PTK, Kenapa Sulit Dilakukan? Mahyudin Direktur Riset dan Publikasi Yayasan Sukma
Mahyudin Direktur Riset dan Publikasi Yayasan Sukma
UPAYA meningkatkan mutu guru melalui penelitian tindakan kelas (PTK) ternyata tidak sederhana dan mudah. Padahal, jika PTK dilakukan dengan baik dan konsisten, bisa dipastikan guru tidak memerlukan pelatihan generik yang biasa dilakukan Kemendikbud-Ristek, yang hanya menghabiskan anggaran tanpa manfaat yang berarti. Namun, pada kenyataannya, sebagian besar guru melakukan PTK seumur hidupnya menjadi guru minimal dua kali. Yakni, saat menulis skripsi dan saat mengajukan sertifikasi. Itu juga, jika guru tersebut lulusan FKIP/FTKIP. Kalau lulusan non-FKIP/non-FTKIP, malah belum pernah melakukan PTK.
Pada Januari 2022, dalam pelatihan penelitian tindakan kelas, saya melakukan asesmen untuk pembelajaran dengan bertanya pada 138 guru Sukma Bangsa di Aceh. Hasilnya ialah 86% dari 138 guru tersebut ternyata belum pernah melakukan PTK. Dan hanya 14% dari 138 guru di Sukma Bangsa Aceh yang pernah melakukan PTK. Tentu saja, saya tidak bermaksud ingin mengeneralisasi kondisi guru di Sukma Bangsa Aceh ini sebagai kondisi umum guru di Aceh, apalagi Indonesia. Ini hanya bagian kecil dari ikhtiar kami, mendorong guru di Sukma Bangsa untuk meningkatkan kapasitasnya secara mandiri.
Dapatkah PTK meningkatkan mutu? Craig A Mertler (2017: 47) menulis buku berjudul Action Research, Improving Schools and Empowering Educators, dengan mengutip Schmuck (1997), mendefinisikan penelitian tindakan sebagai upaya untuk mempelajari situasi sekolah secara nyata, dengan maksud untuk meningkatkan kualitas pengajaran dan hasil-hasil di dalamnya. Selain itu, penelitian tindakan juga dapat meningkatkan kualitas profesional guru. Untuk memberikan wawasan yang lebih baik, dengan cara yang lebih efektif, untuk mencapai hasil pendidikan yang diinginkan. Berbeda dengan jenis penelitian lain, penelitian tindakan kelas adalah penelitian yang dilakukan guru di dalam kelas. Mertler (2017) menjelaskan—dengan mengutip McMillan (2004)—penelitian tindakan sebagai fokus pada pemecahan masalah kelas atau sekolah tertentu, meningkatkan praktik, atau membantu membuat keputusan di satu lokasi lokal. Penelitian tindakan menawarkan proses, dimana praktik saat ini dapat diubah menuju praktik yang lebih baik. Tujuan menyeluruh dari penelitian tindakan, adalah untuk meningkatkan praktik dengan segera dalam satu atau beberapa ruang kelas atau sekolah. Karena itu, peneliti tindakan kelas hampir selalu memulai dengan pertanyaan, “Bagaimana kita dapat memperbaiki situasi ini?” Menurut Stringer, Christensen, Baldwin, (2010), peneliti tindakan berfokus pada mengumpulkan data (look), menganalisis dan merefleksi aktivitas murid (think), dan membuat perencanaan, mengajar, dan mengambil tindakan untuk memecahkan masalah atau evaluasi (act).
Kekuatan penelitian tindakan ialah pada proses reflektif yang mengarah pada perbaikan dalam praktik pendidikan. Refleksi dapat didefinisikan sebagai tindakan mengeksplorasi secara kritis apa yang guru lakukan, mengapa guru memutuskan untuk melakukannya, dan apa dampaknya. Agar guru menjadi reflektif, mereka harus menjadi peserta aktif di kelas mereka serta pengamat aktif dari proses pembelajaran. Mereka harus menganalisis, dan menafsirkan informasi kelas. Inilah alasan kenapa PTK dapat meningkatkan mutu guru. Tantangan PTK Dalam asesmen untuk pembelajaran, saat pelatihan PTK di Sukma Bangsa Aceh pada Januari 2022, ada pertanyaan tentang tantangan yang akan mereka hadapi jika melakukan PTK. Ada dua faktor tantangan, yaitu teknis dan nonteknis PTK.
