
Hari ini adalah era dimana dunia terpecah menjadi kerajaan-kerajaan maya yang diperintah oleh raja-raja yang panjang akal dan bertangan dingin, merekalah raja-raja media itu. Pada kerajaan-kerajaan ini, setiap orang bebas menjadi prajurit atau hulubalang didalamnya. Setiap orang bisa menulis apa saja yang ada didalam benak dan hatinya. Orang lain pun berhak membaca atau tidak membacanya, mengambil pelajaran, manfaat, keuntungan-keuntungan tertentu darinya, atau justru opini-opini itu mematikan dirinya sendiri secara perlahan.
Uda, salah seorang penulis lepas, menulis sebuah kisah di media online. Kisah yang dituliskannya di salah satu media nitizen itu lalu mendapat respon luar biasa dari para peselancar dunia maya. Ia menulis sebuah history tentang dirinya, teman-temannya dan apa saja yang baginya adalah baik untuk dituliskannya.
Jika anda belum pernah ke Jogja, hanya mendengar dari cerita ke cerita, dan karena itu berminat menuntut ilmu atau berniat menyekolahkan putra-putrinya di sana, ada baiknya simak dulu dengan baik fakta-fakta yang akan kubagi lewat pengalamanku ini. Tulisnya mengawali faragraf demi faragrafnya.
Aku adalah seorang dosen di salah satu PTS ternama kota ini. Aku dikenal dengan nama Uda. Mahasiswaku memanggilku dengan pak Uda. Nama itu sudah terlanjur melekat meski sebenarnya nama itu bukan nama pemberian orang tuaku. Uda adalah panggilan penghormatan untuk seorang laki-laki yang lebih tua di Minang. Nama asliku adalah Deddy Bastian. Aku lahir di Kuto Sani, Sumatera Barat, 38 Tahun lalu.
Sejak usia 13 Tahun dan hanya bermodal ijasah SD, aku merantau ke Jakarta. Di Jakarta, aku tinggal di rumah salah seorang bekas karyawan kakekku. Kakekku dulu adalah orang Kuto Sani pertama yang sukses menjadi pengusaha Rumah Makan Minang di Jakarta. Entah, mungkin karena kesuksesannya itu, kakekku menikah lagi dengan wanita lain. Sejak itu, nenekku dan anak-anaknya termasuk ibuku, tidak lagi mendapatkan hak-haknya sebagai istri dan anak-anak dari kakekku. Mereka tinggal melarat di kampung. Mungkin lantaran itu juga, ibuku yang terkenal cantik jelita jatuh sakit dan akhirnya meninggal.
Aku di Jakarta bekerja apa saja untuk sekedar bisa bertahan hidup. Mulanya aku bekerja membantu usaha warung makan yang baru dirintis oleh bekas karyawan kakekku itu. Aku di sana bekerja tidak lama. Aku lebih suka mengadu nasib di kawasan Blok M. Setiap hari aku ke sana menjadi buruh angkat atau membantu beberapa perantau Minang yang berdagang kaki lima. Waktu itu, kawasan Blok M adalah kawasan nongkrong paling top bagi anak-anak muda Jakarta.
Suatu hari, aku berkenalan dengan seorang remaja yang kira-kira dua tahun lebih muda dari usiaku. Anak itu bernama Udin. Anaknya sangat santun, badannya agak kurus tetapi penampilannya cukup bersih dan wajahnya lumayan tampan untuk ukuran orang-orang Bugis yang juga banyak kujumpai di kawasan ini.
Setiap sore Udin selalu ke Blok M. Entah apa yang dilakukannya. Ia kerap kali datang dengan masih mengenakan seragam sekolah. Tak jarang ia juga ikut menemaniku menjaga dagangan. Aku fikir, Udin pasti tinggal bersama orang tuanya di Jakarta.
“Kamu sholat, Din?”Tanyaku suatu hari saat melihat Udin keluar dari mushollah. Aku agak heran. Tabiat semacam ini adalah pemandangan langka untuk ukuran Jakarta. Aku sendiri sejak meninggalkan kampung hanya mampu bertahan 3 bulan, dan setelah itu hanya sholat jum’at yang tersisa.
“Sholat itu tiang agama, Uda” Balasnya rileks sambil memasang sepatu sekolahnya. “Uda sendiri kenapa tidak sholat” Lanjutnya tiba-tiba.
