Berita Nasional

Kaum Milenial, Arus Kekuatan Politik di 2024

Oleh : Sulharjan

Pada tahun 2045, Indonesia akan memasuki era bonus demografi, dimana jumlah penduduk produktif atau angkatan muda akan lebih banyak dari penduduk yang tidak produktif lagi. Beberapa pakar memprediksi perbandingan angkatan muda dan tua sekitar 70:30 persen. Gejala bonus demografi itu sendiri akan mulai terasa 30 tahun sebelum era itu tiba.

Millenial sendiri dikategorisasikan berbeda-beda, secara umum dari segi usia dan tahun kelahiran. Ada yang mengkelompokkan millennial sebagai generasi yang lahir antara tahun 1980-1990, namun ada pula yang mengkelompokkan millennial lahir antara tahun 1990-1995.

Karakter khusus dari generasi Millenial adalah kemampuan mereka untuk menguasai teknologi dan mengakses informasi dibandingkan generasi-generasi sebelumnya. Ini disebabkan karena mereka tumbuh dan berkembang di era globalisasi yang memicu kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat. Hal ini pula yang mempengaruhi pola-pola komunikasi atau pola hubungan sosial mereka.

Dengan jumlah yang perlahan mendominasi ini, keterlibatan Millenial sangat mempengaruhi banyak aspek, termasuk dunia politik. Salah satu indikator untuk mengukurnya adalah Pemilu 2019. Pemilu 2019 berbeda dengan Pemilu sebelum-sebelumnya. Pada Pemilu 2019, beberapa tokoh muda mulai diperkenalkan ke ruang-ruang publik sebagai juru bicara, influencer,atau simbol partai politik. Strategi ini dilakukan karena partai politik menyadari betul tentang potensi suara kelompok Millenial yang terus tumbuh ini. Beberapa survey menunjukkan bahwa ketelibatan millennial pada Pemilu 2019 adalah sekitar 40%.

Millenial sebagai subjek politik dan tantangannya

​Walaupun persentase Millenial semakin meningkat, ada nuansa yang sangat terasa bahwa Partai politik lama hanya berusaha menjadikan Millenial sebagai komoditas politik. Simbol-simbol muda yang ditampilkan di ruang-ruang publik dianggap hanya sebagai strategi marketing untuk meraup suara pemilih muda. Sedangkan kebijakan-kebijakan strategis internal partai politik masih sangat ditentukan oleh tokoh-tokoh senior partai politik itu sendiri. Paradigma ini harus diubah, Millenial era ini harus dijadikan sebagai subjek politik. Mengingat bahwa perubahan dunia yang begitu cepat, membutuhkan generasi yang mampu beradaptasi dengan perubahan tersebut. Memberikan kesempatan millennial mengambil peran yang besar dalam partai politik atau dalam pemerintahan, maka memberikan kesempatan akselerasi kearah partai politik modern dan pemerintahan yang modern serta mampu menawarkan nuansa politik yang baru yang jauh dari kesan tertinggal, korup, dan eksklusif.

Namun ini menjadi tantangan tersendiri bagi Millenial untuk bersaing dengan tokoh-tokoh politik senior yang masih sangat kuat yang pada satu sisi tidak bisa dipungkiri lebih matang dibanyak aspek, baik itu aspek pemikiran, relasi nasional maupun finansial.

Tantangan yang lain adalah komitmen pembaharuan millennial itu sendiri. Masuk kedalam kultur politik lama sangat beresiko untuk terpengaruh mengikuti pola lama. Dominasi senioritas menjadi faktor yang sangat berpengaruh. Istilah yang mungkin saya gunakan adalah ‘’wajah baru otak lama” dimana Millenial terbawa arus dan hanya melegitimasi serta melanggengkan arus dan kultur politik lama.

Sebagai contoh pemberdayaan generasi muda dalam kebijakan-kebijakan strategis adalah yang dilakukan oleh PM Malaysia, Mahathir Muhammad dimasanya. Dia berani mengangkat beberapa menteri yang sangat muda. Walaupun belum dominan, namun komitmen peremajaan ini akan menarik patisipasi aktif anak muda untuk terjun secara serius dalam dunia politik dengan niat untuk membawa perubahan dengan ide pembaharuan. Ini sangat perlu untuk diadaptasi oleh pemerintah Indonesia kedepannya agar wacana millennial tidak hanya menjadi wacana marketing, yang mana jika disadari oleh milenial justru akan menjadi apatisme politik yang tentunya akan menjadi boomerang bagi partai politik maupun demokrasi itu sendiri.

Millenial menatap Pemilu 2024

Tentunya Pemilu 2024 akan diikuti oleh lebih banyak generasi muda. Jumlah keterlibatan ini diprediksi mencapai 70% dari total suara pemilih pada 2024. Partai politik harus mampu memobilisasi kekuatan Millenial agar dapat memenangkan Pemilu. Bukan hanya menampilkan ikon marketing, namun benar-benar narasi-narasi yang bisa menjawab kebutuhan generasi Milenial. Reposotioning partai politik mutlak dilakukan dengan menunjukkan keberpihakan yang besar pada generasi ini jika ingin mendulang suara mereka. Selain itu Partai politik dan penyelengara Pemilu perlu melakukan pendidikan politik yang memadai sejak dini agar demokrasi yang diikuti oleh generasi Millenial menjadi demokrasi yang modern yang berkualitas. (**)

Penulis adalah Mahasiswa Pasca sarjana ilmu Komunikasi Universitas Budi luhur, Jakarta

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button