Ekonomi &BisnisOpini

Tancap Gas Hilirisasi Industri

KEKALAHAN dari Uni Eropa yang menggugat kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel ke WTO tidak membuat pemerintah gentar. Presiden Joko Widodo sempat menyindir negara-negara Eropa di KTT Kemitraan ASEAN dan Uni Eropa yang diselenggarakan di Brussel, Belgia, pekan lalu. Jokowi menuding ada negara-negara yang tidak ingin negara berkembang naik kelas menjadi negara maju.

Presiden menggarisbawahi proposal regulasi deforestasi Uni Eropa yang dinilainya menghambat perdagangan. Ia juga menegaskan Indonesia tetap melanjutkan kebijakan hilirisasi industri pertambangan. Presiden Jokowi lantas membuktikan pernyataannya bukan gertak sambal. Tidak lama sepulang dari wilayah Uni Eropa, Presiden mengumumkan berlanjutnya kebijakan larangan ekspor bijih nikel. Bukan itu saja, ekspor bauksit dalam bentuk mentah juga akan dilarang per Juni 2023.

Ketegasan pemerintah itu tidak terlepas dari adanya harapan pada upaya banding yang akan diajukan. Lamanya proses banding hingga menghasilkan keputusan yang berkuatan hukum tetap, belum bisa diperkirakan. Ketidakpastian tersebut memberikan celah bagi Indonesia untuk merealisasikan berbagai komitmen investasi di sektor pengolahan bahan tambang. Tidak ada waktu yang lebih tepat ketimbang saat ini untuk menyetop keran ekspor bahan mentah. Indonesia berada di posisi yang tanggung dalam pengembangan industri pertambangan. Untuk nikel, contohnya, per November 2022 jumlah smelter atau pabrik pengolahan yang sudah terbangun dan beroperasi baru 15 unit dari target 30 smelter hingga 2024.

Puluhan smelter bauksit, besi, tembaga, mangan, serta timbal dan seng juga masih dalam pipa rencana investasi. Pajak ekspor yang tinggi saja tidak cukup karena mahalnya pembangunan smelter. Tanpa larangan ekspor, investor akan gamang merealisasikan penanaman modal karena masih lebih murah mengimpor bahan mentah dari Indonesia. Ditilik dari kepentingan strategis nasional, keberanian pemerintah untuk tidak tunduk pada keinginan Uni Eropa sudah berada di jalur yang tepat. Kebijakan hilirisasi terbukti melipatduapuluhkan nilai ekspor. Dalam catatan Kementerian Perindustrian, kontribusi ekspor bijih nikel sekitar Rp15 triliun dalam setahun. Dengan pengolahan, nilai ekspor nikel melejit hingga Rp360 triliun. Ada potensi menang, tentu ada pula kemungkinan kalah dalam upaya banding.

Bila Indonesia kembali kalah, sulit untuk mempertahankan kebijakan larangan ekspor bahan mentah pertambangan. Ngotot berarti harus menerima berbagai konsekuensi, termasuk sanksi-sanksi perdagangan yang mungkin dijatuhkan kepada Indonesia. Namun, itu nanti. Kini, tuntaskan pekerjaan hilirisasi terlebih dahulu. Secepatnya. Kita perlu mengingatkan pula kepada pemerintah agar pengembangan industri pertambangan tidak menepikan masyarakat di wilayah penghasil bahan tambang. Betul, berkat pengolahan nikel, pertumbuhan ekonomi Maluku Utara meroket sebesar 27%. Capaian pertumbuhan itu, menurut Presiden, bukan hanya tertinggi sepanjang sejarah di Indonesia, tetapi juga dunia. Akan tetapi, seberapa besar pertumbuhan itu dinikmati oleh masyarakat Maluku Utara?

Di periode yang sama, kontribusi konsumsi rumah tangga mereka terhadap produk domestik bruto (PDB) malah minus. Daya beli merosot. Masyarakat Maluku Utara ternyata masih mengandalkan pendapatan dari sektor pertanian seperti kopra. Apesnya, di tengah sorak-sorai industri pertambangan, harga komoditas kopra anjlok. Bergairahnya kegiatan penambangan juga memunculkan lokasi-lokasi tambang baru yang mulai menggusur wilayah pertanian. Itu bukan saja meningkatkan risiko kerusakan lingkungan, tetapi juga melemahkan kemampuan produksi pangan setempat. Kebijakan hilirisasi pertambangan semestinya dirancang secara menyeluruh. Pastikan rakyat di wilayah penghasil menikmati hasil pertumbuhan ekonomi, bukan hanya menjadi penonton yang bahkan harus gigit jari karena tak mampu beli tiket. Kesejahteraan rakyat harus terdepan diperjuangkan.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button