Aku hanya diam. Jujur saja, aku tak kuat menjawabnya. Aku teringat keluarga di Kampung. Aku sejak kecil terbiasa hidup dan tidur di Langgar dekat rumahku. Akulah yang selalu mengumandangkan azan tiap waktu-waktu sholat tiba.
“Hidup ini ajaib ya, Uda” Katanya lagi sambil tertawa. Mungkin ia memperhatikan keningku yang berkerut. Tapi didalam tawanya, aku merasakan ada getir yang sama dengan getir yang kurasakan.
Senja mulai merona, bias-bias merah pada ujung langit seolah mengawal matahari turun ke peraduannya. Jakarta, orang-orang semakin ramai berlalu lalang. Malam minggu bagi perantau, Blok M adalah saatnya mencari uang. Kebahagiaan adalah tergantung seberapa banyak uang kau punya. Beras, sekolah, rumah sakit dan apa saja, hanya mengenal dua aksara, naik terus.
“Sebentar balik jam berapa, Din?” Tanyaku ketika jam sudah menunjuk angka 21.00. Malam ini aku tak ikut kerja. Aku justru serasa terhipnot mengikut kemana saja Udin melangkah. Entahlah, aku merasakan ketulusan pada anak ini. Suatu rasa yang sejak di rantau tak kutemukan.
“Tergantung Da, Aku lagi menunggu seseorang tapi kok belum muncul ya, baru sejam lalu sih telatnya” Ekspresi Udin biasa saja.
“Janji ketemunya dimana, Din?
“Ya di teras Mushollah ini, Da” Jawabnya sambil matanya terus berjaga-jaga, mengamati orang-orang disekelilingnya. Aku berada disini, sama saja dengan Uda. Sedang cari nafkah, meski kerjaannya beda” Udin sekilas menatapku. Raut mukanya seperti malu-malu.
“Maksudmu?”
“Sini, Da” Udin mencondongkan kepalanya lebih merapat. Dia lalu menarik rosleting tasnya, merenggangkan satu dengan lainnya dengan kedua tangannya, maksudnya agar aku melihat sesuatu di dalamnya. Dan apa yang kulihat, diantara buku-buku sekolahnya, terselip beberapa bungkusan plastik. Plastik kecil yang biasa digunakan sebagai pembungkus obat apotik. Plastik itu berisi daun-daun kering berwarna coklat.
“Ganja? Kenapa kamu melakukan ini, Din?” Tanyaku tak sabar.
“Lebih dari sekedar kebutuhan, apalagi keinginan, inilah hidupku, Uda” Jawabnya kalem, tak lagi terlihat malu-malu.
Malam semakin larut, seorang remaja putri berparas indo mondar-mandir di depan Mushollah. Dari kejauhan seorang pria tegap berambut cepak dan berpakaian hitam-hitam terlihat mengawasinya. Udin berdiri dan berlalu dengan santai di depan gadis itu. Sekilas gadis itu pun berjalan, tetap langkahnya berlawanan arah dengan arah si Udin. Tak ada yang terjadi, biasa saja sebagaimana orang-orang berlalu lalang seperti biasa. Dan hanya lima menit si Udin telah kembali ke tempat semula.
“Itu tadi orangnya, anak pejabat, Da” Jelas Udin, singkat dan polos.
Sebuah transaksi baru saja terjadi, aku dan Udin saling pandang, saling membangun pemahaman baru, dan kami lalu berjalan meninggalkan kawasan itu.
Dari sebuah bajay yang kami tumpangi, aku terus mengikuti arah langka si Udin. Maka Pada sebuah rumah type 60 berpagar tembok tinggi dan terlihat cukup mewah diantara beberapa rumah kumuh Muara Angke, di rumah itulah muara petualangan kami malam itu. Dua buah sound Aiwa, tape deck, telephone, botol-botol bir kosong dan sejumlah asbak penuh puntung aneka jenis rokok berserakan diatas karpet diantara sofa yang tak terawat. Sungguh pemandangan ruang tamu yang baru pertama kali kutemukan.
“Kamu tinggal sendirian disini?”
“Iya, tapi mas Slamet dan teman-temannya juga kadang ngumpul disini”
“Siapa itu?“
“Ajudannya Bang Kahar”
“Daeng Kahar si Raja laut itu maksudmu?”
“Iya. Dialah yang menolongku ketika luntang lantung di pelabuhan Priok. Aku juga perantau, dari tanah bugis.”
