Reportase Nusantara

Orang Gunung Turun ke Pantai, Tutur Para Tete Lumbi-Lumbia dan Landonan (2)

Penulis: Idham Malik

Selasa malam itu, 8 Oktober 2024, Arto mengajak kami untuk mengunjungi Akdirun, tete yang sudah berusia 81 tahun, tapi kemampuan bercerita dan daya ingatnya masih segar, seperti air kuala. Rumahnya terletak di pinggir jalan Desa Landonan, Kecamatan Buko Selatan, Banggai Kepulauan, kami masuk dan duduk di kursi plastik ruang tamu, dia pun sudah ada duduk mengangkat satu kaki, tepat di bawah pencahayaan, dengan asyik menghisap rokok.

Kami pun menanyakan ke Akdirun pengalaman masa kecilnya. Ia mengenang pesawat terbang meraung melintasi desanya. Itu pesawat perang militer Jepang. Ia tak mengingat ada mobilisasi pemuda lokal untuk perang Asia Fasifik. Tak ada pameran baris-berbaris seperti di kota-kota besar ataupun desa-desa di Jawa. Ia hanya mengingat, ada seorang Opsir Belanda di Lumbi-Lumbia, mungkin setelah masa Jepang, yang selalu request istri orang.

Ia mengingat pemukiman di pesisir masih banyak rawa-rawa. Pemindahan orang gunung ke pesisir tampaknya belum lama waktu ia lahir pada 1942. Dari wawancara sebelumnya dengan Tamrin Sabbu (70-an), penduduk Lumbi-Lumbia dan Landonan baru turun dari lereng bukit pada 1930-an. Mulanya dirintis oleh tujuh orang, termasuk orang tua dari Tamrin dan Akdirun. Tujuh orang itu sengaja membuka jalan dan membangun kediaman, tindakan mereka ternyata diketahui oleh pejabat Belanda melalui laporan kepala desa atau dulu disebutnya Basalo. Pihak Belanda bukannya melarang, justru memberi lampu hijau.

Itu justu menimbulkan petaka bagi sebagian penduduk. Menurut Akdirun, jika tak mau pindah ke pinggir pantai, rumah akan dibakar. Hasut menghasut itu di bawah tekanan Belanda. “Orang tidak berani menolak, karena takut ditembak,” kata Arto. Saya beberapa kali melintasi bukit pemukiman lama, terletak di dekat pasar rakyat dan tak jauh dari lokasi Sekolah Menengah Pertama (SMP). Di area itu ada beberapa rumah yang terbilang modern, dengan pilar megah di berandanya. Saya mendaki lebih ke atas lagi, tak banyak rumah, sepanjang mata terlihat pepohonan dan semak-semak. Sebenarnya itu adalah kebun-kebun penduduk yang sudah bertuan.

Saya berjalan melingkar dan turun ke bawah bukit dan bertemu Kantor Kecamatan Buko Selatan. Tamrin bilang, di sekitar situ ada mata air ‘ Paisu Bila Banggai’ atau air kehidupan. “Dulu ‘bila banggai’ menjadi sumber air minum penduduk. Tamrin pun punya ide memperkenalkan kembali mata air itu kepada kaum muda. Namun, pada 1982, terjadi tragedi naas, kematian penduduk berturut-turut dari hari ke hari. Saya mendengar lebih dalam cerita ini saat ngobrol kembali dengan Akdirun di rumah kebunnya. Kebetulan, pada Rabu pagi, 9 Oktober 2024, saya jalan-jalan ke arah kebun dan bertemu Akdirun di jalan. Saya pun menemani Akdirun hingga ke tepi kebunnya, melewati jalan pintas di antara Semak-semak. Saat baju saya tersangkut rotan berduri, Akdirun mengaku kalau rotan itu dia yang tanam. Jalan pintas itu, Akdirun yang rintis, di kiri dan kanannya tampak kebun ubi banggai, ubi kayu, pohon kumiang, kebun cokelat, cengkeh dan lain-lain. Akdirun dengan fasih menyebut satu persatu pemilik dari petak-petak kebun, termasuk juga milik ayahnya, yang ia akui sebagai tuan tanah.

