Lawan-lawan politik Anies saat ini, tampaknya tengah kebingungan. Bingung karena belum menemukan cara paling ampuh untuk menghentikan Anies agar tak ikut pilpres. Sedangkan semua cara, rasa-rasanya sudah dilakukan. Mulai dari cara paling halus hingga paling kasar, namun belum juga ada yang berhasil menghentikannya.
Kebijakan pengunduran jadwal Pilkada serentak, dinilai oleh sejumlah kalangan, termasuk untuk melemahkan Anies. Asumsinya, begitu selesai di DKI, Anies tak punya lagi panggung untuk mengaktualisasikan potensi politiknya. Dengan begitu, waktu dua tahun menuju pilpres 2024, dianggap sudah cukup bagi rakyat untuk melupakannya.
Tetapi asumsi itu keliru. Sebab begitu purna tugas di Jakarta, justeru membuat Anies bebas ke mana-mana, dan tidak ada lagi aturan membatasinya. Berbulan-bulan tidak pulang pun tak masalah. Paling diprotes oleh isteri dan anak-anaknya. Dan, faktanya, kemanapun Anies pergi, selalu dielu-elukan bak sosok yang dirindukan, sehingga tesis pejabat lengser susah cari teman ngopi, tak berlaku bagi Anies.
Malahan kunjungan Anies di berbagai daerah, menjadi semacam verifikasi faktual terhadap laporan survei elektabilitas Anies. Sambutan massa yang mencapai hingga puluhan ribu pada setiap kunjungannya, adalah bukti kebohongan lembaga survei selama ini yang melaporkan elektabilitas Anies lebih rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa projek men-down grade Anies yang diemban oleh sejumlah Lembaga survei bersama buzzer, pun gagal.
Upaya mengkriminalisasi Anies melalui projek Formula E, juga telah dicoba. Kendati terus dipaksakan, namun belum juga berhasil. Begitu pula dengan skenario Anies zonder partai pengusung, meski belum bisa disebut gagal, tetapi sejauh ini, Nasdem, Demokrat, dan PKS, malah tampak makin solid. Satu lagi, teror ular kobra yang dialami Anies dalam kunjungannya di Banten.
Belakangan, muncul isu kontrak politik dan juga utang – piutang. Kontrak politik antara Prabowo dan Anies, utang – piutang antara Anies dan Sandi, yang terjadi pada saat Pilkada DKI Jakarta 2017. Dapat dipastikan bahwa motif pengungkapan kedua hal itu, adalah agar Anies berhenti dan tidak menjadi capres pada Pilpres 2024, apalagi menjadi kompetitor Prabowo.
Kontrak politik antara Prabowo – Anies, penulis sendiri meyakininya ada. Tetapi, mengapa Prabowo merasa perlu kontrak politik itu diadakan? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu mundur jauh ke belakang, pada Pilkada DKI Jakarta 2012 dan Pilpres 2014.
Semua tahu bahwa pada Pilkada DKI 2012 kala itu, Jokowi dipromotori oleh Prabowo. Yang memasangkannya dengan Ahok, juga Prabowo. Bahkan partai yang mula-mula mengusung Jokowi – Ahok adalah Gerindra. Karena tidak cukup, Prabowo lalu melobi dan berusaha meyakinkan Megawati, termasuk menyebut bahwa Jokowi adalah kader PDIP sendiri.
Akhirnya PDIP pun meninggalkan Foke – Nachrowi kemudian bergabung dengan Gerindra untuk mengusung Jokowi – Ahok. Bahkan tidak hanya itu, penyandang dana utama bagi Jokowi – Ahok adalah Hashim Djodjohadikusumo, adik Prabowo.
Namun, Prabowo dan seluruh kader Partai Gerindra tak pernah membayangkan bahwa pada Pilpres 2014, Jokowi maju melawan Prabowo secara head to head, dan, menang. Semenjak itu, Hashim kerap bercerita tentang Pilkada DKI Jakarta 2012 dalam banyak kesempatan. Dan, kesan bahwa Jokowi “mengkhianati” Prabowo pun tertanam kuat di benak kader-kader Gerindra.
Rupanya, kalah pada Pilpres 2014 tak membuat Prabowo berhenti, tapi masih tetap punya keinginan untuk maju pada Pilpres 2019. Oleh karena itu, meski kontrak politik antara Prabowo dan Anies (jika pun ada) tidak dibuka ke publik, tetapi isinya sudah dapat ditebak. Kira-kira, jika terpilih menjadi gubernur, maka Anies harus berjanji untuk tidak maju pada pilpres 2019.
Pertanyaan krusialnya, apakah kontrak politik itu juga berlaku pada Pilpres 2024? Pertanyaan ini saya coba jawab dengan sebuah pertanyaan. Pada saat kontrak politik itu ditandatangani di penghujung 2016 lalu itu, apakah Prabowo memang sudah berpikir maju lagi pada Pilpres 2024, meskipun kembali kalah pada Pilpres 2019?
Penulis sendiri tidak yakin akan hal itu. Sebab, taruhlah misalnya, Prabowo menang pada Pilpres 2019, apakah Prabowo masih membutuhkan kontrak politik tersebut untuk maju pada Pilpres 2024? Tidak lagi. Karena sebagai petahana, dia sudah tentu tidak akan pilih-pilih lawan. Siapapun yang menjadi lawannya, tidak masalah baginya.
Lalu, sejak kapan Prabowo terpikir untuk maju lagi pada Pilpres 2024? Kemungkinan besar, tidak lama setelah bergabung di kabinet Jokowi. Selain mendapat bisikan dari orang-orang dekatnya, Prabowo juga mungkin terinspirasi oleh Mahatir Muhammad yang kembali terpilih menjadi PM Malaysia pada usia 93 tahun. Bandingkan dengan Prabowo pada 2024, baru 73 tahun.
Oleh karena itu, penulis meyakini bahwa kontrak politik itu memang hanya dimaksudkan untuk Pilpres 2019, dan Anies telah memenuhinya. Jika pun tidak, perlu dipahami bahwa masalah yang dihadapi bangsa ini terlalu besar untuk menjadi sekadar urusan pribadi Prabowo – Anies.
Ah, tiba-tiba saya teringat Bang Mamat, sopir omprengan yang sering nangkring di Pasar Palmerah seberang stasiun. “Adalah kejahatan terbesar menghalang-halangi rakyat mendapatkan calon pemimpin terbaik bagi negara dan bangsa ini,” katanya suatu ketika.
Adapun isu utang-piutang pilkada antara Anies dan Sandi, malas membahasnya. Lebih baik kita urunan saja. Yuk, buka dompet donasi.
Makassar, 07 Pebruari 2023