Sejak itu, aku mulai paham apa dan bagaimana kehidupan seorang Udin yang masih remaja belia itu. Daeng Kahar, semua orang tahu, pria bugis itu adalah preman penguasa Tanjung Priok. Ganas meski terkenal suka menolong orang. Dua gelas susu hangat buatan Udin semakin melarutkan kami dalam obrolan malam itu.
“Agama, bagi orang awam adalah berita yang diwariskan secara turun temurun. Dan ia tidaklah membutuhkan ilmu atau pengetahuan untuk membuat orang percaya pada berita-berita yang dibawanya”.
“Kenapa begitu, Datuk?” Tanyaku
“Karena Ilmu dan pengetahuan, sesungguhnya adalah agama itu sendiri. Ketika Tuhan mengajarkan nama-nama segala sesuatu kepada Adam yang dengan pengetahuannya akan nama-nama itulah menjadi bukti bagi malaikat atas kelayakan manusia mengemban tugas ke-khalifah-an, sejak itulah sejarah ilmu pengetahuan dimulai. Nama-nama itulah ibu dari semua ilmu. Dari situlah elemen dasar seluruh nama, sifat dan aksi dalam alam semesta ini. Dan karena itulah, ketika wahyu pertama turun kepada Muhammad, melalui Jibril Tuhan berfirman: Bacalah! Bacalah dengan nama Tuhanmu.
Maka pangkal dari agama ini adalah pengetahuan akan nama, siapa dan bagaimana itu Tuhan. Disebut dengan istilah Makrifatullah. Tugasmu, cari tahu dan kuaklah hakikat dibalik nama-nama dan sifat-sifat Tuhan itu”. Begitulah Datukku bilang sesaat sebelum keberangkatanku ke Jakarta ini.
Oh ya, berbeda dengan pengertian suku secara umum di Indonesia, suku dalam tradisi Minang adalah serumpun keluarga atau kekerabatan dari garis keturunan ibu. Setiap suku memiliki seorang Datuk. Bagindo Chatib Rajo, Pemimpin Perguruan Silat Harimau yang sangat masyhur di daerah kami, beliaulah Datukku.
Maka ketika suatu waktu aku rindu pada kampung halamanku, begitu juga si Udin jika rindu pada kampung halamannya, sering kali kami menghabiskan malam dengan bertukar cerita tentang filosofi-filosofi tetua kami. Antara kami, keakraban itu telah begitu rekat. Teman yang saling memahami, juga sebagai kakak adik yang saling menyayangi.
“Tellabu Matanna essoe ri tenggana bitarae. Itu salah satu falsafah suku kami, artinya matahari tidak akan pernah tenggelam di tengah langit. Kalimat ini adalah kalimat yang terucap dari mulut Raja Bone, La Pawawoi Karaeng Sigeri, ketika membakar semangat rakyatnya dalam pertempuran gabis-habisan sesaat sebelum kerajaan Bone jatuh di tangan Belanda pada tahun 1905. Peristiwa itu dikenal dengan perang Rumpa’na Bone atau Runtuhnya Bone” Papar Udin.
“Kamu sendiri, bagaimana memaknai falsafah Rajamu itu” Tanyaku selanjutnya, ingin aku menggali sesuatu lebih dalam.
“Sederhana saja. Aku hanya selalu berkata pada diriku, Din, kamu tidak akan mati sebelum tiba ajalmu”. Kulihat sorot matanya, begitu yakinnya ia ketika mengatakan itu.
Sebatang kretek 234 cukuplah baginya untuk memukauku dengan kedalamannya pada budaya nenek moyangnya. Ia melanjutkan. “Salah satu kekuatan untuk menopang kelangsungan hidup masyarakat kami adalah Panggaderreng” Udin kini terlihat lebih serius.
“Panggaderreng adalah keseluruhan norma yang meliputi bagaimana seseorang harus bertingkah laku terhadap sesamanya manusia dan terhadap seluruh pranata sosial secara timbal balik dengan lima unsur pokok. Ade’, Bicara, Rapang, Wari’ dan Sara’.
Hmm, tak ada salahnya kalau aku mengetahui budaya orang lain lebih banyak, siapa tahu suatu saat bermanfaat. Pikirku. Selain itu, aku juga semakin penasaran sejauh mana pengetahuan Udin tentang budayanya sendiri. Di tanah minang, pengetahuan akan hal itu adalah syarat tak tertulis seorang perantau.