Foto :Akdirun-jalan kaki ke kebun

Orang pertama yang meninggal adalah paman dari Akdirun (sepupu dari mamanya), waktu itu ia pergi gereja, sementara akdirun menyiapkan minuman bir (minuman keras) untuk diteguk bersama, besoknya, pamannya itu sudah meninggal. Akdirun sedih sekali. “Saya ketemu sepupu saya itu pagi, besoknya sudah tidak ada. Sepupu saya dikubur bersama anaknya,” kenang Akdirun. Saudara jauhnya yang lain, masih sempat ngobrol dan berpegang tangan pagi hari, malamnya sudah tiada. Akdirun menghitung penduduk yang meninggal tiap harinya, satu, tiga, empat, kemudian sembilan. Dilanjutkan enam, empat dan tujuh, dan seterusnya. Diperkirakan meninggal hingga 700 penduduk. Saat itu dokter tak sanggup dan lari kembali ke Manado. Akdirun sendiri sewaktu pergi memetik kelapa di kebunnya sendiri dekat Desa Sapelang, diusir pulang oleh warga kampung tersebut.

“Itu hari, sewaktu magrib, saya kumpul anak-anak. Berdoa bersama kepada Allah, kalau saya jahat punya perbuatan, mati kita tidak tolak,” kata Akdirun. Baru Ketika ia bertemu Ali Taeta, wabah itu pun surut. Ali Taeta yang tak lain adalah guru agama dari Desa Sampekonan, tokoh pengislaman orang Sampekonan dan akhirnya dianggap nabi oleh penduduk di sana berkunjung ke Landonan. “Dia baliat, lalu minta air yang disimpan digumbang, kemudian dia suruh saya untuk diberi minum orang-orang di kampung. Sejak saat itu wabah berhenti,” kata Akdirun.

Saya mendiskusikan kisah ini ke Dr. Ferdy Salamat pada 20 Oktober 2024, saat ini menjadi Kepala Dinas Perikanan Bangkep, sebelummnya pernah menjabat Kepala Dinas Lingkungan Hidup Bangkep. Menurutnya itu barangkali disebabkan oleh bakteri coliform maupun enterococcus yang bersifat pathogen. Dari hasil riset doktoralnya di beberapa sumber air minum, termasuk Paisu Lalomo di Kecamatan Buko Selatan menunjukkan probabilitas infeksi. Ferdy menjelaskan struktur Pulau Peling 97% adalah batuan karst yang jika menyerap air serupa spons. “Batuan kars itu seperti Lorong-lorong, jadi pori-pori kars dapat memindahkan bahan tercemar seperti tinja,” kata Ferdy. Dari Ferdy diketahui sumber mata air tanah karst sangat rentan terhadap kontaminasi logam berat dan mikroba pathogen yang disebabkan oleh masuknya air hujan ke saluran karst. Dr. Ferdy bilang, hasil disertasi doktoralnya ini rencananya akan dijadikan buku, agar masyarakat Pulau Peling dapat memahami resiko dari penggunaan mata air dan ada upaya pencegahan bencana, seperti peristiwa tahun 1982 di Lumbi-Lumbia.

Kembali ke Ali Taeta. Ali Taeta adalah sahabat Akdirun dan biasa menyambangi rumahnya. Akdirun tidak mempermasalahkan gerakan agama Ali, yang kontraversial lantaran syahadat yang dia ajarkan ke warga Desa Sampekonan, asyhadu allah ilaha ilallah wa asyhadu anna alian imamullah. Memang, lantaran medan berat, pendidikan agama masih sepotong-sepotong di beberapa wilayah Banggai Kepulauan, jadinya orang percaya-percaya saja. Apalagi Ali Taeta seperti memiliki karomah. Mulai dari menyembuhkan orang sakit, hingga penguasaan akan beragam Bahasa. “Pantas dia bahasa, Bugis, Buton, Belanda, Banggai, Cina. Itu dia dapat ilmu dari kampung Wentira. Itu kampung Jin,” bilang Akdirun. Saya mendengarnya terkesima. “Waktu dia disidang di Makassar karena mengaku nabi, semua pertanyaan dari para ulama dia jawab. Dia pun dianggap Kiyai Banggai ke-9. Ali Taeta memang pernah belajar Islam di Perguruan Thuwalib, Bukit Tinggi, antara tahun 1951-1956. Sebelumnya juga pernah menjadi Kepala Sekolah di Liang. Ali Taeta meninggal 21 Juli 2003, Di Sampekonan, pada liang kuburnya tertulis, ‘Nabi Ali Lahir di Timbon..’.