Tantangan teknis, mencakup menganalisis data, menyusun data, merumuskan masalah, membuat laporan, dan membuat proposal. Sementara, tantangan nonteknis PTK meliputi waktu, beban kerja, pembiayaan, dukungan manajemen dan dukungan rekan sejawat. Secara teknis, 53% dari 138 guru mengaku kesulitan menganalisis data. Kemudian, 34% dari 138 orang merasa kesulitan menyusun data dan merumuskan masalah. Sementara, dari segi faktor nonteknis, 73% dari 138 guru mengaku kesulitan membagi waktu, dan 52% dari 138 guru mengaku PTK akan menambah beban kerja. Melihat informasi ini, sebenarnya, sedikit melegakan hati karena tantangan teknis yang berkaitan dengan PTK tidak terlalu mengkhawatirkan.
Namun, hasil proposal yang mereka buat mengatakan sebaliknya, yaitu lemah dalam merumuskan masalah, hanya berfokus pada subyek ajar (konten) saja, padahal banyak aspek lain di luar subyek ajar (konten) yang perlu diperhatikan, dibenahi juga agar mendukung proses belajar di kelas. Dan terakhir, berkaitan dengan pengalaman melakukan PTK, sehingga yang tidak memahami dengan baik apa itu PTK dan bagaimana melakukannya. Selama ini, mereka memahami PTK yang mereka pelajari, dan dapatkan dari kampus maupun juknis PTK dari dinas pendidikan sangat pragmatis, yaitu ambil satu topik dari subyek ajarnya (konten), cari alat untuk membantu menyelesaikannya, lakukan dan selesai. PTK diperlakukan seperti penelitian eksperimental. Padahal, PTK adalah tentang mengevaluasi secara mandiri proses belajar mengajar di kelas. Refleksi merupakan bagian integral dan penting dari proses PTK. Selain itu, PTK juga berfokus pada pemecahan masalah kelas, meningkatkan kualitas pengajaran lebih baik (Mertler, 2017), dan tentu akan menjadi masalah, ketika guru mengatakan bahwa kelasnya baik-baik saja, tidak ada masalah.
Benarkah ada kelas yang benar-benar tidak ada masalah? Berikutnya, tantangan non-teknis seperti waktu dan anggapan bahwa PTK adalah kerja tambahan, juga menjadi tantangan yang harus dipikirkan oleh pihak sekolah. Kewajiban guru menurut UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 35 ayat (2), yaitu beban kerja guru mengajar sekurang-kurangnya 24 jam, dan sebanyak-banyaknya 40 jam tatap muka per minggu. Belum lagi, tugas-tugas internal sekolah seperti menjadi wali kelas, menjadi guru pembimbing pelajaran tertentu, tugas-tugas administratif lainnya seperti membuat RPP, membuat laporan. Ditambah, kepanitiaan kegiatan peringatan hari besar nasional maupun hari besar Islam, PPDB/PSB, dan kesibukan lainnya. Untuk mengatasi tantangan ini, tentu saja tidak cukup hanya dengan menghimbau agar guru menggunakan manajemen waktu. Secara konkrit, manajemen sekolah mengalokasikan waktu untuk berefleksi dan membaca secara bersama. Yang teranyar ialah kegiatan menulis refleksi bersama menggunakan google docs. Setiap guru dapat menuliskan refleksinya, dan pada saat bersamaan juga bisa membaca refleksi guru lain. Apakah ini akan berhasil? Mudah-mudahan, karena prinsip dari kegiatan menulis refleksi bersama ini adalah kolaborasi, yaitu berbagi pengetahuan dan ketidaktahuan, keberdayaan, dan ketidakberdayaan (Red)