“Bisa kamu jelaskan lebih jauh?”Umpanku.
Pertama, Ade’. Ade’ adalah semua konsep orang bugis dalam dalam mengaktualisasikan diri pada kehidupan bermasyarakatnya. Contoh, dalam hal norma-norma mengenai perkawinan atau hidup rumah tangga, ada yang disebut dengan Akkalabineng. Bahkan kitab Assikalabineng tak kalah dahsyat dengan kitab Kamasutra.
Dalam hal menyangkut masalah bernegara, ada yang disebut Ade’ Tana. Sebuah konsep bagaimana Negara dan Rakyat beraksi secara timbal balik dalam melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing, dan sebagainya”
“Aku pernah mendengar bahwa dalam budaya bugis ada yang disebut Siri’. Bagaimana itu?” Tanyaku lagi.
“O iya, Siri’ itu arti harfiahnya adalah malu. Tetapi makna Siri’ dalam konteks budaya lebih berkonotasi kepada kehormatan atau Harga Diri. Ada hal-hal tertentu dimana masyarakat bugis menganggap bahwa seseorang atau sebuah keluarga tidak lagi memiliki nilai atau harga manakala sesuatu itu terusik. Contoh, jika seorang perempuan dalam sebuah keluarga dibawa lari oleh seorang laki-laki, maka untuk mengembalikan kehormatan keluarga, laki-laki pembawa lari sang perempuan itu harus dibunuh oleh pihak keluarga perempuan. Jika tidak, maka harga diri keluarga si perempuan dianggap telah ternoda. Contoh lain misalnya, seorang laki-laki yang ditampar wajahnya di muka umum, maka pilihannya hanya dua, membunuh atau terbunuh.
“Siri’ adalah kekerasan, hanya sebatas itu?”
“Oh tidak, seorang manusia bugis jika berjanji, mengikat diri dalam sebuah komitmen, diberi tanggung jawab dan sebagainya misalnya, juga adalah siri’ baginya untuk menunaikannya. Termasuk siri’ jika seseorang merantau lalu pulang tidak membawa sesuatu yang berharga”
Panjang lebar Udin bertutur tentang sejarah dan adat istiadat daerahnya, dan aku sungguh menikmatinya. Lebih dari itu, diam-diam aku bangga atas ketidak keliruanku menilai seorang Udin. Aku sungguh bersyukur. Terima kasih ya Allah, Engkau telah mengirimiku seorang sahabat.
Namun, ada satu hal yang membuat hatiku selalu bertanya, ada apa? Ketika tidak setetes pun dari barisan telaga kisah tersisa untuk kuceritakan padanya tentang keluargaku, Udin sedikitpun tak pernah cerita tentang rumah, sekolah, masa kecil atau tentang ibu bapaknya. Maka aku bertanya padanya suatu ketika.
“Puisi Ibu yang dibawakan Iwan Fals tadi benar-benar membuat kita merinding ya, Din? Nih mataku sampai bengkak” Kataku sambil menoleh kepada Udin yang duduk disisi kanan.
Dinihari itu kami menghabiskan waktu sambil menunggu adzan subuh di sebuah angkringan kaki lima. Kami baru saja menonton sebuah konser musik amal di pelataran Monas. Sebuah trotoar yang sekaligus tempat para pedagang asongan tertidur jika tak kuat lagi menahan kantuk itu menjadi pilihan bagi kami duduk bersila tanpa alas, Jaraknya kira-kira tiga meter dari belakang angkringan tadi. Segelas kopi kami pesan untuk kami berdua. Kami sudah terbiasa seperti itu. Alasan logisnya, ngirit, atau karena sama sekali telah habis.
“Iya, aku juga. Aku juga sedih” Jawabnya datar tanpa melirik kepadaku. Aku pun bercerita, mencurahkan banyak hal yang selama ini tak sempat tercurah, padanya.
“Din. Aku telah berjanji pada diriku untuk tidak pulang kampung sebelum sukses di rantau ini. Kelak, jika aku telah memiliki sebuah warung makan sendiri, aku akan berziarah ke makam ibuku, aku akan menjemput adik-adikku. Mereka harus sekolah yang tinggi”
Aku terus bercerita sambil pikiranku menerawang tentang segala rencanaku kedepan. Udin terlihat menikmatinya.
