Mekanisme politik bangsa Indonesia sampai saat ini telah mengalami dinamika yang berkali-kali, sejak Orde Lama hingga Reformasi. Ibarat gelombang laut yang terkadang mengalami pasang surut, menggulung, hingga memuncak. Dalam era reformasi saat ini, dinamikanya semakin mendekati iklim yang lebih demokratis mesti kita disadarai bahwa dibalik itu ada transisi. Dinamika arah transisi demokrasi sangat tergantung pada kompleksitas problematika yang menyertai dinamika demokrasi tersebut, diantaranya transisi dalam sektor ekonomi, dan transisi relasi pusat-daerah.
Demokrasi semestinya mengandung makna pemberdayaan politik masyarakat sipil. Dalam karya Diamond dan Linz, dirumuskan tiga indikator dalam mengukur tingkat demokrasi, yakni: (1) adanya kontestasi yang nyata dalam konteks yang luas (individu dan kelompok) untuk meraih posisi atau kedudukan politik tanpa menggunakan tekanan dan kekerasan; (2) adanya keikutsertaan pemilih dalam konteks yang luas; dan (3) adanya kebebasan sipil dan politik yang kondusif untuk menjamin terciptanya kualitas kontestasi dan partisipasi politik yang bebas (Lipset, 2007).
Harapan Publik
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan sebuah agenda politik yang dilakukan secara periodik di Indonesia untuk memilih kepala daerah seperti gubernur, bupati, dan walikota. Pilkada merupakan salah satu cara untuk menentukan pemimpin yang akan memimpin suatu daerah dalam periode tertentu. Kareananya pilkada merupakan sinyal sosial politik yang memberi penguatan di level akar rumput, dimana adanya pengembalian hak dasar masyarakat dengan memberikan kewenangan dalam proses rekrutmen politik lokal secara demokratis. Sebagai hasilnya, tentu pilkada dapat mempengaruhi arah politik suatu daerah dan memiliki implikasi yang signifikan terhadap kehidupan masyarakat setempat. Selain itu, Pilkada juga menjadi ajang untuk masyarakat memilih pemimpin yang dianggap dapat memperjuangkan kepentingan daerah. itulah mengapa dalam pilkada sering terjadi peningkatan partisipasi masyarakat terutama di daerah-daerah yang memiliki persaingan yang sengit. Inilah yang mesti disadari bersama, betapa publik mengangantungkan harapan sehingga mesti proses pestanya dijaga dan dirawat agar tetap berlangsung secara fair dan demokratis.
Tantangan Pilkada
Tidak dapat disangkal bahwa pelaksanaan Pilkada langsung telah membawa bangsa Indonesia selangkah lebih maju dalam pelaksanaan demokrasi. Meskipun di sejumlah daerah Pilkada berjalan aman dan lancar, namun sejumlah daerah lain tak urung meninggalkan jejak-jejak masalah. Sjamsuddin dalam Pradhanawati (2005) menegaskan bahwa terdapat dua faktor yang dapat memengaruhi sukses tidaknya Pilkada, yaitu faktor kuantitas dan kualitas pemilih serta faktor organisasi penyelenggara. Kuantitas pemilih menyangkut tentang hak masyarakat untuk mendapat dan diberi kesempatan memilih dan dipilih, sedangkan aspek kualitas pemilih yaitu menyangkut tentang kesiapan pemilih dalam melaskanakan hak pilihnya. Karenanya masyarakat perlu mendapatkan informasi tentang mekanisme pilkada langsung, agar mereka dapat melaksanakan proses pemilihan dengan baik dan benar. Faktor organisasi penyelenggara yakni netralitas dan profesionalitas penyelenggara yang bebas dari intervensi dan kepentingan politik dari pihak mana pun dalam proses pilkada tersebut.
Beragam isu (bahkan praktik) yang yang mewarnai dinamika pilkada di Indonesia yang tentu menjadi kekhawatiran bersama. Isu politik uang sekaligus merupakan salah satu isu terbesar dalam Pilkada di Indonesia, dimana calon berkompetisi menggunakan alat (uang) untuk memenangkan dukungan masyarakat bahkan membeli suara dalam pemilihan. Kedua, isu kekerasan politikyang dapat terjadi dalam bentuk intimidasi, penyerangan fisik, atau tindakan kekerasan lainnya. Ketiga, persaingan politik yang intens terutama di daerah-daerah yang memiliki basis dukungan politik yang kuat untuk masing-masing calon yang menyebabkan polarisasi masyarakat, konflik antar kelompok, dan ketidakstabilan politik di daerah tersebut; Keempat, keterlibatan aparat juga menjadi isu yang seringkali terkait dengan Pilkada yang menyebabkan kerugian pada proses demokrasi dan memperburuk isu-isu seperti politik uang dan kekerasan politik.
Pilkada Serentak
Pemilukada serentak di tahun 2024 yang merupakan perintah UU Nomor 10 Tahun 2016 dan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentu memiliki tantangan yang lebih berat khususnya kepada penyelenggara. Penyelenggara Pemilu akan menanggung beban kerja yang jauh lebih berat dibanding Pemilu dan Pilkada sebelumnya. Betapa tidak, pemilihan 5 tingkat pemimpin yang meliputi presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota akan digelar secara bersama-sama di seluruh daerah. Beberapa dampak akan terjadi jika Pilkada dilaksanakan pada tahun 2024. Pertama, beban kerja penyelenggaraan Pemilu yang begitu besar sehingga menuntut kualitas penyelenggara dan penyelenggaraan Pemilu. Kedua, bagi masyarakat cenderung kebingungan untuk memilih karena adanya banyak pilihan dan nantinya pemilu daerah akan kehilangan sorotan dari masyarakat, karena masyarakat lebih tertarik untuk memilih presiden. Ketiga, pemangkasan masa jabatan kepala daerah sehingga janji politik ataupun tuntutan publik belum terpenuhi karena harus berhenti sebelum masa jabatan berakhir.
Namun demikian, penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada secara serentak dapat dikatakan sebagai kemajuan demokrasi di Indonesia. Sebagai hal baru tentu akan menimbulkan beberapa potensi kerawanan sehingga perlu mendapat perhatian serius. Tidak hanya diserahkan ke penyelenggara, tetapi semua sebagai stakeholders. Semoga berjalan lancar sesuai harapan kita semua.
Penulis adalah Penggiat Kepemiluan