Tentang kerancuan ajaran agama sepertinya ini punya cerita panjang. Leluhur dari Tamrin sudah masuk Islam, lantaran menikah dengan perempuan dari Palabatu, tak jauh dari kampung Muslim di Lolantang, sekarang jadi pusat Kecamatan Bulagi Selatan. Namun ajaran itu putus, keturunannya kembali ke ajaran semula, yaitu balambea, penghormatan pada batu-patung yang dikeramatkan, juga tentu penghormatan pada alam, seperti pepohonan. “Meski begitu, mereka sudah tahu keberadaan Yang Maha Kuasa dan sudah tidak makan babi,” ujar Tamrin. Akdirun menyebut Yang Maha Kuasa itu ‘Miyabisa’, ada pula yang menyebutnya ‘Tomeneno’. Baru setelah Kepala Desa kembali dari Kerajaan Banggai di Pulau Banggai (Banggai Laut-sekarang) pada pertengahan tahun 1920-an, penduduk ramai-ramai masuk Islam. “Saat itu Kepala Desa diminta pilih antara Islam atau Kristen oleh Raja Banggai, dia pilih Islam. Sebalik ke Lumbi-Lumbia, Pak Desa di-mandi-kan oleh Guru Islam dari Lolantang yang sudah tinggal di Desa Kambani,” Jelas Tamrin. Ayah dari Tamrin pun masuk Islam pada 1926.

Lombolio, ayah dari Akdirun memiliki cerita yang lebih detail. Ia tinggal cukup lama di kediaman Tomundo H. Awaluddin (Raja Banggai 1925-1940). Awalnya menjadi tahanan rumah Raja Banggai, kemudian menjadi orang dekat tomundo. “Ia menjadi Baupalinga atau tangan kanan raja. Raja Awaluddin punya dua songkok, yaitu songkok Islam dan songkok Kristen,” ujar Akdirun. Lombolio sempat menyaksikan penobatan Tomundo Awaluddin, pun memilih masuk Islam.

Perkembangan ajaran Islam di Lumbi-Lumbia dan Landonan kurang lancar. Menurut Tamrin, tak lama kemudian, Lumbi-Lumbia kedatangan pengajar Islam dari Balantak, namanya Abdul Razak. Sayangnya, setiap orang meninggal, untuk didoakan harus dengan syarat. “Beberapa orang meninggalkan ajaran Islam karena merasa tak mampu untuk memenuhi syarat, dan masuk agama Kristen,” ungkap Tamrin. Bagaimana tidak, syaratnya adalah penyerahan pohon kelapa.

Cerita itu juga terjadi di Landonan. Saat itu datang guru agama Islam dari Liang, yang tampaknya ajarkan Islam cuma kulit-kulitnya. “Imam itu cuma ajar sahadat dan salawat, kemudian meminta sedekah pohon kelapa. Ajar orang cuma pantun-pantun,… ‘daun putih di atas dahan…’,” kata Akdirun. “Kata ayahnya, kalau diingat-ingat, orang pasti ketawa,” lanjutnya. Kisah ini cukup ironis, di Selatan Bulagi, di Lolantang (1 setengah jam perjalanan dari Lumbi-Lumbia ke Selatan), orang sudah mengenal Islam sejak jauh lampau, dengan ditemukannya makam Imam Sya’ban di abad ke 8.

Agama Kristen pun diperkenalkan tak lama setelah islam dianut oleh warga Lumbi-Lumbia dan Landonan, dengan datangnya seorang pendeta Yonas dari Manado. Sebelumnya, pada 1918, sudah berdiri sekolah Zending di Tatabau. Sekolah itupun berpindah-pindah, tutup di Tatabau pindah ke Desa Buko, lalu ke Lumbi-Lumbia. Tahun 1950, sekolah itu berubah nama menjadi Sekolah Rakyat Gereja Sulawesi Tengah.

“Saya bersekolah di situ, dulu kepala sekolah bernama Oscar Caramoy (dari Manado), kemudian digantikan oleh Pattinasarany (dari Ambon). Secara pelajaran tidak memuat pendidikan agama Kristen, hanya saja, setiap pagi kita menyanyi ‘Batu karang yang teguh…’,” Tamrin menjelaskan. Melalui sekolah ini, dan juga lembaga-lembaga yang lain, sebagian penduduk yang masih kepercayaan lama, pindah ke agama Kristen.