“Kamu tidak pernah berkirim surat kepada ibumu, Din?” Tiba-tiba saja terbetik pertanyaan itu. Sesungguhnya aku memang penasaran tentang hal satu ini. Beberapa kali Udin menemaniku ke kantor pos tapi sekalipun tak pernah kulihat ia berkirim sesuatu.
Tak ada jawaban.
“Kamu tidak pernah berkirim surat kepada ibumu?” Sekali lagi aku bertanya.
Jakarta lengang, orang-orang sedang tertidur sekadar jeda semenit untuk kembali menggendong lelah yang entah kapan ada akhirnya. Lantunan ayat suci al-Qur’an sayup-sayup terdengar dari menara-menara masjid. Ritme-ritme mistis yang ku yakin akan menyelinap masuk pada siapa saja yang di dadanya masih ada setitik iman. Terasa sekali, betapa sepi..
“Din, kamu baik-baik saja, bukan?”
Aku kini berdiri sambil berbalik ke arah Udin. Dan apa yang kulihat? Seorang anak muda tegar yang mata kepalaku pernah melihatnya menampar seorang pria besar bertato di pasar glodok lantaran memalak seorang ibu kuli angkat, kini lunglai dengan kepala tertunduk dan kedua tangannya menutupi wajahnya, tersungkur lemas diatas kedua lututnya. Persis seorang gadis suci yang keperawanannya terenggut paksa lalu ditinggal pergi begitu saja.
“Hey, kamu kenapa, Din??”
Temaram lampu-lampu tugu monas tak mampu menyembunyikan lara yang sekuat tenaga telah berusaha disembunyikannya itu. Seluruh tubuhnya berguncang seperti sebuah beton bendungan yang bergerak sedikit demi sedikit sebelum pecah tersapu oleh banjir. Batinku dapat mendengar nelangsa seorang bocah yang kehilangan orang yang paling dicintainya. Sebuah luka yang kurasa lebih duka dari apa yang kurasa saat kematian ibuku. Dan sungguh menyungailah air mata itu.
Aku memeluknya. Kupeluk sekuat tenaga dengan segenap kedewasaan yang kupunya. Menangislah, menagislah jika memang hanya itu jalan keluarnya, sahabat! Sejak peristiwa itu, aku tak pernah lagi berniat menanyakannya.
Aku hijrah ke Jogja ini karena Udin jugalah yang mengawalinya. Suatu hari Udin harus meninggalkan Jakarta dan pindah ke Jogja mengikuti ujian Paket C dan selanjutnya kuliah. Daeng Kahar, si Robin Hoodnya itu, ditangkap oleh Bakortanas dengan tuduhan pemerasan pada kapal-kapal asing di pelabuhan Priok. Melalui mas slamet, bang Kahar menitip sejumlah uang dan meminta Udin meninggalkan Jakarta. Udin pun memilih Jogja.
Waktu bergulir, kurang lebih setahun setelah di Jogja, gaya hidup Udin mulai berubah. Jika di Jakarta ia bersekolah sambil berjualan ganja tetapi tetap rajin sholat, maka satu tahun belakangan ini Udin telah bersih dari benda haram itu tetapi juga tidak pernah lagi melaksanakan sholat. Bahkan membaca surah al-Kahfi di setiap malam jum’at yang sebelum ini wajib baginya, juga tak pernah lagi di lakukannya.
“Lenin, sesaat sebelum oktober 1917, sesudah ia memperhatikan materialisme dialektis dan menganalisis pertentangan kelas dalam sejarah dunia dan sejarah Rusia, mendesak para pengikutnya untuk mengambil alih pemerintahan” Kata Udin suatu hari.
“Alasannya?”Tanyaku.
“Setidaknya ada empat hal alasannya; Pertama, suasana revolusioner, dalam hal ini keadaan ekonomi-politik memang cukup, kedua, partainya sangat solid dan berdisiplin keras, ketiga, seluruh rakyat Rusia memang sudah berada dibawah pengaruh partai komunis, dan yang ke empat, musuh di dalam dan di luar Rusia sedang bersitegang. Persis kondisi republik ini saat ini” Paparnya, bak seorang pakar politik.
