Berita Nasional

Polri Harus Menghormati Privasi dalam Pelaksanaan Tugas dan Fungsinya

Dalam beberapa hari ini publik diramaikan dengan pemberitaan berkaitan dengan razia yang dilakukan oleh personel Polres Ponorogo terhadap ponsel warga, dengan alasan untuk melakukan pencegahan judi online

Razia serupa juga dilakukan oleh sejumlah institusi kepolisian di beberapa wilayah terhadap para anggotanya, termasuk juga beberapa kesatuan TNI dan juga pemerintah daerah, dengan alasan yang serupa, memberantas dan mencegah judi online. Meski memiliki tujuan yang baik, tetapi tindakan tersebut merupakan bagian dari intrusi terhadap privasi individu, yang dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran terhadap pelindungan hak atas privasi.

Mengacu pada Pasal 26 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), telah diatur dan dijelaskan perihal kewajiban menghormati dan melindungi hak atas privasi seseorang. Pada penjelasan pasal ini disebutkan bahwa hak atas privasi antara lain mencakup hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam gangguan; hak untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain tanpa tindakan memata-matai; dan hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi dan data seseorang. Secara konseptual ruang lingkup hak atas privasi sesungguhnya meliputi seluruh ruang hidup seseorang, termasuk di dalamnya privasi atas tubuh (bodily privacy), privasi ruang—tempat tinggal (spatial privacy), privasi komunikasi dan informasi (communicational and informational privacy), dan privasi hak milik (proprietary privacy).

Hal itu juga senafas dengan perlindungan konstitusional terhadap diri pribadi seseorang sebagaimana diatur dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 dan juga Pasal 29 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Bahkan Pasal 32 UU HAM menjamin kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan komunikasi melalui sarana elektronik, yang tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah menurut hukum. Penegasan itulah yang kemudian menjadi rujukan pengaturan Pasal 30 UU ITE (juga diatur dalam Pasal 332 UU No. 1/2023 tentang KUHP), yang mengatur bahwa akses ilegal terhadap sistem elektronik orang lain dengan sengaja dan tanpa hak sebagai perbuatan pidana. Pertanyaannya, apakah polisi memiliki hak untuk mengakses sistem elektronik (termasuk ponsel) seseorang dalam suatu tindakan penggeledahan?

Penggeledahan merupakan salah satu bentuk upaya paksa yang dapat dilakukan oleh penyidik, termasuk penyidik kepolisian. Dalam hal ini penyidik dapat memasuki dan melakukan pemeriksaan di rumah tempat kediaman seseorang atau untuk melakukan pemeriksaan terhadap badan dan pakaian seseorang (Pasal 32 KUHAP). Upaya ini hanya dilakukan dalam dua kondisi, yakni tertangkap tangan atau adanya izin dari ketua pengadilan negeri setempat. Agar tindakan penggeledahan lawful sebagai bagian dari proses penyidikan, maka terlebih dahulu ada perbuatan pidana atau dugaan tindak pidana yang tengah disidik. Penggeledahan menjadi salah satu upaya paksa terhadap tersangka, dalam rangka pencarian alat bukti. Oleh karena itu tindakan polisi menggeledah secara paksa seseorang di area publik, dan bukan bagian dari proses penyidikan, dapat dikatakan sebagai tindakan sewenang-wenang (arbitrary) terhadap privasi seseorang.

Lebih jauh, dalam pelaksanaan tugas kepolisian memeriksa ponsel, perangkat tersebut dan isinya harus dilihat sebagai alat bukti elektronik, bahkan seluruh data dari ponsel itu adalah bagian dari data pribadi yang harus dilindungi, tidak boleh dibuka secara semena-mena. Hal itu juga sebagaimana telah diatur dalam UU No. 27/2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP). Oleh karena itu, tindakan pembukaan terhadap isi dari ponsel baru dianggap sesuai dengan hukum (lawful), jika dilakukan untuk tujuan penyidikan setelah adanya dugaan tindak pidana. IMEI telepon, IP Address, nomor SIM Card, dan seluruh data yang ada pada ponsel seseorang, adalah bagian dari data pribadi orang tersebut, yang harus dilindungi. Meskipun dalam ketentuan Pasal 15 dan Pasal 50 UU PDP diatur sejumlah klausul pengecualian, namun bagi kepolisian pengecualian ini hanya berlaku untuk kepentingan proses penegakan hukum. Pertanyaannya lagi, apakah razia berkaitan dengan pencegahan judi online tersebut adalah bagian dari proses penegakkan hukum?