Akdirun mengaku juga bersekolah di lembaga tersebut, yang mungkin adalah satu-satunya sekolah saat itu. Baru ketika muncul Sekolah Alkhairaat, dia pindah ke lembaga pendidikan Islam Alkhairaat. Di Alkhairat ini Akdirun memperdalam ilmu agama. Ia mendaku belajar ilmu dalam dari Husein Tawala, murid dari Imam Besar Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri. “Ilmu gaib itu sudah ada di buku (Alquran), kita tidak pakai yang tidak ada di buku,” kata Akdirun. Penghayatan terhadap ayat-ayat dalam Alquran itu dapat menimbulkan efek kebal hingga dapat meramal jenis kelamin anak yang masih dalam kandungan.

Selepas dari Alkhairaat, Akdirun tidak melanjutkan sekolah, malah ia lari ke Kendari, ikut kapal pengangkut kopra milik H. Murad. “Di sini harga Kopra Rp. 15.000,  sedangkan harga Kendari Rp. 42.000, kemudian Ketika harga Surabaya mencapai Rp. 100.000, kita gosok Surabaya,” ungkap Akdirun, yang menetap di Kendari hingga 15 tahun. Akdirun diminta kembali ke kampung lantaran penyelenggaraan Pemilihan Umum tahun 1971. “Saat itu orang dipaksa pilih partai (Sekber/Golkar), antara partai dengan pemerintah (PNI-Partindo), akhirnya yang menang adalah Golkar,” sebut Akdirun. Sedangkan pada pemilu sebelumnya, yaitu pada 1955, partai yang menang adalah Partai NU (Nahdatul Ulama). Hal ini karena Lumbi-Lumbia memang adalah basis Alkhairaat di bawah pimpinan Husein Pawata.

Sebenarnya, berbicara dengan Akdirun tak akan habis-habis bahannya. Kenangan masa muda masih betul-betul menempel. Sewaktu ia di Kendari, ia sempat menyaksikan iring-iringan Presiden Soekarno pada saat peresmian Bandara Monginsidi pada 1963. Akdirun mengenang satu pertanyaan Soekarno, “Di antara bumi dan langit, dimana Allah itu berteduh?” Akdirun pun mencoba untuk menjawabnya keesokan hari. “Yang dimaksud dari pertanyaan itu adalah di mana letak rahasia Tuhan?” kata Akdirun.

Sewaktu di Kendari, Akdirun turut mencermati kabar perkembangan pencarian Kahar Muzakkar, yang secara resmi ditembak di dekat gubuk kayu tak jauh dari Muara Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara. Menurut tete Akdirun, yang tertembak itu hanya pasukan Kahar Muzakkar yang berasal dari Liang (sebuah desa di Kec. Liang, Banggai Kepulauan). Pernyataan Akdirun ini semakin memperkuat mitos Kahar di hadapan rakyat biasa seperti Akdirun, yang menganggap Kahar memiliki kesaktian dan tidak mudah mati begitu saja.

Saya tak sengaja bertemu Akdirun lagi pada Jumat pagi, tanggal 11 Oktober 2024. Ia duduk-duduk di depan warung, saya pun menyambanginya dan mengajaknya ngobrol. Pada obrolan pagi itu saya mengetahui kalau dulu nama Kecamatan Buko Selatan pernah diusulkan untuk diganti menjadi Kecamatan Batu Misea, tapi tak digubris oleh Camat. Saya menanyakan dimana terletak itu batu? Dia menunjuk ke laut. Batu misea di simpan di laut, di situ ada tanda, tapi sulit diperhatikan oleh banyak orang.

Hal ini menjadi pertanyaan, dan menjadi pemandu diskusi pada pertemuan berikutnya dengan Tete Akdirun, tentu juga dengan Tete Tamrin, yang saat ini menjadi pembina Sanggar Seni Batu Misea, Lumbi-Lumbia. Sampai jumpa untuk pertemuan berikutnya. Kinatauan.

Penulis adalah Coordinator Community Development Yayasan Blue Alliance Indonesia MPA Banggai 11-13

 

 

 

 

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button