Modal Penulis Papua Barat Dalam Arena Produksi Sastra Indonesia
(Dalam Pendekatan Sosiologi Kultural Bourdieu)
- Pendahuluan
Seperti halnya di wilayah lain di Indonesia, arena produksi sastra Indonesia sudah dapat dicermati dalam waktu lebih dari dua dekade di Papua bagian barat. Arena produksi tersebut direbut dan dikuasai oleh sastrawan demi mempertahankan legitimasi simboliknya. Ada beberapa orang sastrawan, baik itu orang asli Papua maupun pendatang, yang telah mendekati, memasuki, dan mempertahankan eksistensinya dalam arena produksi sastra tersebut. Semua elemen (strategi, habitus, dan modal) dimanfaatkan dalam arena produksi sastra demi mempertahankan legitimasi simbolik mereka. Istilah “arena produksi sastra” mengkin masih terdengar asing bagi kita. Olehnya, sebelum membahas lebih jauh tentang arena produksi sastra di Papua Barat, saya akan menjelaskan sedikit tentang istilah “arena produksi sastra” tersebut. Bourdieu (2015:22) mengemukakan bahwa arena produksi kultural, dalam hal ini ranah sastra, merupakan tempat bagi pergulatan-pergulatan. Hal yang dipertaruhkan di dalamnya adalah kekuasaan untuk mengimposisi/memaksakan definisi dominan tentang penulis, dan karenanya, kekuasaan untuk membatasi populasi yang berhak ambil bagian di dalam pergulatan mendefinisikan penulis tersebut. Artinya, arena dimanfaatkan oleh penulis sebagai agen menjadi ruang untuk menghasilkan suatu struktur sosial.
Selanjutnya, Johnson (2015: vii-xiix) menguraikan, konsep-konsep Bourdieu dalam teori arena produksi kultural. Seperti konsep dalam arena produksi kultural, arena produksi sastra juga memiliki konsep arena, trajektori, habitus, modal, agen, selera kelas, kuasa simbolik, dan praktik. Seperti halnya arena yang lain, konsep arena, dalam hal ini adalah arena sastra atau seni merupakan arena kekuatan (a field of forces) sekaligus pergulatan (a field of struggle). Karena arena pergulatan cenderung mengubah ataupun melanggengkan arena kekuatan ini. Hal ini berarti bahwa dalam proses bersastra atau berkesenian, semua agen bertarung di dalamnya. Konsep selanjutnya adalah konsep habitus. Konsep habitus secara sederhana dipahami adalah aktivitas bermain, dan juga pendidikan masyarakat dalam arti luas. Pembelajaran itu terjadi secara halus, tidak disadari, dan tampil sebagai hal wajar, sehingga seolah-olah sesuatu yang alamiah, seakan-akan terberi oleh alam. Habitus dalam arena sastra merupakan identitas pengarang yang fokus pada cara pengarang atau proses kreatifnya untuk masuk dan bertahan dalam arena sastra. Modal secara sederhana merupakan segala sesuatu yang dapat dipertaruhkan oleh agen dalam arena. Modal yang dimaksud oleh Bourdieu dalam hal ini tidak selalu berbentuk materi (modal ekonomi), tetapi berupa modal simbolik, modal kultural, dan modal sosial. Agen adalah pihak-pihak yang mempertaruhkan modal-modalnya dalam arena. Pergulatan dan pertarungan dalam arena bertujuan untuk mempertahankan atau merebut legitimasi kekuasaan. Kekuasaan yang diperebutkan dalam arena bersifat simbolik sehingga disebut dengan kuasa simbolik. Proses terjadinya atau mekanisme kuasa simbolik ini berlangsung melalui doksa, karena doksa adalah kepercayaan atau paham yang diterima apa adanya sehingga kuasa simbolik dapat berlangsung dan mengarahkan cara pandang agen pada arena.
- Pembahasan
Penjelasan tentang terminologi “modal” sudah dijelaskan pada bagian pendahuluan. Selanjutnya, agen dan modal penulis di Papua Barat dalam arena produksi sastra Indonesia di Papua Barat.
- Lovernia Hay
Lovernia Hay tinggal di Borasi, Manokwari, Papua Barat. Ia juga aktif di organisasi Pemuda Katolik Komisariat Cabang Tambraw dan pernah aktif menulis di Majalah Selangkah Papua. Untuk menembus arena produksi sastra Indonesia di Papua Barat, setidaknya ia memiliki beberapa modal. Modal tersebut adalah modal kultural dan modal sosial. Modal kultural ia peroleh dari lingkungan keluarga dan pendidikannya, begitupun dengan modal sosialnya. Ia memperoleh modal sosial tersebut saat berkuliah dan aktif di organisasi Pemuda Katolik Komisariat Cabang Tambraw. Sedangkan habitus menulisnya terbentuk saat aktif menulis di majalah Selangkah.