Memang semenjak di kota gudeg ini, Udin terlihat lebih banyak serius. Hari-harinya dihabiskan dengan membaca buku-buku beraliran kiri. Karl Marx, Lenin, Che Geuvara, Tan Malaka, Soekarno, Pramoedya atau sejenisnya, tiba-tiba menjadi idola dan referensi pemikiran-pemikirannya. Satu-satunya ciri khas yang masih kulihat padanya adalah semangatnya yang menyala-nyala ketika kami diskusi-diskusi politik. Jika diskusi telah memanas, maka dengan keyakinan yang puncak, pasti akan keluar kalimat saktinya; “Rezim Soeharto pasti tumbang, tak lama lagi”
“Itu utopis banget, Din! Merobohkan setan yang berdiri mengangkang. Logikanya dimana?” Debat Hary, suatu malam di teras kontarakan kami. Hary adalah blasteran Dayak-Jawa, anak fakultas kedokteran.
“Revolusi besar dimanapun di dunia ini tak pernah digerakkan oleh lebih dari 5 persen jumlah penduduknya. Tidak di Prancis, di Soviet, lebih-lebih Revolusi Muhammad di tanah Arab. Apanya yang utopis?” Tanggap Udin, tak mau kalah.
“Luruskan cara berpikirmu, Din! Orde Baru telah 30 tahun mengutak-atik negeri ini. Bahkan berapa jumlah nyamuk dalam kolom ranjangmu pun mereka tahu. Faham?” Balas Hary sengit.
“Begini, Ry” Nada bicara Udin menurun, bicaranya pelan, namun tatapan mata elangnya seperti menembus ke jantung Hary.
“Kau ingat kawan kita Roy yang dua hari lalu masih bersama kita lalu kemarin siang kita semua menangis menyaksikan otaknya berserakan dibawah ban bus patas itu, kan? Kau ingat si Dea, gadis manis lincah yang tiba-tiba tubuh langsingnya kaku membiru di discotik basement itu, kan? Si Bombong yang mati saat diksar, pacar Dodi yang aborsi, Si Anu yang sedang sholat, atau para jamaah haji yang mati saat wuquf? Hal apa sih yang paling ditakuti manusia di dunia ini, mati, kan? Dan semua orang juga mati, bukan?”
Hari terdiam. Alex, Dian, Yamin, Yogi, Acil, yang malam itu hadir, semua terdiam. Mata Udin memerah pertanda dia sedang serius bercampur marah. Tapi tidak, kali ini Udin tidak marah. Ia hanya benar-benar sedang serius.
“Coy” lanjut Udin dengan suara semakin rendah sambil memegang dan mengguncang bahu Hary. Tatapannya semakin tajam menusuk hingga ke dalam mata hati kami semua.
“Ente mau mati seperti Roy, si Dea, si Bombong, pacar Dedi, si Anu atau atau para jemaah haji itu, itu terserah Ente. Tapi salahkah aku jika mati sebagai seorang pejuang menjadi pilihanku??”
Sejenak ruangan menjadi hening. Dan seperti ketika membakar semangat massa demonstran yang kerap dilakukannya, tiba-tiba Udin meloncat, berdiri dengan tangan kanan terkepal mengacung ke atas. Suaranya menggelegar, melengking tinggi dengan mata melotot seolah seekor rajawali hendak menerkam seekor cobra.…. “Rakyat bersatu tak bisa dikalahkan!!”
Memang, jika sedang tidak ada aksi turun jalan, diskusi, debat, bedah buku, nonton bareng rekaman aksi-aksi demo dari berbagai tempat yang dikirim oleh kawan-kawan, adalah menu sehari-hari bagi penduduk rumah kontrakan kami. Kala itu, hampir setiap hari terjadi penculikan mahasiswa. Mereka dipaksa untuk bercerita tentang pergerakan mahasiswa dalam menuntut lengsernya Soeharto. Mereka yang bungkam, para aparat tidak segan-segan menggunakan pukulan, tendangan, cambukan hingga menempel alat penyetrum listrik untuk memaksa para aktivis itu buka mulut.
Bagi para aktivis yang tidak terlalu frontal, selalu ada tawaran menarik, dipenjara atau dibebaskan berikut dengan segala fasilitas lalu menjadi mata-mata aparat. Tetapi bagi para aktivis yang militansinya tak dapat dibeli, penghilangan paksa adalah jawabannya. Mereka yang banyak hilang adalah aktivis HAM, penyair, dan aktivis mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah.
