Kualitas Serapan Anggaran Buruk
Pengelolaan APBN | Di Beberapa Kabupaten, Porsi Belanja Pegawai Capai 70 persen

Pemerintah perlu mengevaluasi cara mengukur efektivitas serapan anggaran oleh kementerian/lembaga (K/L) hingga pemerintah daerah (pemda). Jika tidak dilakukan, kualitas serapan anggaran kian buruk sehingga tak memberi efek positif terhadap kehidupan riil masyarakat dan pertumbuhan ekonomi nasional umumnya.
“Soalnya selama ini kita terpaku pada penyerapan yang tinggi, namun outcome dan impact-nya tidak jelas dari anggaran itu,” tegas Peneliti Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, Selasa (27/6), merespons kemarahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap banyaknya anggaran yang tersedot untuk belanja birokrasi dan tidak menyentuh masyarakat.
Menurutnya, struktur serapan anggaran sampai sekarang masih menggunakan pola lama. Banyak anggaran mengalir ke kegiatan yang kurang produktif, seperti belanja pegawai. Bahkan di beberapa kabupaten, porsi belanja pegawai mencapai 70 persen.
“Dampaknya, biaya pembangunan dan program jadi terbatas, bahkan tidak bisa membiayai program karena untuk biaya bantuan sosial,” tukas Huda.
Menurutnya, pola penyerapan lama tersebut masih sering dilakukan karena K/L dituntut mengakselerasi serapan anggaran sehingga alokasi anggaran banyak terserap untuk kegiatan konsumtif, terutama biaya pegawai dan rapat-rapat.
“Program follow money, kalau money-nya gak ada ya programnya gak ada. Ini yang harus dibenahi oleh pemerintah,” tegas Huda.
Seperti diketahui, Presiden Jokowi menyampaikan kekesalannya karena hingga kini masih menemui penggunaan anggaran yang habis untuk perjalanan dinas dan hal-hal birokrasi yang tak perlu. Sementara itu, untuk kemanfaatan pada rakyat masih sedikit. Kekesalan itu disampaikan Jokowi saat Penyampaian Laporan Hasil Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LHP LKPP) Tahun 2022 di Istana Negara, Senin (26/6)
Saat itu, dia kembali mengingatkan penggunaan anggaran pemerintah harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat, bukan hanya untuk membiayai proses atau birokrasi. “Sudah saya sampaikan beberapa waktu yang lalu. Sekali lagi, bukan untuk membiayai proses, bukan untuk membiayai birokrasi. Karena yang saya temukan, justru habis banyak di birokrasi,” tegasnya.
Presiden mencontohkan penyuluhan pertanian provinsi yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) di sektor tersebut. Dari total anggaran 1,5 miliar rupiah, sekitar satu milliar rupiah untuk perjalanan dinas.
Kemudian, ada juga penggunaan APBD Kabupaten yang sebagian besar habis untuk perjalanan dinas. Bahkan, tidak ada 20 persen anggaran yang betul-betul digunakan sebagaimana mestinya.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan mencatat belanja negara mencapai 1.005 triliun rupiah hingga Mei 2023 atau setara 32,8 persen dari total pos pengeluaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023. Realisasi tersebut terdiri atas belanja pemerintah pusat serta transfer ke daerah (TKD).
Realisasi APBN surplus sebesar 204,3 triliun rupiah hingga Mei 2023. Angka tersebut setara 0,97 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) yang diperkirakan tahun ini. Nilai surplus APBN pada Mei 2023 lebih tinggi bila dibandingkan dengan surplus APBN pada Mei 2022 yang tercatat sebesar 132,24 triliun rupiah atau sekitar 0,74 persen dari PDB. (bsnn-k10)