Berita NasionalEkonomi &Bisnis

Transformasi Digital antara Starling dan Korporasi

Oleh : Henri Siagian

Beratap terpal dan tanpa dinding, sekitar lima orang sedang duduk mengelilingi meja bertaplak plastik. Di tengah meja, terdapat beberapa kotak berisi penganan seperti gorengan, roti kukus, dan nasi bungkus. Di hadapan mereka juga sudah tersaji minuman sesuai pesanan masing-masing. Ragam jenis kopi, teh, jahe, ataupun minuman dalam botol.

Lima orang itu membahas ragam topik. Mulai dari serius, bercanda, ataupun sekadar urusan pribadi. Di sela-sela pembicaraan, mereka melongok gawai lantaran ada suara notifikasi. Terkadang, mereka berbincang dengan seorang pria yang duduk di samping sepeda motor yang terletak di sisi ujung terpal. Di bangku sepeda motor tersebut tersusun rak yang memajang beragam bungkus minuman dalam kemasan saset dan juga mie instan.

Termasuk juga termos berukuran besar berisi es batu. Di sisi kanannya, sebuah meja dilengkapi dengan kompor, kuali, elpiji tabung melon. Sang pria yang bertugas tersebut dengan sigap memenuhi permintaan para pengunjung. . Keguyuban itu tecermin dari sebuah warung tidak permanen yang berada di bawah pohon rindang di tepi jalan di Jakarta Barat. Ketika ada penertiban lingkungan, terpal, meja, dan bangku kayu akan disusun untuk ditaruh di sebuah lapangan tidak jauh dari lokasi itu.

Adapun sang penjual akan memindahkan sepeda motor dengan ragam dagangan ke tempat lain. Begitulah kurang lebih kehidupan pedagang yang dikenal dengan istilah starling yang sudah agak naik kelas. Dia sudah memiliki lokasi berjualan yang relatif tetap dan juga memodali diri dengan terpal untuk menghalangi panas maupun hujan. Dan semenjak pertengahan pandemi covid-19, dia juga sudah melengkapi diri dengan qr code yang diletakkan di tengah meja pengunjung.

Sekitar 20 kilometer dari starling tersebut, atau di kawasan Ciputat Timur, Tangerang Selatan, terdapat sebuah warung mie ayam semipermanen. Warung ini sudah memiliki atap dan dinding berwarna coklat yang menempel ke pagar salah satu rumah. Di warung ini menjual beragam varian mie ayam dan yamin. Pengunjung silih berganti mendatangi warung itu. Termasuk para sopir ojek online (ojol) yang hendak memenuhi permintaan melalui aplikasinya.

Hanya saja, di tempat ini tidak memajang qr code. Akan tetapi, sang pedagang akan menyalakan gawainya untuk memperlihatkan qr code bagi pengunjung yang hendak membayar melalui fitur tersebut. Dua warung itu tentu tidak berkaitan satu dengan lainnya. Mereka juga kemungkinan tidak saling kenal. Barang dagangan mereka juga amat berbeda. Akan tetapi, ternyata mereka memiliki satu kesamaan. Ternyata qr code yang mereka gunakan sama-sama mengarahkan ke rekening BRI. Dengan nama pemilik rekening yang berbeda, tentunya.

Mereka sudah menjalani proses digitalisasi. Dan mereka juga sama-sama terbantu dengan pengurusan qr code yang antiribet, yakni cukup melalui aplikasi di gawai masing-masing. Mereka tentu saja tidak serta merta menjadi kaya raya bak sultan. Akan tetapi, mereka mengaku sama-sama sudah merasakan manfaat dari transformasi. Pemilik warung starling mengaku kerap disinggahi oleh pekerja kantoran, penghuni apartemen, maupun pelintas di sekitarnya.

Dan tidak jarang, warga yang sudah tidak memegang uang tunai akhirnya terkendala untuk berbelanja di tempat itu. Sehingga, transaksi kerap urung terjadi. Atau bagi pengunjung yang wajahnya sudah dikenal akan terbuka opsi kasbon alias berutang. Persoalannya adalah jika si pengunjung ternyata tidak kunjung datang kembali dalam waktu singkat. Atau, bila sang pengunjung datang di saat penjaga warung berganti. Atau, bisa juga pengunjung atau si pedagang sama-sama lupa nilai rupiah yang belum terbayarkan. Sehingga, keberadaan qr code telah mengurangi kemungkinan tumpukan piutang sang pemilik warung.