Khusus pada lingkungan Kepolisian, ketentuan Pasal 32 Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 telah mengatur perihal perlunya memastikan perlindungan hak atas privasi dalam tindakan penggeledahan terhadap orang dan tempat/rumah. Dikatakan bahwa petugas wajib meminta maaf dan meminta kesediaan orang yang digeledah atas terganggunya hak privasi karena harus dilakukannya pemeriksaan, dan kedua petugas dilarang melakukan tindakan penggeledahan secara berlebihan dan mengakibatkan terganggunya hak privasi yang digeledah. Bahkan secara khusus, Pasal 38 Peraturan Kapolri ini mengatur kewajiban anggota Polri untuk menghormati martabat dan privasi seseorang. Sedikitnya ada 12 ketentuan dalam peraturan ini yang menekankan pentingnya menghormati dan melindungi hak atas privasi dalam kerja kepolisian.

Dalam konteks perlindungan data pribadi, Parlemen Eropa telah mengesahkan EU Directive 2016/680 tentang perlindungan individu sehubungan dengan pemrosesan data pribadi oleh pihak berwenang untuk tujuan pencegahan, investigasi, deteksi/penuntutan pelanggaran pidana/eksekusi pidana, dan pergerakan bebas dari data tersebut. Ketentuan (directive) ini melengkapi berlakunya EU General Data Protection Regulation (2016/679). Menurut ketentuan ini, perlindungan data dalam penegakan hukum (pidana) harus mengacu pada prinsip: (i) pemrosesan harus dilakukan secara absah dan adil; (2) tujuan pemrosesan ditentukan eksplisit dan sah; (3) memadai, relevan, dan tidak berlebihan; (4) akurat dan selalu diperbarui; (5) disimpan tidak lebih dari yang diperlukan; dan (6) diproses secara aman.

Merespons situasi di atas dan mengingat pentingnya memastikan perlindungan hak atas privasi dalam pelaksanaan tugas dan fungsi kepolisian, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menekankan beberapa hal berikut ini:

  1. Perlunya kepolisian untuk secara konsisten memastikan penghormatan dan perlindungan hak atas privasi dalam seluruh pelaksanaan tugas dan fungsi kepolisian, termasuk dalam segala jenis tindakan upaya paksa dalam rangka penyelidikan atau penyidikan, seperti penggeledahan, penyadapan, penyitaan, dan penangkapan.
  2. Polri untuk melakukan penelaahan dan penyelarasan peraturan-peraturan internal kepolisian, khususnya yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, untuk diharmonisasi dengan berbagai peraturan perundang-undangan terkait dengan pelindungan hak atas privasi dan data pribadi.
  3. Kebutuhan untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip perlindungan hak atas privasi dan data pribadi dalam pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), guna memastikan adanya rujukan perlindungan data pribadi yang komprehensif dalam seluruh proses penegakan hukum pidana.
  4. Polri secara aktif melakukan peningkatan kapasitas bagi para personelnya, terkait dengan pengetahuan mengenai kewajiban mereka dalam melaksanakan tugas dan fungsi kepolisian.
  5. DPR dan Presiden menunda proses revisi UU No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, guna memberikan ruang dan waktu penelaahan yang lebih menyeluruh dan strategis terhadap tantangan dan kebutuhan aktual kepolisian, termasuk memastikan integrasi prinsip-prinsip pelindungan hak atas privasi dan data pribadi dalam pengaturan terkait pelaksanaan tugas dan fungsi kepolisian. (bsnn-sp)

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button