual,” tutur Arie, Selasa, 10 Juni 2025.
Secara fiskal, menurut Arie, kehadiran wisatawan juga memberikan kontribusi nyata terhadap PAD. Ia menyebutkan wisatawan lokal dikenai biaya sekitar Rp 1 juta per tahun, sementara wisatawan mancanegara dikenai tarif lebih tinggi. Dana tersebut masuk langsung ke kas daerah.
Arie berujar turis juga membelanjakan uang mereka di warung, restoran, dan sektor informal lain sehingga menciptakan efek ekonomi berantai yang signifikan. Karena itu, kekhawatiran masyarakat akan kerusakan lingkungan mulai meningkat, terutama dari para pelaku ekowisata, seperti pemilik homestay, operator speedboat, dan pemandu wisata yang tergabung dalam Aliansi Jaga Raja Ampat. Sebagai bentuk protes, mereka aktif menyuarakan penolakan terhadap pertambangan nikel yang masuk ke wilayah-wilayah pariwisata.
Menurut Greenpeace, jika Indonesia serius ingin mengembangkan ekonomi hijau yang berkelanjutan, pariwisata berbasis alam seperti di Raja Ampat seharusnya menjadi instrumen utama. Arief mengatakan hal ini bertolak belakang dengan pendekatan ekonomi ekstraktif, yang hanya mengeksploitasi sumber daya alam secara jangka pendek, tapi meninggalkan kerusakan jangka panjang.
“Dampaknya akan paling terasa di tingkat tapak, yakni masyarakat lokal yang selama ini bergantung pada kelestarian lingkungan untuk hidup,” ucapnya. (bsnn)