Ketua LMRI Komwil Sultra Desak Kementerian ESDM Kembalikan Kewenangan Provinsi Untuk Perizinan Usaha Pertambangan
Rusmin Abdul Gani : Butuh Regulasi dan Kesiapan SDM

Sejak Pemerintah pusat melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengambil alih semua perizinan pertambangan dari tangan pemerintah provinsi. Merujuk pada jadwal, pengalihan kewenangan tersebut akan berlangsung mulai 11 Desember 2020, berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 alias UU Mineral dan Batubara (Minerba), setelah 6 bulan diundangkan, maka kewenangan perizinan diambil alih dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat hingga saat ini.
UU Minerba resmi diundangkan dan ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 10 Juni 2020 lalu. Dalam Pasal 35 (1) UU minerba baru itu, disebutkan bahwa usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Dengan peralihan perizinan ke Pusat (baca : Kementrian ESDM ) ada kesan pemerintah berupaya mempersulit perizinan. Padahal yang dilakukan pemerintah adalah agar semua kegiatan usaha bisa lebih tertib dengan tata kelola yang lebih baik. Perizinan yang sebelumnya dilakukan oleh pemerintah provinsi memang terlalu longgar. Dengan perizinan dialihkan ke tingkat provinsi, akan dilihat juga aspek teknis, misalnya menyertakan dokumen eksplorasi dan dokumen studi kelayakan.
Kendati demikian kegiatan penambangan di daerah bukannya bertambah baik dan tertib secara hukum, khususnya di Sulawesi Tenggara justeru penambangan ilegal kian merebak tidak terkendali dan hari ini tidak sedikit pengusaha tambang dan oknum pejabat di Kementerian ESDM terjerat kasus hukum.
Sejak kewenangan ini diambil alih Kementerian ternyata bukan jaminan kegiatan pertambangan lebih tertib tapi menyulitkan kegiatan pengusaha tambang yang ingin berinvestasi di daerah.
Haning Abdullah, Ketua Lembaga Missi Reclassering Republik Indonesia (LMR-RI) Komisariat Wilayah (Komwil) Sulawesi Tenggara secara tegas menyampaikan keberatan terkait pemindahan kewenangan dari provinsi ke Kementerian ESDM. Sejak pemindahan kewenangan menyebabkan terganggunya koordinasi dalam pengelolaan pertambangan yang menyebabkan tidak tercapainya sasaran kerja semua pihak yang terkait dengan usaha pertambangan di daerah.
Haning Abdullah menyarankan diterbitkannya produk hukum turunan sehingga tak ada keterlambatan pada pelayanan publik dengan pemindahan kewenangan menyebabkan keterlambatan proses perijinan yang akan berdampak pada turunnya hasil tambang. Hal tersebut akan menyebabkan dana bagi hasil bagi kabupaten/kota akan turun.
” Sebaiknya kewenangan itu dikembalikan ke Pemerintah Provinsi, dengan pertimbangan kalau diurus di provinsi tidak terlalu besar biaya yang dikeluarkan oleh pemegang IUP. Kemudian faktanya, pengawasan di lapangan dapat dilihat secara langsung oleh inspektur tambang di daerah.Kenapa banyak kasus hukum di sektor tambang ? itu terjadi sejak diambil alih pusat, banyak terjadi penyimpangan seperti penyalahgunaan dokumen terbang (dokter), menambang di lahan koridor bahkan ada yang menambang tanpa IUP dimana-mana bisa kita temukan, khususnya di Sulawesi Tenggara.Ini semua karena tidak adanya pengawasan, ” tegasnya kepada beritasulawesi.co.id Selasa (8/8).
Disisi lain, ada perusahan yang memiliki dokumen IUP resmi dan lengkap untuk melakukan penambangan harus terkena imbasnya, karena rumit dan lambat diterbitkannya dokumen Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) oleh Kementerian ESDM.
Menurut Haning Abdullah terdapat berbagai permasalahan perizinan yang terjadi di Sulawesi Tenggara dimulai dari tumpang tindih perizinan dan kawasan hutan, keterbukaan informasi perizinan, dan lemahnya partisipasi dan pengawasan masyarakat terhadap kegiatan pertambangan, serta rentang kendali pengawasan dari pusat ke daerah sehingga pelaku tambang ilegal leluasa melakukan manipulasi data.
Mengutip data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) per November 2021, jumlah izin usaha pertambangan (IUP) di Sulawesi Tenggara mencapai 261 izin, yang terbagi menjadi jenis izin 256 IUP, 1 IUPK, 1 WIUP, 2 WIUPK, dan 1 KK. Pertambangan di Sulawesi Tenggara didominasi oleh komoditas nikel.
Di Tahun 2022 tercatat 189 IUP di Sultra 39 diantaranya telah dicabut bulan maret 2022 lalu. 150 Perusahaan masih berstatus aman. Dari total 189 perusahaan itu terdapat 138 perusahaan tambang nikel.

Sementara itu, Rusmin Abdul Gani, selaku pengusaha yang bergerak di sektor pertambangan di Sulawesi Tenggara, menyambut baik adanya pernyataan Ketua LMRI Komwil Sultra yang meminta Pemerintah Pusat untuk menyerahkan kembali kewenangan penerbitan dokumen izin usaha pertambangan ke Pemerintah Provinsi.
Sebagai pengusaha yang bergerak di sektor tambang nikel, tentunya desakan dari pengusaha tambang ini perlu didukung untuk membantu kelancaran usaha pertambangan di Sulawesi Tenggara.
Menurutnya, untuk melaksanakan peralihan kewenangan pengelolaan pertambangan mineral, khususnya nikel di Sulawesi Tenggara memang perlu dipikirkan bersama-sama, karena ini berkaitan juga dengan kesiapan sumber daya manusia yang ada di daerah.
“Memang perlu ada rembuk bersama dengan melibatkan semua stakeholder untuk menguatkan usulan dari pihak pengusaha pertambangan yang minta dikembalikan ke provinsi untuk urusan kewenangan prosedur dan perizinan di sektor pertambangan.Butuh regulasi dan kesiapan sumber daya manusia untuk menerima kewenangan dan tanggungjawab ini” ungkap Rusmin.
Karenanya Rusmin menambahkan, sampai saat ini tenaga Inspektur tambang yang akan melakukan verifikasi lapangan sekaligus pengawas masih kurang, sementara usulan penerbitan dokumen izin operasi produksi seperti RKAB oleh pemegang IUP jumlahnya ratusan.
“Inilah yang perlu dipikirkan, kalau memang perlu dipihak ketigakan oleh lembaga independen untuk membantu proses penerbitan RKAB agar bisa lebih cepat dan terukur” jelas Rusmin yang pernah menjabat General Manager/ Deputy Site Manager PT Virtu Dragon Nickel Industrial (VDNI) Kabupaten Konawe Selatan ini.
(bsnn-k12)