Sehingga, dampak transformasi digital sudah mulai terasa dengan mencegah berkurangnya jumlah pengunjung karena push factor yakni ketiadaan fasilitas pembayaran. Karena, pandemi covid-19 memang sudah membiasakan masyarakat untuk bertransaksi secara cashless. Orang akan lebih tenang tidak membawa dompet ketimbang gawai.

Lain lagi dengan kisah pedagang mie ayam. Kehadiran qr code jelas kian membuka pemasaran produknya. Sebab, selain pembeli yang biasanya terdiri dari warga sekitar, kini mereka bisa memasarkan melalui marketplace. Di samping,  memudahkan bagi pembeli cashless yang mendatangi warungnya. Buah transformasi digital Transformasi digital tengah berjalan dengan melesat, terkhusus karena pandemi yang mendera dunia. Karena, semua pihak kini dihadapkan dengan pilihan beradaptasi dan bertransformasi atau menjadi dinosaurus, sebuah makhluk superior yang tinggal kenangan. Pemikiran itu juga berlaku di tingkat korporasi. Seperti diungkapkan oleh Direktur Utama BRI Sunarso saat pemaparan kinerja PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Kuartal IV 2022 di Jakarta, Rabu, (8/2), perseroan berhasil menutup 2022 dengan kinerja gemilang. Di mana, BRI Group berhasil mencatatkan kinerja positif dengan pencapaian rekor laba dengan mencetak laba Rp51,4 triliun.

“Alhamdulillah, kita selalu didampingi kawan setia, Si Untung dan Si Slamet sepanjang Januari hingga Desember 2022, BRI Group berhasil mencatatkan laba bersih senilai Rp51,4 triliun atau tumbuh 67,15% secara year on year dengan total aset tumbuh double digit sebesar 11,18% yoy menjadi Rp1.865,64 triliun,” ujar Sunarso. Sunarso mengungkapkan kunci keberhasilan BRI dalam menjaga bottom line kinerja perusahaan. Pertama, BRI berhasil melakukan efisiensi, utamanya melalui menekan biaya dana (Cost of Fund) melalui perbaikan funding structure peningkatan dana murah (CASA). Faktor kedua yang memberikan kontribusi besar terhadap kinerja perseroan yakni pendapatan berbasis komisi atau fee based income yang tumbuh double digit yang merupakan buah dari transformasi digital.

“Pendapatan berbasis komisi memberikan kontribusi yang masif terhadap kinerja BRI secara keseluruhan. Di mana, pada akhir Desember 2022 BRI berhasil menghimpun pendapatan berbasis komisi senilai Rp18,80 triliun atau tumbuh 10,16% yoy, sehingga fee to income ratio mencapai 11,37%” imbuh Sunarso. Akan tetapi, di tengah capaian yang gemilang, Sunarso pun menegaskan komitmen BRI untuk terus memberikan economic value dan social value. Utamanya terhadap negara dan masyarakat Indonesia.

Ternyata, BRI tidak sekadar mengejar nilai atau value secara ekonomi. Karena capaian performa ekonomi yang ciamik adalah keharusan dan kewajaran bagi setiap korporasi. Akan tetapi, mereka juga telah dan berkomitmen terus memberikan efek sosial yang positif. Bagi korporasi sebesar BRI, transformasi digital menjadi proses yang dijalankan secara sistematis dan terstruktur. Ketersediaan manpower dan anggaran menjadi tools dalam memperlancar proses transformasi. Sedangkan bagi rakyat biasa atau pelaku usaha mikro, kecil dan menengah, manpower dan anggaran adalah tantangan tersendiri.

Sebagai bank rakyat, BRI tentunya menyadari kemajuan korporasi dan rakyat adalah langgam yang beriringan. Walhasil, transformasi digital di korporasi yang berkantor pusat di Jalan Jenderal Sudirman Jakarta juga memiliki value, bermakna, serta berlangsung hingga rakyat kecil termasuk pedagang starling maupun mie ayam. (**)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button