- Yayank Maulana
Yayank Maulana adalah penulis yang telah menerbitkan buku, antara lain Cinta dalam Pena dari Timur Indonesia; Rembulan dalam Sarabba; Antologi Puisi Kamulah Titik Rindu; Antologi Cerpen Sisi-sisi Manusia; Birai Kehidupan; Hujan dan Secangkir Kopi; Aku, Kamu, dan Cinta. Untuk menembus arena produksi sastra Indonesia di Papua Barat, ia memiliki beberapa modal. Modal tersebut adalah modal kultural dan modal sosial. Modal kultural ia peroleh dari lingkungan keluarga dan pendidikannya, begitupun dengan modal sosialnya. Ia memperoleh modal sosial tersebut saat berkuliah dan dalam pekerjaannya.
- Mei Iin Indarwati
Mei Iin Indarwati terlahir pada 2 Mei di Magelang. Namun, sejak berusia 3 tahun pindah ke Papua bersama keluarganya. Semua jenjang pendidikan formalnya mulai dari SD sampai perguruan tinggi ia tempuh di Papua. Ia pernah bekerja sebagai tenaga pengajar di SMK Ampari Jayapura pada tahun 2000—2008. Ia pindah ke Wasior, Teluk Wondama, pada tahun 2009. Ia bersama suaminya sempat mengajar di SMK Perikanan dan Kelautan Aitumieri Kampung Warwai. Untuk memasuki arena produksi sastra Indonesia di Papua Barat, ia memiliki beberapa modal. Modal tersebut adalah modal kultural dan modal sosial. Modal kultural ia peroleh dari lingkungan keluarga dan pendidikannya, begitupun dengan modal sosialnya. Ia memperoleh modal sosial tersebut saat berkuliah dan bekerja sebagai guru.
- Maria Rosse Lewuk
Maria Rosse Lewuk lahir di Maumere, 17 September 1975. Saat ini ia menetap di Manokwari, Papua Barat. Ia adalah ibu rumah tangga dengan dua orang putra. Karya-karyanya yang sudah terbit menjadi buku antara lain Antologi Penyair NTT (2016); Antologi Kawan Antara Sunyi (2017); Antologi Najwa Tanya Papua (2018); Antologi Asmat, Mimpi yang Tersita (2019); dan Sketsa Rindu (2020). Ia juga bergiat dalam Komunitas Rimba Manokwari. Untuk memasuki arena produksi sastra Indonesia di Papua Barat, ia memiliki beberapa modal. Modal tersebut adalah modal kultural, modal simbolik, dan modal sosial. Modal kultural ia peroleh dari lingkungan keluarga, begitupun dengan modal sosialnya. Ia memperoleh modal sosial saat bergiat dalam Komunitas Rimba Manokwari. Dengan menghasilkan beberapa buku antologi, ia telah memiliki modal simbolik sebagai salah seoran penyair perempuan di Papua Barat.
- Johanz Kabes Valkason (Yohanes Kabes)
Johanz Kabes Valkason lahir di Fakfak, 7 April 1997. Selain aktif menulis, saat ini ia masih berstatus mahasiswa Sastra Inggris di UNIPA Manokwari. Ia telah menulis buku berjudul Hujan Kabut dan Catatan Kecil Tentang Hati bersama Wiama Bali pada tahun 2019. Untuk memasuki arena produksi sastra Indonesia di Papua Barat, ia memiliki beberapa modal. Modal tersebut adalah modal kultural, modal simbolik, dan modal sosial. Modal kultural ia peroleh dari lingkungan keluarga, begitupun dengan modal sosialnya. Ia memperoleh modal sosial dan modal simbolik saat bergiat dalam komunitas penulis di Universitas Negeri Papua Manokwari. Dengan adanya komunitas penulis tersebut, keberadaan Johanz Kabes semakin kuat dalam arena produksi sastra Indonesia di Papua Barat. Habitusnya yang terbentuk di kampus akan mendukung Johanz Kabes untuk masuk dan bertahan dalam arena sastra Indonesia Papua Barat. Modal kultural dan sosial yang mungkin dimilikinya akan dipertaruhkan dalam arena sastra tersebut.
- Wiamabali (Maria Menai)
Wiamabali adalah penulis puisi. Ia menulis antologi puisi Hujan Kabut dan Catatan Kecil Tentang Hati bersama Johanz Kabes Valkason pada tahun 2019. Untuk menembus arena produksi sastra Indonesia di Papua Barat, ia memiliki beberapa modal. Modal tersebut adalah modal kultural, modal simbolik, dan modal sosial. Modal kultural ia peroleh dari lingkungan keluarga, begitupun dengan modal sosialnya. Ia memperoleh modal sosial dan modal simbolik saat bergiat dalam komunitas penulis di Universitas Negeri Papua Manokwari.
- Penutup
Tulisan ini memang hanya memaparkan secara singkat terkait modal sastrawan dalam arena produksi kultural sastra Indonesia di Papua Barat. Tentu saja, tulisan ini belum menyajikan analisis yang mendalam dan menyeluruh melalui pendekatan sosiologi kultural yang lengkap. Oleh karenanya, tulisan ini akan senantiasa dikembangkan mengikuti dinamika sastra Indonesia di tanah Papua dari waktu ke waktu. Dunia kesastraan di tanah Papua adalah topik yang menarik untuk terus diperhatikan, dibahas, dan dikaji. Mengingat, topik ini memiliki keterkaitan erat dengan dunia literasi di Papua.
Penulis Ummu Fatimah Ria Lestari, Widyabasa Ahli Madya Kemendikbudristek