Berita Nasional
PHK Masih Merajalela Tanda ‘Tech Winter’ Belum Rampung, Kok Bisa?

Sederet perusahaan besar hingga rintisan atau startup terpantau masih melakukan pemangkasan karyawan dengan pemutusan hubungan kerja (PHK). Tidak hanya di dalam negeri, perusahaan global pun turut melakukannya.
Sebut saja perusahaan teknologi raksasa sekaligus induk Google, Alphabet, baru saja memangkas 12.000 karyawan. Selain itu, salah satu kantor akuntan publik terbesar di dunia, Deloitte, juga PHK 1.200 karyawannya.
Di Indonesia, startup yang bergerak di bidang e-grocery, PT Kreasi Nostra Mandiri dan afiliasinya atau Sayurbox juga memangkas karyawannya di awal April ini. Lalu, apa penyebab tren PHK masih berlangsung hingga kini?
Pengamat Teknologi dan Direktur Eksekutif ICT Institute, Heru Sutadi, menyebutkan kondisi tech winter atau musim dingin bagi perusahaan teknologi memang belum bisa dikatakan selesai.
Hal ini, menurut dia, diperparah dengan krisis perbankan yang terjadi di Amerika Serikat (AS) seperti Silicon Valley Bank (SVB) sehingga pendanaan bagi perusahaan terutama startup masih seret.
“Sulitnya pendanaan baru startup dan kompetisi aplikasi yang sudah ketat, sehingga yang tidak kuat bertahan akan mundur atau gulung, atau minimal rasionalisasi pengurangan karyawan dan fasilitas karyawan,” ujarnya kepada kumparan, Rabu (26/4).
Heru menyebutkan, kondisi ekonomi makro di seluruh dunia juga masih tidak menentu akibat konflik geopolitik yang masih berlangsung dan efek pandemi COVID-19.
“Ekonomi dunia juga masih tidak menentu. Dampak konflik Rusia-Ukraina masih panjang, ekonomi dunia juga belum pulih dari COVID-19 yang berjalan 3 tahunan, sementara daya beli masyarakat juga menurun,” jelas dia.
Senada, Direktur Center of Law and Economic Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menjelaskan banyak startup memiliki bisnis model yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasca pandemi COVID-19 sehingga tutup permanen atau melakukan perubahan arah bisnis (pivot).
“Pasar digital memang besar di Indonesia, tapi untuk jadi pemain utama harus bakar uang, kasih promo diskon terus menerus. Mana bisa pemain baru masuk ke pasar yang sudah berdarah,” tegas dia.
Bhima melanjutkan, perubahan pola konsumsi masyarakat juga punya pengaruh signifikan, contohnya kegiatan belanja barang online selama pandemi, namun saat pandemi reda, masyarakat menggeser konsumsi ke leisure atau aktivitas rekreasi.
“Belanja sambil jalan-jalan, atau pengeluaran hotel restoran yang naik pesat. Alhasil pengalaman belanja online sebagian ditinggalkan,” tuturnya.
Dia menambahkan, faktor lain karena sulitnya mencari pendanaan baru karena investor cenderung selektif, apalagi sejak kejadian runtuhnya SVB dan penurunan saham beberapa modal ventura berefek ke Indonesia.
“Padahal sebagian besar pendanaan startup di Indonesia didominasi investasi asing,” pungkas Bhima. (k15)