Oh ya, ini penting juga (semoga saja kawan-kawan sesejarah itu membaca tulisan ini), kami yang tinggal di rumah itu berlima. Yamin asal Aceh kamar depan, Bumi asal Palembang di kamar tengah, disebelahnya ada Yogi anak Lampung dan aku bersama Udin berdua di kamar belakang. Dan satu lagi, dari lima orang penghuni rumah itu, empat diantaranya masing-masing kuliah di satu kampus yang sama tetapi berbeda fakultas. Aku sendirilah yang tidak kuliah. Aku tetap berdagang seperti halnya ketika masih di Jakarta.
Bangunan rumah itu cukup sederhana dan tidak berplafon. Terdiri dari empat kamar, satu ruang tamu kecil, ada ruang dapur dan kamar mandinya terpisah dari rumah induk di bagian belakang. Juga ada sebuah teras yang cukup luas di bagian depan, kami sering menyebutnya sebagai beranda inspirasi.
Rumah kontrakan kami itu letaknya kira-kira 3 kilo meter dari Malioboro atau pusat kota. Rumah tak berpagar itu milik seorang bapak yang sehari-harinya adalah pengrajin kulit tetapi semenjak aktif mengikuti kampanye Mega Bintang jelang pemilu 1997, ia kurang menekuni lagi pekerjaannya itu. Waktu aku tanya kemana saja beliau selama ini, dia hanya bilang “Wah, mas, sekarang ini lebih bagus nongkrong di Malioboro” Memangnya kenapa pak? “Sebentar lagi akan ada penjarahan toko-toko Cina.”Jawabnya sambil mengedipkan sebelah matanya padaku.
Hmm.. masih tentang rumah kami, (agak panjang memang jika cerita tentang rumah ini). Selain para penghuninya yang membutuhkan bab-bab tersendiri jika ingin mengurai sisi-sisi unik kehidupan masing-masingnya, kelima nama tersebut diatas hanyalah penghuni yang kebetulan ikut terlibat dalam administrasi pembayaran rumah. Masih ada 4 kesebelasan lain sebagai penghuni-penghuni siluman.
Hal istimewa dan pasti membuat orang yang melewati gang sempit tempat rumah kami itu tergoda berlama-lama memandangnya adalah karena meski kawasannya cukup padat, tetapi khusus di seberang jalan depan rumah, tersisa sebidang tanah kosong memanjang berupa sawah yang selalu menghijau dan cukup luas.
Manakala memandang dari teras rumah kami, pandangan kita pasti akan terbentur pada tembok-tembok yang merupakan dinding belakang rumah-rumah kost. Salah satunya adalah sebuah dinding beton panjang dan kokoh namun menyisakan sebuah balkon mini berukuran 3×7 meter pada bagian belakang lantai duanya. Hakkul yakin, balkon mini kost putri itulah salah satu magnit yang membuat kami betah bertahun-tahun di rumah itu. Jika pagi atau sore, sebuah teropong milik si Yamin yang anak ilmu komunikasi itu, pasti sangat berguna.
Sawah, beranda inspirasi, balkon mini, dan satu lagi; seluruh dinding rumah kami berwarna pink dimana pada tiang penyangga terasnya terdapat sebuah tulisan. “PINK HOUSE” (Konon, bagi mereka yang pernah tidur atau sekedar ngeceng di rumah itu akan mengalami dua situasi bila mengingatnya, Senyum lalu merasa kehilangan atau menangis bahagia karena rindu).
Sory sudah terlalu jauh, mari kita kembali ke cerita pokok. Kecuali Udin, awalnya kami semua tidak tertarik dengan dunia pergerakan. Udinlah yang sedikit demi sedikit menaruh virus ke otak-otak kami hingga akhirnya kami pun mahir berintifadah dalam aksi-aksi demonstrasi.
Satu hal yang selalu aku tangisi dari seluruh cerita diatas, hingga detik ini setelah 22 tahun usia reformasi, Udin si anak rantau itu, yang telah mempertaruhkan seluruh hudupnya demi tumbangnya Orde Baru, tak lagi pernah kudengar beritanya, Ia hilang tiga hari sebelum Soeharto lengser.
Untukmu dimanapun dan bagaimanapun keadaanmu kini, bahkan jika kau telah membusuk di bawah tanah kuburan sana, sahabat……. ijinkan aku terus mengenangmu. Kau adalah pahlawanku………“Selamat Ulang Tahun” (Ponre Waru, 18 Nopember 2022)